Opini

Catatan Evaluasi atas Pendidikan Online di Masa Pandemi

Sel, 21 Juli 2020 | 23:00 WIB

Catatan Evaluasi atas Pendidikan Online di Masa Pandemi

Kemampuan menggunakan metode dan teknik mengajar secara online pun belum dikuasai karena memang pengajaran daring tentu memiliki teknik tersendiri dibanding dengan tatap muka.

Oleh Alhafiz Kurniawan

Tahun ajaran 2020-2021 sudah dimulai pada 13 Juli 2020. Kebijakan sudah diambil oleh pemerintah melalui Kemendikbud Bersama Empat Kementerian Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran Baru di Masa Pandemi Covid-19. 


Di antara kebijakan tersebut adalah melakukan pembelajaran dalam jaringan (daring) bagi sekolah atau madrasah yang berada di zona kuning. Sementara di zona hijau, pembelajaran bisa dilakukan dengan tatap muka, namun dengan beberapa peraturan ketat yang diberlakukan.


Sebelumnya pembelajaran daring juga sudah dilakukan pada sekitar pertengahan semester dua tahun ajaran 2019-2020. Pembelajaran daring kala itu diputuskan sesaat setelah mulai banyak masyarakat yang terpapar.


Menilik berjalannya pembelajaran daring kala itu ada sisi positif yang bisa diambil. Di antaranya, penekanan dalam penyebaran virus Corona khususnya di lembaga pendidikan bisa dimaksimalkan. Belajar online juga telah 'menyadarkan' bahwa tenaga pendidik yang melek teknologi menjadi sebuah keharusan saat ini. Para peserta didik pun menjadi sadar bahwa memiliki keterampilan sesuai perubahan zaman juga sangat diperlukan.


Namun seiring itu, kualitas kegiatan belajar dan mengajar (KBM) secara daring di Indonesia juga patut untuk dievaluasi. Perubahan seketika dari KBM konvensional melalui tatap muka menjadi KBM daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) belum sempat diiringi dengan kemampuan SDM dan sarana serta prasarana pendukung.


Banyak tenaga pendidik yang kelimpungan saat harus mengoperasikan berbagai peralatan pembelajaran berbasis online. Bagi para pendidik yang lahir sebagai generasi Y (1981-1994) atau pun generasi Z (1995-2010) mungkin tak perlu bingung karena dapat dengan mudah beradaptasi dengan teknologi. Namun bagi mereka yang termasuk generasi Baby Boomers (1946-1960) atau generasi X (1961-1980) akan kelabakan.


Kemampuan menggunakan metode dan teknik mengajar secara online pun belum dikuasai karena memang pengajaran daring tentu memiliki teknik tersendiri dibanding dengan tatap muka.


Dengan dua elemen yang belum dikuasai oleh tenaga pendidik ini saja, tentu banyak pertanyaan terkait seberapa berkualitas perjalanan dan hasil pembelajaran daring di masa pandemi?


Belum lagi peserta didik yang tidak terpantau langsung keaktifan dan semangat belajarnya. Kita tahu, pendidikan pada dasarnya bukan hanya terfokus pada aspek kognitif (otak). Aspek afektif (sikap) dan psikomotor (praktik) juga perlu dipelajari oleh peserta didik.


Sisi kognitif dan psikomotor di sebagian mata pelajaran dalam pembelajaran daring mungkin bisa terakomodir. Namun untuk sisi afektif sangat sulit untuk diraih peserta didik. Dalam aspek afektif peserta didik membutuhkan keteladanan, model, dan sentuhan pembinaan psikologi yang ini tidak bisa dilakukan oleh teknologi.


Pembelajaran melalui media seperti zoom atau aplikasi pertemuan lainnya juga tidak akan maksimal dalam pendidikan afektif yang dilakukan daring.


Di sisi lain kita harus mengakui bahwa fasilitas teknologi yang ada di daerah tidak merata. Kemampuan ekonomi dan pendidikan para wali murid juga berbeda-beda sehingga menjadi kendala utama pembelajaran daring. Apalagi pelajaran-pelajaran yang membutuhkan praktikum seperti olahraga, keterampilan, dan kegiatan pengembangan diri akan sulit jika dilakukan secara daring.


Karena keterbatasan ini, sebagian lembaga pun ada yang mengambil kebijakan untuk 'memaksakan diri' melakukan pembelajaran tatap muka di tengah pandemi dengan berbagai cara; seperti sistem berkelompok di mana siswa dibuat kelompok belajar dan datang ke rumah wali kelas untuk belajar bersama.


Ada juga para guru yang datang ke kelompok-kelompok belajar siswa di salah satu kediaman siswa. Semua langkah 'tikus' ini dilakukan untuk tetap terhubung dengan siswa. Tentu jika aktivitas ini diikuti protokol ketat kesehatan akan tidak berdampak. Namun jika mereka abai, tentu konsekuensinya bisa kita bayangkan sendiri.


Kita tentunya tidak ingin pendidikan daring hanya milik golongan orang-orang perkotaan yang sudah lengkap fasilitas jaringan internetnya. Kita juga tidak ingin pula hanya peserta didik dari kalangan ekonomi berkecukupan saja yang bisa menikmati pendidikan di era pandemi. Pendidikan adalah milik semua.


Bisa jadi pelajar di era pandemi ini juga menjadi 'kelinci percobaan' pembelajaran daring. Bagi pelajar yang memiliki kesadaran pentingnya belajar, era pandemi ini akan mengajarkan kemandirian pada mereka. Mereka mampu mencari sumber-sumber ilmu pengetahuan secara mandiri di dunia maya.


Namun bagi mereka yang memiliki motivasi rendah, lingkungan yang tidak mendukung, kurangnya pantauan orang tua tentu akan bertolak belakang dengan harapan ideal pembelajaran daring.


Lalu akan samakah hasil nilai dari keragaman tipikal peserta didik yang tertuang dalam nilai raport? Lagi-lagi masalah muncul terkait objektivitas nilai yang diberikan oleh para tenaga pendidik selama pembelajaran daring.


Ketidaksinkronan materi di kurikulum dengan praktik di lapangan menjadi masalah sendiri. Banyak pendidik yang mengajarkan materi yang tidak sesuai dengan kurikulum. Terkadang bahkan materi di kurikulum tidak bisa terkover semua. Melalui pembelajaran daring, KBM lebih fokus pada kegiatan pemberian tugas kepada peserta didik.


Bukan hanya di era pandemi, kurikulum yang ada dan digunakan sebelum wabah ini pun terkesan sangat idealis dan teoritis. Banyak komponen tugas yang harus dikerjakan oleh guru mulai dari persiapan sampai evaluasi. Namun melihat fakta di lapangan, banyak sekali kendala yang harus dihadapi guru untuk melaksanakan kurikulum. Alih-alih mempraktikkan pembelajaran sesuai kurikulum, banyak guru yang keluar dari pakem kurikulum.


Terlebih di pembelajaran daring saat ini, pada akhir semester pun banyak lembaga pendidikan tidak melakukan evaluasi belajar dalam bentuk ulangan. Nilai raport didasarkan pada kebijakan guru yang mengacu pada portofolio peserta didik selama pembelajaran daring.


Tentunya lagi-lagi objektivitas nilai raport juga dipertanyakan. Para guru juga banyak yang 'ditekan' atasan agar anak didik mendapat nilai raport sesuai Kriteria Ketuntasan Belajar (KKM) yang sudah ditetapkan sehingga banyak guru yang 'asal tembak' nilai raport saat pembelajaran daring ini.


Penulis adalah redaktur NU Online