Opini

Dunia Islam Merespons Toa (Bagian 1)

Ahad, 27 Februari 2022 | 14:00 WIB

Dunia Islam Merespons Toa (Bagian 1)

Toa atau pelantang suara di salah satu masjid di luar negeri. (Foto: AFP/R Gacad)

Haadza ghawghaa`iyyatut tadayyun’! (Ini sikap beragama yang kacau dan meresahkan!). Begitu komentar singkat Syekh Mutawalli al-Sya’rawi. Saat ditanya soal toa masjid yang memekakkan telinga. Beliau menambahkan, “Toa menjadi petaka terbesar umat di era modern”.


Tak ada yang berani menghujat Syekh Sya’rawi seperti dialami Gus Yaqut (Menag Yaqut Cholil Qoumas-red) saat ini. Siapa yang tidak kenal beliau di Mesir. Salah seorang ulama terkemuka di Mesir abad ke-20. Beruntung penulis sempat bertemu beliau di tempat favoritnya: Masjid Sidnal Husein dan Sayyidah Nafisah. Di era tahun 90-an.
 


Kegusaran Sya’rawi beralasan. Di kota dengan julukan ‘seribu menara’ masjid/musala berdekatan. Saat azan tiba, keluar suara bertalu-talu dan sahut-sahutan dengan nada dan irama macam-macam. Lebih-lebih di pagi gulita. Sudah ada yang ‘bengak-bengok’ (yuhabhab) jelang subuh tiba. Padahal, kata Sya’rawi, ada orang sakit dan orang tua yang tidak bisa tidur sepanjang malam. Baru perlahan pulas jelang subuh.


Wajar, bila tahun 2004 Menteri Wakaf Mesir, Hamdi Zaqzuq, melontarkan gagasan “satu azan untuk semua” (al-adzân al-muwahhad). Azan dikumandangkan di satu tempat. Oleh muazin bersuara merdu dan syahdu. Dan, disiarkan oleh seluruh masjid di wilayah yang waktu salatnya sama.


Pro-kontra bermunculan. Termasuk di kalangan ulama Al-Azhar. ‘Satu azan untuk semua’ bukan bid’ah, kata Zaqzuq. Ini tidak ada kaitannya dengan syariat. Jumhur ulama membolehkan, karena hanya soal pengaturan.
 


Gagasan ini pernah disampaikan Zaqzuq kepada Menag Maftuh Basuni. Saat kunjungan ke Kairo tahun 2008. Dukungan Mufti Mesir, Syeikh Ali Jum`ah, ia peroleh. Tetapi, koleganya di Jurusan Aqidah-Falsafah, Prof Ahmad al-Musayyar, menudingnya akan menghilangkan syiar agama.


Walhasil, pro-kontra soal toa di Mesir terus berkepanjangan. Sampai akhirnya, Menteri Wakaf Prof Mokhtar Gomoa, pada awal 2019 menyatakan, ‘tidak ada kata mundur dan menyerah untuk azan muwahhad’. Senin, 25 Februari 2019, uji coba ‘satu azan untuk semua’ dimulai.


Itu ikhtiar Mesir mengatur toa yang bising. Lumayan ramai polemiknya. Tidak kalah dengan di sini. Padahal, Surat Edaran (SE) Menag tidak se-ekstrem gagasan ‘satu azan untuk semua’. Dan, bukan ‘bid`ah’ baru. Empat puluh empat tahun silam sudah ada aturan serupa. Beberapa negara Islam sudah lebih dulu mengatur. Umumnya dengan konsep ‘satu azan untuk semua’.
 


Uni Emirat Arab (UEA) yang pertama sukses menerapkannya tahun 2004. Tidak tanggung-tanggung. Dipancarkan melalui satelit untuk meng-cover 1050 masjid saat itu. Disusul Suriah tahun 2007, Palestina 2016, dan Yordania pada Oktober 2017. Terbaru, Mei tahun lalu (2021) Saudi Arabia mengeluarkan aturan soal Toa.


Menteri Urusan Islam, dakwah dan Bimbingan, Syekh Abdul Lathif Alu al-Syeikh mengeluarkan Surat Edaran (SE) agar suara keluar Toa hanya diperbolehkan saat azan dan ikamah. Itu pun tidak boleh melebihi sepertiga suara maksimal Toa. Yang melanggar akan ditindak secara hukum. Sangat tegas. Didukung oleh barisan ulama Salafi-Wahabi. Berbeda dengan SE Gus Yaqut yang hanya berupa imbauan. Tanpa sanksi hukuman. Itu pun dihujat habis-habisan.


Aturan tersebut, menurut Alu al-Syeikh, untuk mengurangi dampak mudarat Toa yang mengganggu orang-orang sakit, lanjut usia dan anak-anak di rumah-rumah sekitar masjid. Dan, agar syiar azan tidak rusak oleh suara-suara yang saling beradu. Yang menjawab azan pun tidak bingung. Pengaturan penting untuk hadirkan syiar azan yang syahdu. (Bersambung….)


Muchlis M Hanafi
Penulis adalah Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) Balitbang Diklat Kemenag RI