Opini HAUL KE-11 GUS DUR

Gus Dur, Sang Altar Kemanusiaan

Rab, 30 Desember 2020 | 23:00 WIB

Gus Dur, Sang Altar Kemanusiaan

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Ilustrasi: Tirto)

Secara pribadi, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 itu mengatakan bahwa ia ingin dikenang sebagai pejuang kemanusiaan. Bukan tanpa alasan, karena perjuangan kemanusiaan mempunyai dimensi yang sangat luas. Bukan hanya tentang keagamaan, tetapi juga di dalamnya mencakup segala lini kehidupan manusia. Sehingga wafatnya Gus Dur dikenang oleh seluruh manusia dari berbagai golongan dan agama.


Kini, pemikiran, gagasan, tulisan, dan pergerakan sang zahid Gus Dur yang di batu nisannya tertulis, Here rest a Humanist (Di sini beristirahat dengan tenang seorang pejuang kemanusiaan) itu tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur inspirasi bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini. Begitu juga makamnya yang hingga sekarang terus ramai diziarahi.


KH Husein Muhammad Cirebon dalam Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015) mengungkapkan persamaan kondisi wafatnya Gus Dur dengan kepergian salah seorang penyair sufi masyhur, Maulana Jalaluddin Rumi dari Konya, Turki.


Kepulangan Rumi ke Rahmatullah dihadiri beribu-ribu orang yang mengagumi dan mencintainya. Saat itu, di antara mereka yang berduka ialah para pemimpin, tokoh-tokoh penganut Yahudi, Kristen berikut sekte-sektenya, segala mazhab-mazhab pemikiran, serta rakyat jelata yang datang dari pelosok-pelosok dan sudut-sudut bumi yang jauh.


Gambaran singkat dari kepergian dua zahid (manusia dengan maqom zuhud) yang disambut iringan ribuan orang dari berbagai penjuru serta didoakan pula dari segala penjuru menunjukkan sebuah cinta dan kasih sayang. Rasa tersebut mengkristal dari seluruh komponen masyarakat sebagai wujud cinta dari dua zahid kepada semua manusia ketika hayat masih dikandung badan.


Kiai Husein menuturkan, Gus Dur, Maulana Rumi, dan para wali Allah merupakan orang yang selama hidupnya diabdikan untuk mencintai seluruh manusia, tanpa pamrih apapun. Mereka memberikan kebaikan semata-mata demi kebaikan itu sendiri, bukan bermaksud kebaikan tersebut kembali kepada dirinya.


Cara hidup demikian diungkapkan dalam sebuah puisi indah gubahan sufi besar dari Mesir, pengarang Kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah As-Sakandari yang sering dikutip Gus Dur dalam banyak kesempatan:


Idfin wujudaka fil ardhil khumuli, fama nabata mimmaa lam yudfan laa yutimmu nitaa juhu (Tanamlah wujudmu dalam bumi ketidakterkenalan, karena sesuatu yang tumbuh dari apa yang tidak ditanam, hasilnya tidaklah sempurna).


Tradisi tidak ingin populer demi menjaga keikhlasan amal, memang begitu kuat di kalangan sufi. Mereka tak peduli dengan gemerlap mobilitas manusia yang berkelas sekalipun. Bahkan tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang justru dianggap manusia sebagai persoalan rumit. Di sinilah Gus Dur kerap melontarkan perkataan masyhur, "gitu aja kok repot!". Bukan berarti ingin lari dari masalah, tetapi serumit apapun persoalan, sesungguhnya tetap ada jalan keluarnya. Misal, "dengan tidak memikirkannya". Haha...itu salah satu joke Gus Dur.


Dari kalam hikmah Ibnu Athaillah di atas, tentu para sufi tidak antisosial. Sebaliknya, mereka lekat dengan kehidupan sosial-kemanusiaan. Karena justru dengan berinteraksi bersama manusia itulah pesan-pesan Ilahi bisa disampaikan kepada mereka. Poinnya, para sufi sama sekali tidak bangga dengan sanjungan manusia, karena bukan itu yang mereka tuju.


Begitu juga ketika mendapat caci maki dan hinaan, manusia berkarakter sufi seperti Gus Dur tidak pernah risau, apalagi balik membenci dan memaki. Gus Dur pernah berkata, "Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatiran". (Lihat The Wisdom of Gus Dur: Butir-butir Kearifan Sang Waskita, 2014)


Nilai-nilai kemanusiaan yang dikembangkan oleh Gus Dur membuat dirinya tak hanya diziarahi umat Islam, tetapi juga masyarakat dari berbagai kalangan dan agama. Gus Dur meninggal setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Baik dalam kondisi dirawat dan setelah kepergiannya, orang-orang tidak pernah berhenti mengunjunginya.


Bahkan, padatnya pentakziah yang tidak terhitung jumlahnya dari berbagai daerah di Indonesia turut mengantar jenazah putra sulung KH Wahid Hasyim tersebut ke tempat peristirahatan terakhir di komplek makam keluarga Tebuireng, Jombang.


Tebuireng saat itu tumpah ruah penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak. Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat manusia berbondong-bondong ingin ikut mengantar Gus Dur.


Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, mushola, dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Konghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing.


Ya, Gus Dur sang altar kemanusiaan. Umat dari berbagai golongan dan agama menempatkannya sebagai sosok teladan yang patut dipuja. Karena selama hidupnya, Gus Dur terus berupaya keras mengangkat nilai-nilai dan ajaran agama dengan cara meninggikan derajat kemanusiaan. Wallahu a'lam bisshawab.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online