Opini

Khalifah yang Teledor di Muka Bumi

Sel, 7 September 2021 | 01:00 WIB

Khalifah yang Teledor di Muka Bumi

Ilustrasi bumi. (Foto: npr.org)

Oleh Chudori Sukra

 

Sekitar dua tahun masa pandemi sudah berlangsung di seluruh dunia. Banyak mitos-mitos agama yang membuat pemujanya merasa galau dan depresi, lantaran keyakinan yang sudah dipupuk puluhan tahun tiba-tiba tak berlaku, usang, bahkan rontok. Kota suci Makkah dan Ka’bah yang apabila tak ada lagi orang tawaf akan datang hari kiamat, ternyata biasa-biasa saja. Jangankan kiamat kubro, sepertinya yang shugra juga tidak muncul.


Anak-anak jika tak masuk sekolah, konon akan terjadi huru-hara dan malapetaka besar, ternyata tidak ada apa-apa. Karena esensi dari menuntut ilmu, tidak selalu identik dengan ruang-ruang kelas maupun sekolah. Hakikat ilmu pengetahuan bisa diperoleh di mana saja, dan mencari ilmu harus terus diupayakan sejak lahir hingga ke liang lahat, tidak mesti harus terikat dengan jam-jam pelajaran di sekolah.


Fenomena Covid-19 ini memperingatkan kita semua bahwa dalam cara-cara beragama tidak pantas bertumpu pada mitos dan dogma melulu. Ada seruan yang disampaikan Rasulullah, bahwa tidurnya orang berilmu jauh lebih bermanfaat daripada shalatnya orang-orang bodoh dan dungu. Melaksanakan ritual tanpa disertai dengan ilmu, sama saja dengan keledai yang memanggul kitab suci di pundaknya. Terlebih jika keledai itu kehilangan akal dan mengamuk, hingga merusak tempat-tempat ibadah lainnya.


Lalu, apa yang menimbulkan maraknya virus dan buruknya kualitas oksigen akhir-akhir ini? Sepertinya tepat apa yang disinyalir dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan Penerbit Hasta Mitra, Jakarta, bahwa sejak tahun 1980-an, ketebalan stratosfer bumi telah menyusut sekitar 400 meter. “Hal ini sungguh membahayakan,” kata Juan Anel, Fisikawan dari University of Vigo Earth. “Jadi pada dasarnya, berbagai penyakit yang menyerang saluran pernafasan akhir-akhir ini, termasuk munculnya Corona sebagai spesies baru, jelas disebabkan ulah perbuatan kita yang telah mengutak-atik atmosfer sepanjang 60 kilometer.”


Hal ini terkait dengan perubahan perilaku kita, yang seakan abai dan tak peduli adanya keterhubungan antara jagat mikro dengan jagat makro. Konsumsi kendaraan yang menimbulkan polusi, pembangunan pabrik-pabrik berskala besar, penebangan liar dan pembakaran hutan, limbah rumah-tangga dan pencemaran laut, semuanya itu menimbulkan gas rumah kaca yang membuat panas matahari terperangkap di kolong-kolong langit.


Pramoedya sudah menulis persoalan penting dan krusial itu melalui karya Tetralogi Buru, tetapi kemudian ia diserang oleh segerombolan orang yang notabene adalah seniman-seniman latah yang sukanya genit-genitan baca puisi di panggung gembira. Kita selaku generasi baru, tidak paham apa yang mereka bacakan dan apa manfaatnya karya-karya seniman macam itu, untuk kemajuan peradaban bangsa ini.


Setelah tampak jelas kerusakan di darat maupun di laut, masih saja kita temukan ratusan bahkan ribuan artikel dan karya seni mengenai Corona dan Covid-19, yang hanya berkutat di wilayah akibat melulu, tanpa mempedulikan bahwa kita semualah yang menjadi penyebab utama segala kerusakan itu (Ar-Rum: 41).


Dalam buku What’s the Future and Why It’s Up to Us karya Tim O’Reilly (2017), secara eksplisit dijelaskan mengenai utang-utang manusia modern kepada alam semesta, yang menimbulkan ketakseimbangan kosmik. O’Reilly menawarkan solusi bagi kita agar membayar utang-utang itu dengan cara menyetop dan menghentikan diri berutang kembali kepada alam semesta. Selain itu, kita juga harus membayarnya dengan melakukan kebaikan-kebaikan, sebelum alam semesta mengambil dan merenggut apa-apa yang sudah kita miliki.


Tidak ada utang manusia pada alam semesta yang tak terbayar, seperti juga tidak ada dosa-dosa yang tak terampuni jika manusia bertobat dengan sesungguhnya (taubatan nashuha). Lakukan kebaikan pada sesama dan pada alam semesta. Perbuatan baik terhadap sesama tidak selalu harus berbentuk materi. Banyak sekali bentuk kebaikan yang perlu kita lakukan, misalnya membantu orang yang dalam kesulitan, memancarkan kebaikan dan cinta-kasih kepada setiap orang, tak peduli apakah kebaikan kita akan dibalas atau kah tidak. Justru dengan memberi kebaikan kepada orang yang tak mampu membalas kebaikannya kepada kita, akan memancarkan energi positif, yang suatu saat akan dikembalikan oleh energi makrokosmos dalam bentuk kebaikan yang berlipat ganda.


Tetapi sebaliknya, jika kebaikan yang kita berikan dengan maksud pamrih dan riya di hadapan manusia, maka nilai kebaikan itu tidak memancar ke alam semesta. Karena itu, pancarkan energi positif dengan melakukan banyak kebaikan, dan sebarkan cinta-kasih terhadap sesama. Sebab, jika yang kita sebarkan adalah kebohongan, stigma politis, ketakutan dan kepanikan, maka kita telah ikut andil dalam perusakan mikro dan makrososmos yang mengganggu tatanan keseimbangan.


Pada prinsipnya, sesederhana itulah energi keseimbangan alam bekerja. Jika kita ingin ditolong oleh Tuhan, sudahkah kita rela menolong makhluk-makhluk-Nya? Jika kita ingin dihormati orang, sudahkah kita mampu menghormati orang lain dengan tulus? Jika kita ingin dipentingkan oleh orang, sudahkah kita sanggup menahan ego dan kepentingan diri, untuk mementingkan dan melayani orang lain? Jika kita ingin sukses dan meraih sesuatu yang kita inginkan, sudahkah kita membuka pintu-pintu maaf, serta membantu orang lain agar meraih apa yang mereka inginkan?


Irhamu man fil ardhi yarhamukum man fissama’i (Cintailah mereka yang ada di bumi, niscaya para penghuni langit akan senantiasa mencintaimu), demikian sabda Rasulullah.


Selama ini, kita telah merusak rumah hijau yang telah kita huni sedemikian lama. Kita terlampau jauh menerobos batas dan melanggar norma kehidupan. Segala aturan hidup yang semula terabaikan, bahkan dengan sengaja dinafikan. Kita terlampau sibuk bersaing dalam urusan-urusan duniawi, picik, kerdil, dan remeh-temeh belaka. Karya-karya sastra kita, terlebih yang berseberangan dengan Pramoedya, hanyalah karya-karya genit dari buah pena orang-orang narsis yang sibuk mengharap-harap pujian orang. Bukankah mereka tak ubahnya dengan anak-anak ingusan yang tak memberi edukasi pada generasi muda, dan sebab dari kebodohan itu, kita semua yang harus menanggung akibatnya.


Sekarang ini, kita yang sudah kadung bercerai-berai, terpaksa disatukan oleh keadaan yang tak bisa ditampik. Keadaan ini memaksa kita merenung, introspeksi, serta berkaca diri dengan sebaik-baiknya. Kebersihan jiwa, pikiran dan perasaan kita akan jadi penentu seberapa cepat kita memulihkan kondisi yang carut-marut ini. Oleh keadaan itu, kita dipaksa agar sadar-diri bahwa keahlian dan keprofesionalan – terutama yang jadi pakar di masa Orde Baru – terpaksa harus menyarungkan ego dan kepongahannya. Ketahuilah, akan muncul karya-karya baru yang brillian, dari anak-anak bangsa yang betul-betul serius menekuni jalan kebenaran, bahkan tak membutuhkan upah dan bayaran apapun.


Sebagian orang bertumpu pada persoalan ekonomi yang harus segera dipulihkan, namun pada hakikatnya kesadaranlah yang mesti dibangkitkan agar mencapai tahap emansipasinya. Kenyataan hidup yang kita alami, pada akhirnya membutuhkan penerimaan, disyukuri, dijalani dengan penuh keikhlasan. Tanpa itu semua, hidup yang kita jalani akan menjadi beban yang berat untuk dipikul. Padahal, Tuhan tidak menyodorkan suatu beban derita, kecuali sesuai dengan kesanggupan manusia untuk memikulnya (Al-Baqarah: 286).


Fenomena Corona dan Covid-19 adalah musibah yang merata di mana-mana, sebagai peringatan global yang mengandung moral massage bagi seluruh manusia yang hidup di kolong langit ini. Selama ini, betapa banyak orang yang kadar keimanannya hanya bersarang di wilayah retorika dan intelektual, tetapi tidak merasuk ke dalam kalbu dan hati nurani. Orang-orang saleh bertebaran di mana-mana, tetapi tidak didukung oleh kualitas ilmu yang mumpuni. Beragama tanpa akal sama saja dengan gerakan-gerakan syariat tanpa disertai hakikat. Dengan demikian, ahli-ahli ibadah seakan mengultuskan dirinya selaku kiai atau ulama, mengumbar retorika agama di layar-layar kaca, tak kalah genitnya dengan seniman-seniman yang sentimen dan iri hati tadi.


Padahal, syariat-syariat secara tekstual, adalah nol besar bila tak diimbangi dengan ilmu dan pelayanan kepada masyarakat (amal) yang memadai. Keberagamaan secara tekstual paling-paling hanya sibuk menghakimi kejadian, tetapi lupa pada Yang Mencipta Kejadian. Kadangkala mereka mengklaim dirinya suci, seakan mengambil peran-Nya yang Maha Suci dan Maha Meliputi segala sesuatu.


Bagaimanapun, kita harus bisa menerima ujian Covid-19 ini untuk mengubah peradaban kita. Tetapi, Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka sendiri berkemauan untuk mengubah dirinya (Ar-Ra’d: 11). Kualitas iman kita pada hakikatnya ditakar dari fenomena ini. Semua itu harus diterima sebagai bagian dari rencana Tuhan yang tak bisa kita hakimi. Mari kita terus berusaha dan berdoa semaksimal mungkin. Akan lebih optimal iman kita, jika kita membaktikan diri atau mengabdi dan terjun untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Di situlah kualitas dan hakikat ibadah akan teruji dengan baik. (*)


Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten