Opini

Klaim Jihad antara FPI dan Polisi

Sel, 15 Desember 2020 | 14:30 WIB

Klaim Jihad antara FPI dan Polisi

Peristiwa penembakan enam anggota FPI oleh polisi adalah tragedi serius karena menyangkut nyawa manusia. Perlu ada pihak independen untuk mengungkap siapa yang bersalah dalam kasus ini.

Senin, 7 Desember 2020 dini hari, terjadi aksi penembakan oleh polisi atas 6 orang yang diduga pengikut MRS (Muhammad Rizieq Shihab). Keterangan Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, bahwa penembakan terjadi untuk pembelaan diri yang terlebih dahulu diserang dengan senjata api dan tajam. Lebih lanjut sang Irjen mengimbau agar MRS menaati panggilan polisi untuk dimintai keterangan seputar dugaan pelanggaran protokol kesehatan pada kerumunan acara di Petamburan, Mega Mendung dan resepsi pernikahan putrinya.

 

Kejadian yang merenggut nyawa ini tentu sebuah tragedi besar yang menimpa kita semua. Tidak ada pihak yang menghendaki jatuhnya korban nyawa dalam kasus apa pun. Hal ini lantaran bahwa nyawa manusia adalah sesuatu yang termahal di dunia. Disebutkan dalam hadits riwayat Baihaqi: “Hilangnya dunia lebih mudah bagi Allah azza wa jalla dari tumpahnya darah Muslim tanpa haq”. Agama apa pun dan peradaban apa pun berpandangan sama akan tingginya nilai nyawa manusia sehingga menjadi prioritas untuk dijaga baik oleh hukum agama maupun konvensional. Martabat manusia (human dignity) yang tinggi menjadikan manusia tanpa terkecuali, berhak atas perlakuan yang layak dan penghargaan diri. Hak ini melekat selamanya melebihi materi yang tidak semua orang memilikinya.

 

Jika kehormatan manusia adalah hak yang harus diberikan, maka nyawa adalah yang menjadikan itu semua ada. Karenanya, segala yang mengakibatkan hilangnya nyawa adalah petaka yang besar dan harus dihindari. Jangan biarkan masalah memanas hingga mengorbankan nyawa manusia. Jangan biarkan tujuan sebaik apa pun, termasuk demi menegakkan hukum, dalam melakukannya tidak terkendali hingga mengorbankan nyawa.

 

Masalahnya, kadang persepsi orang atas sebuah kematian tidaklah sama. Ada yang menganggapnya sebagai pengorbanan yang mulia demi jihad di jalan Allah. Sementara yang lain menganggapnya sebagai akibat pelanggaran hukum. Di sinilah terjadi pertarungan narasi antara pihak korban dan pihak pelaku. Pihak pertama mengaku bahwa pelaku bertindak melampaui batas dan sewenang-wenang hingga tega membunuh korban. Sementara pihak kedua mengaku bahwa dia melakukannya karena dalam kondisi bahaya. Manakah yang benar? Yang benar ada dalam proses pencarian tiada henti. Sebab yang kebenaran yang mampu dicapai oleh manusia hanyalah bayang-bayang dari sebuah objek yang terhalang oleh keterbatasan panca indera atau siluet, kata Plato. Plato meyakini bahwa kebenaran ada pada ide bukan materi. Wanita cantik bagi Plato bukan karena fisik wanitanya yang cantik tapi karena fikiran orang yang melihat wanita itu yang menganggapnya cantik. Kalau tidak percaya tanya ke banyak lelaki apakah penilaian mereka sama? Maka kebenaran adalah sebatas pandangan subjektif atau persepsi yang telah terbangun dalam fikiran seseorang bukan sesuatu yang an sich atau berdiri sendiri.

 

Persepsi dibangun oleh faktor internal dan eksternal. Yang pertama terkait daya tangkap panca indera sejauh mana dia betul-betul menangkap objek dengan benar dan teliti. Sedang yang kedua, adalah pengaruh luar atau lingkungan yang membentuk mindset. Keberpihakan dan hubungan sosial serta pengalaman hidup berperan dalam membentuk persepsi seseorang tentang sesuatu.

 

Seperti tentang kematian 6 anggota Front Pembela Islam (FPI) dalam aksi kejar-mengejar di tol Jakarta-Cikampek, ia berada dalam perbedaan persepsi yang bertolak belakang. Selain faktor pembuktian yang harus ditunjukkan oleh kedua belah pihak kepolisian dan FPI, pihak FPI menganggap apa yang terjadi adalah bagian perjuangan atau jihad dan kematian adalah aksi jibakutai atau syahid tinggi derajatnya di sisi Allah. Sementara kepolisian meyakini bahwa dialah yang berjuang demi menegakkan kebenaran dan dialah yang mati syahid jika itu terjadi.

 

Di sinilah perlu tim peneliti independen yang dianggap mampu menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya dan dijauhkan dari kemelut persepsi yang sudah terbangun yang menjadikan pembuktian berdasarkan fakta tunduk pada penafsiran persepsional.


Faktor perbedaan lingkungan FPI dan kepolisian yang mengajarkan tentang definisi perjuangan atau jihad menjadikan masing-masing kekeh dengan pendiriannya. Kondisi psikologis yang berbenturan menjadikan pembuktian materiil tidaklah sederhana. Yang ada adalah negasi dan perlunya menunggu hasil temuan Komisi Hak Asasi Manusia sebagai pembanding dari rilis kepolisian. Setelah keluar temuan Komnas HAM, tanggapan polisi juga harus didengar jika ia menyangkal temuan itu. Begitulah kebenaran adalah jamak diperdebatkan apalagi dalam kasus yang memakan korban nyawa.

 

Datangnya Muhammad Rizieq Shihab ke kantor polisi untuk menyerahkan diri patut diberi apresiasi, meskipun itu terjadi setelah jatuh korban nyawa. Kehadirannya, setidaknya, menunjukkan bahwa keselamatan pengikutnya jauh lebih mahal dari kasus dan hukuman yang akan dia hadapi. Dan semoga tidak ada lagi petaka itu dan apa yang terjadi ke depan adalah rekonsiliasi demi rekonsiliasi yang tuntas dan adil bukan yang menyimpan potensi konflik yang tiada berkesudahan.

 

Jihad

Terkait motif “jihad” yang bisa menjadi rebutan kedua pihak, maka Jihad dalam arti perang di jalan Allah adalah perkara besar yang memiliki banyak syarat dan prosedur. Dengannya, membunuh manusia (musuh) menjadi halal setelah ia sebelumnya, membunuh, adalah dosa terbesar. Karena besarnya risiko, keputusan perang harus keluar dari imam atau kepala negara berdasarkan fatwa ulama, pandangan wakil rakyat dan pertimbangan lainnya. Seperti saat perang 10 November 1945 resolusi jihad yang dikeluarkan Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy ’ari, ia berpengaruh besar terhadap lahirnya keputusan perang melawan tentara Sekutu. Hal serupa, fatwa perang oleh ulama, juga muncul di Sumatera Barat, di mana pada Agresi Belanda antara 1945-1950 Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukit Tinggi mengeluarkan fatwa jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

 

Terkait keputusan perang di tangan imam/raja/sultan/amir atau presiden sebagai pemimpin tertinggi negara, adalah lantaran bahwa imamlah yang faham betul kekuatan umat, musuh dan alasan perang. Ibn Qudamah seperti dikutip Sa’id b. Ali al-Qahtani dalam al-Jihad fi Sabilillah Ta’ala berkata: “Perkara jihad dipasrahkan kepada ijtihad imam (kepala negara). Rakyat wajib menaatinya”.

 

Permasalahan muncul ketika kepala negara dianggap tidak legitimate secara syar’i. Di sini, yang digunakan adalah yang dipilih oleh rakyat baik secara langsung atau oleh wakil rakyat atau para petinggi negara dan tentara. Atau pemimpin yang secara de facto telah dan sedang memerintah wilayah tertentu. Tidak harus penguasa umat Islam sedunia (seperti khalifah atau al-imam al-a’dham) sebab hal itu sudah sulit dicapai (ma’dzur) baik secara kuantitatif mau pun kualitatif. Semenjak akhir kepemimpinan khalifah Usman bin Affan (berkuasa 644-656M), umat Islam tidak kunjung usai dirundung konflik politik sehingga kepemimpinan terbelah. Untuk itu kepala pemerintahan yang efektif di sebuah negara adalah yang berhak mengeluarkan keputusan perang (Sa’id b. Wahf al-Qahtani, al-Jihad fi Sabilillah ta’ala mengutip dari al-Syarh al-Muqni’ ‘ala Zadil Mustaqni’).

 

Seiring dengan itu, sang pemimpin membentuk pasukan militer untuk menjaga negara dari ancaman musuh, seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Indonesia. Merekalah pengemban tugas jihad yang dengan keberadaan mereka menjadi gugur kewajiban perang bagi lainnya. Hal ini lantaran hukum awal jihad adalah fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain. Hukum ini bisa bergeser ke yang kedua dan menjadi kewajiban individu manakala keadaan darurat dan atas perintah imam. Tidak semua boleh ikut perang. Dalam sebuah hadits disebutkan penolakan Nabi terhadap sahabat untuk ikut perang. Nabi memandang baginya jihad yang tepat adalah menjaga ibu bukan perang. Ada banyak bentuk jihad selain perang dan umat Islam bisa memilih mana yang paling bisa dia lakukan untuk membela umat, bangsa dan negara.

 

Posisi presiden Indonesia sebagai kepala negara yang sah secara syariat telah ditetapkan dalam konferensi Alim Ulama se-Indonesia di Cipanas 1954. Di mana pada saat itu dikukuhkan sebagai waliyul amri ad-dharuri bis-syaukah (pemegang kekuasaan negara darurat). KH Abdul Wahab Chasbullah menjelaskan saat itu, bahwa dengan tidak adanya al-imam al-a’dham yang sah yang berkuasa atas seluruh umat Islam sedunia dengan kriteria mujtahid mutlak, maka sebagai alternatif tiap negara mengangkat imam dharuri. Ir. Soekarno atau Bung Karno yang dipilih oleh para pemuka warga negara untuk selanjutnya adalah pemimpin yang sah secara syariat sebagai waliyul amri Indonesia.

 

Sebagai waliyul amri, penanggung jawab urusan negara tertinggi, keputusan perang atau jihad ada di tangan presiden Republik Indonesia bukan selainnya termasuk ulama. Adanya pemimpin kelompok yang mengeluarkan ajakan jihad dengan sendirinya tertolak karena keluar dari orang yang tidak berwenang. Selain itu, perang butuh keahlian dan pelatihan sehingga menjadi domain Tentara Nasional Indonesia. Warga sipil berjihad lewat jalan lain demi kemaslahatan umat dan kemajuan bangsa dan negara.

 

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya