Opini

Memahami Kedamaian dan Perang dalam Islam

Sab, 12 Desember 2020 | 02:30 WIB

Memahami Kedamaian dan Perang dalam Islam

Ilustrasi Islam damai. (Foto: NU Online)

Kedamaian merupakan dambaan semua manusia. Dalam agama, diperintahkan setiap umatnya untuk menyebarkan kedamaian dalam kehidupan. Dalam Islam pun Nabi telah memerintahkan dan memberi contoh kepada umat Islam untuk menebar kedamaian dengan menebar salam, apabila bertemu dengan orang lain, baik orang yang dikenal maupun tidak. 


Dalam Islam, Allah SWT telah memberikan berbagai cara dalam meraih kedamaian melalui mazhab-mazhab yang ada dalam Islam. Walaupun memiliki cara yang berbeda, mazhab-mazhab yang ada ini pada dasarnya berlandaskan kedamaian, sehingga ketika ada mazhab yang ditempuh melalui jalan kekerasan, maka mazhab itu bisa dipastikan tidak sesuai dengan Islam. 


Jadi kedamaian adalah sebuah hal yang mutlak dan didambakan oleh setiap manusia karena bermula dari hati setiap manusia. Tidak mungkin mampu memberikan kedamaian kepada orang lain jika hatinya sendiri tidak damai. 


Perlu disadari, pada prinsipnya, kehadiran Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyingkirkan segala upaya kekerasan termasuk di dalamnya adalah perang. Nabi mengajarkan umatnya untuk membenci peperangan. Dalam Al-Qur’an redaksi qital (perang/membunuh) tidak otomatis berbicara tentang perang. 


Seperti dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 216 disebutkan: “Diwajibkan atas kamu berperang. Padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu. Padahal ia amat baik bagimu. Boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui. Sedangkan kamu tidak mengetahui.” 


Dalam ayat ini, Allah memerintahkan perang kepada umat Islam. Namun, sebenarnya umat Islam merasa berat dan tidak senang terhadap peperangan. Jiwa umat Nabi Muhammad sudah terdidik untuk cinta pada perdamaian sehingga ketika turun ayat ini Allah menambahkan dengan kalimat wa huwa kurhul lakum (padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci).


Ayat ini berbicara tentang perang, namun sebenarnya kandungannya mengisyaratkan bahwa jiwa umat Islam dididik oleh nabi untuk selalu enggan berperang. Seorang muslim pun tidak diwajibkan untuk mengislamkan seluruh dunia dengan perang. Perang dilakukan untuk membela agama, membela kepercayaan demi meraih kedamaian. 


Sehingga jika terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan orang lain kemudian ada permintaan perdamaian, maka umat Islam harus menyambut ajakan perdamaian itu.


Namun Syekh Muhammad Abduh, seorang ulama Mesir di akhir abad 19 pernah mengungkapkan bahwa al Islamu mahjubun bil muslimin (Islam tertutup oleh umat Islam). Ditutupi di sini bermakna rahmat dan kebaikannya yang ditutupi oleh ulah umat Islam sendiri dengan sikap-sikap seperti radikal, keras,  dan melampaui batas kepada orang-orang yang tidak sejalan dengannya.


Menurut Prof Quraish Shihab, radikalisme akan menghalangi datangnya rahmat Allah SWT kepada manusia. Islam sendiri tercoreng reputasinya oleh segelintir umatnya yang melakukan kekerasan atas nama Islam. Ada pandangan keliru di masyarakat dengan menggunakan dalil sepotong-sepotong untuk dijadikan landasan perbuatan keras yang bertentangan dengan kedamaian. Seperti penafsiran sepotong ayat:


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ 


Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS al-Fath:29)


Ayat ini sering dijadikan dasar bagi sebagian kelompok untuk menghalalkan kekerasan dalam perilaku mereka. Padahal makna keras ini memiliki tingkatan dan tidak semua kekerasan yang dilakukan seseorang harus dilawan dengan kekerasan pula.

 

Bersikap keras bisa diawali dengan menampakkan ketidaksetujuan terhadap hal yang bertentangan dengan agama Islam sampai tingkat tertinggi dengan memerangi dengan cara-cara yang diperbolehkan oleh agama. 


Ayat terakhir surat Al-Fath ini diturunkan dalam dalam konteks perjanjian Hudaibiyah. Sehingga dalam memahaminya perlu memahami keseluruhan konteks ayat-ayat sebelumnya sekaligus memiliki pemahaman utuh tentang perjanjian hudaibiyah.

 

Konteks ayat di atas adalah suasana ketegangan, bukan ayat di masa tenang atau damai. Jadi, memberlakukan ayat itu dalam konteks keseharian kita berinteraksi sosial saat ini tentu tidak tepat. 


Ketika ayat ini turun pun, Rasulullah tidak bersikap keras sebagaimana pemahaman yang sering disalahpahami. Rasul justru sedang bersikap lunak kepada orang kafir dalam perjanjian hudaibiyah. Sikap ‘lunak’ Rasul pun pernah dilakukan dalam peristiwa Fathu Makkah dengan bersikap lembah lembut kepada penduduk Makkah. Abu Sufyan pun mendapatkan perlindungan dari Rasulullah. 


Oleh karenanya, sudah seharusnya dalam memahami agama tidak hanya tertuju pada satu dalil atau ayat. Karena satu ayat dalam Al-Qur’an memiliki keterkaitan dengan ayat yang lain. Satu tuntunan dalam sebuah ayat bisa jadi hanya bagian dari sekian banyak tuntunan yang ada pada ayat lain. (Muhammad Faizin)


Artikel ini terbit atas kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI