Opini

Lima Buku yang Direkomendasikan Gus Dur untuk Santri

Jum, 13 Desember 2019 | 02:30 WIB

Lima Buku yang Direkomendasikan Gus Dur untuk Santri

Patung Gus Dur Kecil Membaca Buku di Taman Amir Hamzah, Jakarta, tepat di depan kediaman Nyai Sholihah Wahid Hasyim

Bukan buku karya-karya intelektual Muslim yang sedang populer di Indonesia akhir tahun 1990-an atau awal tahun 2000-an seperti Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, atau Abdullah Ahmed An-Na'im; atau buku karya ilmuan politik Amerika Serikat Samuel P. Huntington yang sangat menghebohkan ketika itu. Ketika para santri menanyakan perihal ide-ide mereka, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menanggapi ringan saja. Ia menceritakan dialognya dengan tiga nama terakhir itu dan mengesankan ide mereka biasa saja. Ya para santri tetap harus membaca karya mereka agar tidak kuper, namun Gus justru memperkenalkan buku-buku lain untuk dibaca para santri.
 
Malahan buku-buku yang ini dikenalkan oleh Gus Dur saat mengkaji beberapa kitab kuning pesantren, seperti ketika mengkaji kitab nahwu Qathrun Nada, kitab tasawuf Matan al-Hikam, dan kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Di pesantren, biasanya istilah kitab dan buku itu dibedakan. Kitab itu yang berbahasa Arab, sementara buku itu yang berbahasa selain Arab, seperti buku berbahasa Indonesia atau Inggris. Padahal jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kitab itu berarti buku.
 
Sedikitnya ada lima buku yang direkomendasikan Gus Dur. Buku pertama adalah Aera Eropa karya J.M. Romein. Buku ini diterjemahkan dari “Aera van Europa” oleh penerbit Ganaco Bandung. Tercatat tahun terbitnya 1956. Buku ini bercerita tentang sejarah dunia yang kemudian terfokus pada peradaban Eropa. Beberapa kalimat yang ditulis oleh Romein agak provokatif kalau dibaca orang Indonesia, khususnya kaum Muslimnya yang selama ini merasa besar dari sisi jumlah. Kata Romein: “Andaikata djumlah penduduk suatu negara dalam segala keadaan menentukan kekuasaan dan pengaruh negara itu maka Tiongkok seharusja mendjadi negara jang selalu besar kekuasaanja sebab pendudukja selalu terbanyak sepanjang jang dapat kita ketahui.”
 
Kalimat yang agak sinis untuk Tiongkok itu mungkin tidak terlalu tepat jika dibaca sekarang. Tapi ketika itu, kata Romein, Jepang yang penduduknya hanya 44 juta jiwa dapat mengalahkan Tiongkok yang penduduknya 435 juta.
 
Buku Aera Eropa bercerita tentang tantangan geografis orang Eropa, faktor demografi, etnologi dan ‘jiwa’ orang Eropa, tentang bangsa Yunani, Romawi, Byzantium, tentang agama Nasrani, persinggungan Islam dan Eropa, dan Protestantisme, tentang renaissance, tentang kemampuan ‘teknik’ orang Eropa, tentang nasionalisme, kapitalisme dan ‘penemuan’ daerah (jajahan) baru, tentang aufklarung, tentang revolusi industri, Revolusi Prancis dan Rusia, Revolusi Amerika, imperialisme modern, sampai jatuhnya ‘musim gugur’ di Eropa.
 
Empat buku lain yang direkomendasikan Gus Dur untuk para santri ini bergenre ekonomi politik. Tiga buku yang pertama ini terkait pertanian.
 
Pertama adalah buku Mystery of Capital karya ekonom Peru, Hernando de Soto. Buku ini antara lain menjawab mengapa para petani di negara berkembang hampir selalu terperangkap dalam jurang kemiskinan, hanya bisa menanam untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Salah satunya dalah soal kepemilikan lahan yang ‘informal’, sembari menunjukkan contoh keberhasilan ekonomi kapitalisme Jepang dan Amerika yang dirancang sejak zaman sebelum Perang Dunia I.
 
Buku ekonomi politik kedua adalah The Moral Economy of Peasant karya James C. Scott, seorang ilmuwan politik dan antropolog Amerika. Buku ini sudah diterjemahkan oleh penerbit LP3ES dengan judul Moral Ekonomi Petani.
 
James Scott menyampaikan kesimpulan yang menyakitkan tapi tetap perlu dicerna oleh para santri yang mungkin sebagian besarnya adalah anak para petani. Katanya, para petani di Asia Tenggara pada umumnya adalah manusia yang sangat statis. Mereka sangat tergantung kepada norma-norma yang ada. Mereka juga cenderung menghindari resiko. Bahkan ketika seorang petani mengalami suatu keadaan yang menurut mereka dapat mengancam kelangsungan hidupnya, maka mereka menjual dan menggadai harta benda mereka. Ini yang disebutnya sebagai norma subsistensi dalam masyarakat petani.
 
“Etika subsistensi” ini menjadi salah satu gagasan utama dalam karya Scott, yaitu etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal yang melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari pemerintah, dan bahkan pada saatnya akan memunculkan pemberontakan. Dalam hal ini ia memang lebih terasa seperti seorang konsultan pemerintah, namun beberapa analisasnya tetap layak dibaca oleh anak para petani yang ingin mengembangkan pertanian orang tuanya.
 
Buku ketiga adalah karya Clifford Geertz. Di Indonesia, ia lebih dikenal dengan buku The Religion of Java yang diterjemahkan menjadi ‘Santri, Abangan dan Priyayi’, yang merupakan hasil penelitiannya di Yogyakarta dan Pare Kediri. Namun antropolog Amerika ini sebenarnya adalah seorang ekonom. Gus Dur mengenalkan satu karya Geertz yang juga penting dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu Involusi Pertanian. Involusi artinya kemunduran.
 
Fokus Geertz adalah pertanian di wilayah Jawa. Buku ini menunjukkan bahwa kehadiran sistem pertanian modern yang dibawa oleh pihak pihak kolonial Belanda tidak memunculkan perubahan, namun justru memunculkan involusi karena jumlah penduduk yang terus bertambah.
 
Setelah membaca buku ini, para sarjana ekonomi khususnya yang membidangi pertanian, mestinya bisa memberikan penjelasan apakah sistem pertanian yang ada sekarang ini masih sama seperti zaman pemerintah Belanda?
 
Ketika mengulas buku ini, malahan Gus Dur menceritakan model kewarisan Jepang terkait lahan pertanian yang berbeda dengan sistem kewarisan Islam yang dipelajari para santri di pesantren. Di Jepang, tanah pertanian tidak boleh dibagi habis, namun diserahkan pengelolaannya kepada anak tertua agar tetap produktif. Sebenarnya, sistem pembagian warisan lahan pertanian seperti di Jepang ini sudah ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ada di Indonesia, yaitu pada pasal 189 Buku KHI Bagian II tentang kewarisan. Sebelum ditetapkan oleh Presiden Soeharto melalui Inpres pada tahun 1991, naskah KHI ini sebenarnya sempat dibahas pada Munas Alim Ulama NU dan Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur, 1983-1984, namun sebagian besar orang pesantren dan masyarakat Muslim pada umumnya enggan mengamalkan beberapa pasal dalam KHI.
 
Buku terakhir yang direkomendasikan Gus Dur adalah buku-buku atau serpihan pemikiran dari ekonom Belanda di masa lalu, yaitu J.H, Boeke tentang “Dua Economi”, ekonomi formal dan nonformal. Kritik utama yang disampaikan oleh Gus Dur dari hasil membaca catatan Boeke adalah semestinya pemerintah tidak hanya menganakemaskan sektor formal. Karcis atau retribusi yang dikumpulkan oleh para pedagang di pasar tradisional itu saja kalau dikumpulkan sebenarnya jumlahnya bisa lebih besar dari pajak usaha formal. Kira-kira begitu, jika pemerintah hendak “berbisnis” dengan rakyat. Ada satu kaidah fiqih yang sering diulang-ulang oleh Gus Dur: “Tashurruful imam alar roiyyah manutun bil maslahah”, bahwa apapun kebijakan pemerintah harus berorientasi menyejahterakan rakyatnya.
 
Terlepas dari sosok seorang Gus Dur yang secara dramatis disebut "pintar sebelum lahir" karena anak dan cucu orang-orang besar, ia adalah seorang pembaca yang budiman. Bahkan semasa kecil konon ia sudah mengkhatamkan buku monumental Das Kapital karya Karl Mark, buku yang saat ini terancam akan disita oleh aparat keamanan.
 
Banyak kutipan menarik Gus Dur terkait kegemarannya membaca buku yang layak dibikin quote. Misalnya begini, kata Gus Dur: “Sebodoh-bodohnya orang adalah yang meminjamkan buku. Namun lebih bodoh lagi, yang meminjam buku lalu dikembalikan.”
 
Syahdan, Gus Dur bukanlah orang yang paling rajin membaca buku. Ada cerita menarik dari sumber kedua namun bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Seorang yang lebih ‘gila’ dalam membaca buku bernama Hasyim Wahid. Diceritakan, setiap pulang dari luar negeri Gus Dur selalu membawa buku baru, kemudian diberikan kepada adiknya itu. Suatu ketika Gus Dur mendapatkan kritik pedas dari sang adik, tidak jelas ini terkait apa. Tidak tanggung-tanggung, kritiknya menggunakan buku referensi yang diberikan oleh kakanya sendiri. Gus Dur tidak bisa berkelit karena kritiknya memang benar-benar ilmiah, atau bahasa pesantrennya ada maroji’-nya. Lalu Gus Dur menjawab enteng, “Kamu itu memang kurang kerjaan. Masa dibawain buku sebanyak itu kog dibaca semua!”
 
Penulis adalah redaktur NU Online, pernah nyantri di Pesantren Ciganjur.