Opini

Membangun Konfidensi Umat Islam terhadap Praktik Bernegara

Sel, 8 September 2020 | 06:15 WIB

Membangun Konfidensi Umat Islam terhadap Praktik Bernegara

Ilustrasi umat Islam di Indonesia. (Foto: dok. istimewa)

Oleh Muchotob Hamzah


Sejak zaman Nabi Muhammad SAW hidup di Daar al-Harbi (Negeri Musuh) di Makkah, saat itu Nabi Muhammad dan umat Islam dihimpit oleh Negara dalam permasalahan akidah, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Tetapi Islam dengan tuntunan Al-Qur'an telah mendidik umat ini dengan agama yang full confident (penuh kepercayaan diri).


Dalam Al-Qur'an Surat Makkiyah, tepatnya Surat al-Kafirun Ayat 6 menunjukkan hal tersebut dengan sangat tegas. Ketika umat mendapatkan teror mental, teror fisik, embargo, politik etnis, eksekusi tokoh dan kompromi akidah, al-Qur'an menyatakan, "Lakum Diinukum Wa liya diinun". Artinya, "Bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami". Sikap Nabi Muhammad SAW pantang mundur tetapi tetap menjunjung toleransi dalam bingkai persatuan. 


Islam sangat konsen dengan persatuan dan kesatuan kemanusiaan. Pesan ta’aruf-Nya dideklarasikan pada ayat yang khithabnya, "yaa ayyuhan naasu (wahai sekalian manusia). Sesungguhnya Aku (Allah SWT) telah menciptakan kalian berjenis laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan kabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. (QS. Al-Hujurat)


Ujung ayatnya membuka peluang kepada siapa pun tanpa pandang darah biru atau merah, bangsawan atau kebanyakan untuk menjadi orang terhormat. Peluang itu didapat siapa pun yang bisa mencapai derajat takwa.


Kemudian setelah Nabi Muhammad SAW mukim di Yatsrib (Madinah), di bawah bayang-bayang koalisi musuh internal maupun eksternal, ayat Madaniyah dengan sangat tegas membimbing umat Islam dalam sikap yang konfidens menghadapi ahli kitab khususnya.


Penggalan surat Ali Imran ayat 64 menyatakan, "...fa in tawallau faquuluu isyhaduu bi annaa muslimuun." Artinya, "Kalau mereka menolak dalam kesepakatan, silakan! Yang penting akuilah bahwa eksistensi kami sebagai orang Islam".


Luar biasa pede. Kekuasaan di luar muslim boleh dengan sistem apapun, boleh dengan bentuk apapun dan juga ideologinya apapun. Yang penting akui kami sebagai Muslim dengan berbagai sistemnya.


Seakan Nabi Muhammad SAW dan orang Islam berkata, "Peduli amat dengan ideologi yang anda bawa. Mau kapitalis, mau sosialis, mau sekularis, mau paganis, yang pokok akui komunitas kami".


Kaum yang percaya diri (pede) seperti inilah yang membuat mereka terbuka dan inklusif. Apalagi dengan visi Rahmatan lil 'Alamin (QS Al-Anbiya 107). Rahmah adalah ar-Riqqatu Wa at-Ta'atthufu, yaitu simpati dan empati (Lisaanul 'Arab: Ibn al-Mandzur).


Dan umat yang seperti ini tidak selalu curiga pada orang lain. Sikap yang seakan semua orang akan menghabisi mereka adalah sikap yang paranoid. Sikap yang membuat umat eksklusif dan selalu memandang dengan sikap permusuhan.


Berkaitan dengan dibuatnya piagam Madinah yang hanya 47 Pasal dalam 10 Bab, di dalamnya tidak ada satu klausul pun yang menyatakan bahwa negara Nabi Muhammad SAW sebagai Negara Islam (label), meskipun berpayungkan Al-Qur'an. Piagam tersebut inklusif sehingga diterima oleh semua komunitas Madinah yang ada waktu itu. Baik Yahudi, Nasrani, maupun Paganis. 


Islam dijalankan secara elegan. Dengan pede pula komunitas lain yang ada pada saat itu dirangkul erat-erat. Musuh yang menyerang diselesaikan sesuai tingkat permusuhannya. Jadinya negara ini memiliki banyak kawan, jejaring (networking) yang semakin kuat. 


Saking pede-nya, perjanjian Hudaibiyah yang secara kasat mata merugikan umat Islam, oleh Nabi Muhammad SAW ditandatangani. Sebuah MoU yang timpang dan berat sebelah. Naskah MoU yang melambangkan simbol agama seperti kata-kata "Rasulullah" dan "Basmalah" dalam naskah harus dianulir oleh kaum kafir Quraisy. 


Tidak terkira, setelah berpikir lumayan jauh, ternyata di situlah kunci kejayaan Islam. Mengalah untuk menang, dan menang tanpa mengalahkan. Nabi Muhammad SAW hakikatnya memimpin Daar al-Islam, tetapi tidak melabeli negaranya dengan negara Islam. Cukup nama yang netral, Madinah al-Munawwarah. Puncaknya ketika musuh bertekuk lutut, dengan tegas amnesti digaungkan. Laa tatsriiba. Wallaahu a'lam bisshawab.

 

Penulis adalah Rektor Universitas Sains Al-Qur'an (Unsiq) Wonosobo, Jawa Tengah