Opini

Menghindari Konflik, Tradisi Politik Sunni

Sel, 1 Desember 2020 | 13:00 WIB

Menghindari Konflik, Tradisi Politik Sunni

Umat Islam punya pengalaman pedih konflik pada era Khalifah Utsman dan Ali (al-fitnah al-kubra).

Ada banyak pengalaman mahal saat kunjungan ke negeri Paman Sam pada 2014. Di antaranya adalah jumatan di masjid komunitas Syiah di negara bagian Connecticut. Dalam khotbahnya sang khatib bercerita tentang suri teladan Sayyidina Husain, cucu Rasulullah Muhammad, yang berani menantang maut demi mengatakan yang haq kepada penguasa Yazid bin Mu’awiyyah. Materi semacam ini tentu tidak pernah ada dalam ceramah di kalangan kaum Sunni (sebutan penganut Ahlussunnah wal Jamaah, aliran mayoritas umat Islam), tapi selalu disampaikan di kalangan kaum Syiah.

 

Keberanian Husain untuk menggugat kepemimpinan Yazid yang menduduki tahta berdasarkan pewarisan dari sang ayah Mu’awiyyah bin Abi Sufyan adalah suri teladan yang harus ditiru umat Islam. Pewarisan kekuasaan bertentangan dengan tradisi Islam yang diamalkan Khulafaur Rasyidin (632-661 M) dan karena itu harus ditolak dan tidak boleh dibiarkan. Pengangkatan pemimpin harus lewat musyawarah dan pilihan rakyat bukan pewarisan. Demikian sikap tegas Sayyidina Husain terhadap naiknya Yazid bin Mu’awiyah yang mengawali sistem kerajaan (Dinasti Umayyah) dalam pemerintahan Islam. (Ali Sholaby, aljazeera.net).

 

Suksesi kepemimpinan pasca Rasulullah dilakukan melalui musyawarah yang pada zamannya adalah hal baru. Karenanya tidak berlebihan jika Islam disebut mengawali tradisi republikanisme dalam bentuk pemerintahan. Ada pengangkatan pemimpin lewat penunjukan seperti yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar yang menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Tapi hal itu tidak serta merta. Sang khalifah yang waktu itu dalam keadaan sakit menyampaikannya ke para sahabat untuk mengetahui respons mereka. Sedangkan khalifah Utsman dipilih oleh enam sahabat yang ditunjuk oleh Umar. Dan Ali bin Abi Talib dipilih berdasarkan baiat umat Islam kepadanya di Masjid Nabawi.

 

Berbeda dengan sebelumnya, Mu’awiyyah mewariskan kepemimpinan kepada anak. Dia sebenarnya menyampaikan kehendaknya itu kepada sahabat yang tentu tidak bisa diterima dengan lapang dada. Namun, kekuatan politik Mu’awiyyah di atas angin sehingga para sahabat tak kuasa untuk melawan sedikit pun. Apalagi pengalaman perang antarumat Islam pada era Khalifah Utsman dan Ali (al-fitnah al-kubra) begitu pedih sehingga mereka memilih menahan diri daripada harus kembali berperang melawan Mu’awiyyah seperti saat memeranginya di masa khalifah Ali bin Abi Thalib.

 

Selain Husain, Ibn Umar dan Abdullah bin Zubair dan banyak sahabat tidak baiat kepada Yazid tapi mereka tidak melawan karena khawatir pertumpahan darah. Sikap para sahabat yang menahan diri dan mengalah inilah yang kemudian menjadi core value politik Ahlussunnah wal Jamaah. Yaitu nilai loyalitas yang penuh kepada penguasa dan tidak memberontak. Nilai yang cenderung pasif ini, selain karena pahit getir perang sipil semasa Khulafaur Rasyidin, rujukan hadits Rasulullah juga mengarahkan ke sana. Bahkan kata “al-Jamaah” dalam nama Ahlussunnah wal Jamaah berkonotasi menjaga keutuhan bersama dan tidak keluar dari kelompok mayoritas.

 

Ibnu Sirin dari Abdullah bin Mas’ud ketika ditanya pasca terbunuhnya khalifah Utsman berkata: “Kamu hendaknya bersama jamaah, karena Allah tidak menjadikan umat Muhammad berkumpul dalam kesesatan.” Siapakah jamaah itu? Ath-Tabari menyebut beberapa tafsiran tentang jamaah. Yaitu, (1) kelompok mayoritas (al-sawad al-a’dham), (2) para sahabat, (3) para ulama, dan (4) yang dipilih oleh mayoritas untuk memerintah. Inti perintah mengikuti jamaah adalah kewajiban menjaga kesatuan dan persatuan umat dan tidak keluar atau menyempal apalagi memberontak serta kewajiban mentaati pemimpin yang dipilih bersama. Larangan menyempal secara eksplisit disebutkan dalam hadits dan contoh darinya adalah kaum Khawarij yang menentang khalifah Ali bin Abi Talib dan melakukan makar hingga membunuhnya. Pemilihan yang dilaksanakan melalui proses bersama menghasilkan pemimpin yang legitimate yang harus dijaga demi kesatuan bersama (jamaah) dan agar tidak tercerai berai.

 

Dalam hadits disebutkan bahwa kepatuhan kepada pemimpin adalah wajib bahkan jikalau dia tergolong fasik (pendosa), pelaku maksiat (‘ashi), dari golongan budak Etiopia (‘abdun habasyiy) dan dari kelompok minoritas. Seperti dinasti Abbasiyyah (750-1258M) yang pernah rajanya, al-Ma’mun (786-833M) menganut paham Mu’tazilah dan pada masa al-Buwaihi (934-1062M) menganut Syiah. Meski demikian umat Sunni tidak membangkang dan tetap loyal. Atau kalau di zaman sekarang presiden Suriah, Bashar Asad yang Syiah di kalangan warganya yang mayoritas Sunni. Bahkan jika sang pemimpin jahat, menindas dan merampas hartamu, kamu supaya mematuhinya. Dalam hadits Ibn Abbas Rasulullah berkata: “Barang siapa benci terhadap pemerintah, maka hendaknya bersabar. Maka barang siapa membelot sejengkal dari sultan, dia mati dalam jahiliyyah”. Dalam riwayat lain: membelot dari kelompok. Dalam kondisi vakum kepemimpinan, diperintahkan untuk diam hingga datang sultan atau penguasa yang sah dan dilarang mengikuti orang (pemimpin tidak jelas) yang mengajak ke pintu neraka (du’at abwab jahannam).

 

Taat dan patuh kepada pemimpin adalah konsekuensi hidup berjamaah. Dalam jamaah ada struktur dan yang tertinggi adalah pemimpin. Ketidaktaatan kepada pemimpin akan melemahkan jamaah. Untuk itu kepatuhan kepada pemimpin adalah yang terpenting dalam berjamaah.

 

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa hidup dalam jamaah biarpun menderita lebih baik daripada keluar dari jamaah biarpun senang. Dengan nilai dasar seperti ini, maka oposisi sebenarnya tidak dikenal dalam politik Ahlussunnah wal Jamaah, setidaknya pada era awal dan menengah. Semua harus loyal tanpa ada oposisi sebagai penyeimbang dominasi pemerintah (sparing partner eksekutif). Seperti kritik yang mengandung tendensi politis untuk mencari simpati rakyat pada pemilu mendatang tidaklah ada.

 

Meski demikian, penyampaian kebenaran harus dilakukan demi kebaikan penguasa. Hal ini dilakukan bukan sebagai oposisi seperti dalam demokrasi modern, tapi sebagai pembantu yang loyal (bitanah) yang menyampaikan fakta apa adanya dan bukan “asal bapak senang” (ABS). Sesuai hadits Abu Dzarr, “Rasulullah menyuruhku untuk mengatakan yang haq biarpun itu pahit” (HR Ahmad, Baihaqi, Ibn Hibban). Hadits Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah berkata, “Jihad yang paling utama adalah kalimat haq di hadapan penguasa yang tidak adil” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

 

Ketaatan yang total kepada pemimpin dan pilihan menghindari konflik politik di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah ini, berbeda dengan tradisi Syiah yang meniru keberanian Sayyidina Husain dalam melawan penguasa Yazid demi kebenaran. Hadits Nabi seperti yang tersebut di atas tentang keharusan menegakkan kalimat haq menjadi dasar perlawanan itu. Sayyidina Husain seolah memberikan legalitas perlawanan di kalangan umat Syiah untuk menjatuhkan penguasa yang tidak benar. Hal ini pula yang menjadikan Syiah dan politik sulit dipisahkan; berbeda dengan Sunni yang memungkinkan pemisahan urusan agama dan politik. Politik Syiah dipimpin oleh pemimpin Syiah tertinggi, Ayatullah, yang posisinya di atas presiden yang dipilih lewat pemilu. Kepemimpinan ulama dalam politik adalah bagian dari rukun Islam Syiah yang harus ditegakkan. Ulama adalah pemilik otoritas penentu haluan negara (wilayat al-faqih). Hal ini tentu berbeda dari yang ada dalam Sunni. Jangankan ulama berkuasa atas politik, untuk urusan keagamaan pun umat Sunni tidak mengenal siapa pemimpin mereka. Tidak mengherankan jika dalam Sunni terdapat banyak kelompok yang berjalan sendiri-sendiri mengatasnamakan Islam dan melakukan aksi yang membahayakan orang lain. Hal ini lantaran lemahnya kepemimpinan di kalangan Sunni. Suatu hal yang patut menjadi perhatian bersama agar masyarakat Muslim yang terstruktur dan tidak amburadul.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya