Opini

NU dan Masa Depan Filantropi Islam

Sab, 25 Februari 2023 | 07:00 WIB

NU dan Masa Depan Filantropi Islam

Ilustrasi filantropi. (Foto: NU Online/Freepik)

Perhelatan 1 Abad Nahdlatul Ulama tahun 2023 ini memantik sebuah harapan baru bangkitnya Indonesia dalam percaturan Islam di dunia. Dengan mengusung tema Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru, perhelatan akbar ini tentu banyak melahirkan harapan dari bangsa Indonesia. Sebagai kawasan yang dihuni mayoritas umat muslim, Indonesia memiliki peran yang strategis dalam memperkokoh model keberagamaan yang moderat, toleran dan visioner, serta tata kelola filantropi Islam yang maju dan modern.


Harapan ini tentu tidaklah mengada-ada. Nahdlatul Ulama lahir adalah bagian penting sejarah Indonesia untuk tumbuh sebagai kawasan yang berperan strategis dalam percaturan ekonomi dunia dan juga transformasi pemikiran Islam sejak abad 16 M. Indonesia adalah bagian penting kawasan ekonomi yang menghubungkan Nusantara dan wilayah sekitarnya dengan pusat-pusat ekonomi dunia, salah satunya dengan China dan Gujarat.


Di saat bersamaan, Indonesia juga menjadi pintu bagi para pencari ilmu untuk masuk ke pusat-pusat keilmuan Islam, khususnya Mekkah dan Madinah. Para jamaah haji yang sekaligus para pencari ilmu, akan melewati wilayah Semenanjung Melayu untuk menuju Mekkah dan wilayah di sekitarnya. Syekh Yusuf al-Makassari, seorang ulama dan pejuang yang dibuang penjajah ke Afrika, adalah salah satu sosok melakukan perjalanan panjang menyusuri Sumatera untuk menuju Makkah.


Secara geografis, Indonesia menjadi jalan utama perdagangan dunia, bahkan hingga hari ini. Selat Malaka, adalah salah satu gerbang penting mobilitas ekonomi yang mempertemukan pusat-pusat perekonomian di wilayah ASEAN dengan dunia lainnya. Nilai strategis ini pula yang kadang memantik “konflik’ antar beberapa negara untuk mengakuisisi wilayah laut yang strategis ini.


Di usia ke 100 tahun, Nahdlatul Ulama telah memiliki kapasitas jaringan hingga tingkat desa. NU juga memiliki infrastruktur pendidikan, kesehatan dan juga pengembangan ekonomi. Tak diragukan jika NU telah membangun Indonesia, menjadi jembatan komunikasi antar peradaban dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang ramah akan keragaman, toleran terhadap perbedaan dan santun dalam bertindak.


Salah satu harapan dalam 1 abad Nahdlatul Ulama adalah bangkitnya filantropi Islam sebagai pilar pembangunan. Filantropi Islam, khususnya Zakat dan Wakaf, secara nyata berkontribusi besar terhadap pembangunan Nasional. Hal ini terlihat dengan peran keduanya dalam menghadirkan pondasi pembangunan, baik berupa pendidikan, kesehatan maupun ekonomi kerakyatan.


Data menunjukkan, terdapat ribuan lembaga pendidikan, masjid, musala, pemakaman dan lainnya, dibangun di atas tanah wakaf. Begitu pula, ada ribuan program pengentasan ekonomi dalam rangka meningkatkan pemerataan kesejahteraan melalui zakat. Hal ini menegaskan bahwa zakat maupun wakaf, keduanya terus tumbuh menjadi pilar pembangunan Nasional.


Di saat bersamaan, zakat dan wakaf juga secara nyata berperan besar dalam membangun keberagamaan yang moderat, mengentaskan dan menumbuhkan solidaritas sosial. Hal ini tentu menjadi kekuatan yang akan meneguhkan langkah pembangunan Nasional. Berzakat dan berwakaf adalah gerakan yang akan terus menyatukan anak bangsa, mempererat persaudaraan dan memperkuat langkah pembangunan. Lalu, bagaimana langkah Nahdlatul Ulama dalam tata kelola filantropi Islam ini?


Isu pelestarian lingkungan

Sebagai paru-paru dunia, Indonesia juga dihuni oleh mayoritas Muslim. Fakta ini mendorong ide besar menjadikan lingkungan sebagai isu pengembangan filantropi Islam, baik zakat maupun wakaf. Berdasarkan data yang telah dihimpun BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), potensi zakat hingga tahun 2021 sebesar Rp 327,6 Triliun. Sedangkan di bidang wakaf, Indonesia potensi lahan wakaf yang mencapai lebih dari 400 ribu titik. Dengan mengambil 5% dari total tersebut, maka diperoleh data sebanyak 20 ribu tanah wakaf yang potensial dijadikan sebagai pusat agrowisata maupun pelestarian alam.


Gagasan ini sejatinya bukan sesuatu yang utopis. Dari aspek tata kelola, pemanfaatan tanah wakaf untuk agrowisata maupun pelestarian lingkungan didukung kapasitas Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang tersebar di Indonesia yang berjumlah lebih dari 700 kampus. Tata kelola wakaf untuk pelestarian lingkungan hidup dapat dikerjasamakan dengan Perguruan Tinggi yang memiliki kapasitas SDM dan infrastruktur. Peran PT sering berjarak dengan isu wakaf, padahal ada potensi kerja sama yang akan mendorong tumbuh kembangnya pemanfaatan wakaf yang variatif.


Lalu siapa yang akan menjadi wakif? Selain masyarakat umum, terdapat potensi data pernikahan yang sejatinya telah dijadikan dasar bagi wakaf pohon untuk pelestarian lingkungan. Di Kabupaten Kuningan lahir sebuah program yang dinamakan pepeling, kerja sama Pemkab Kuningan dengan Kementerian Agama berupa wakaf pohon dari para pengantin yang menikah di KUA. Setiap pasang yang menikah mewakafkan sepasang pohon untuk ditanam di lokasi yang telah ditentukan.


Berdasarkan data Kementerian Agama, peristiwa nikah di Indonesia rata-rata berkisar 1,7 juta hingga 2 juta pasang setiap tahun. Jika program ini diadopsi secara Nasional saja misalnya, jika setiap tahun ada 1,7 juta hingga 2 juta pasang pengantin, maka dengan 10% saja yang berwakaf, akan diperoleh sebanyak 200 ribu pasang pohon dari 200 ribu pasang pengantin.


Model ini juga dapat disinergikan dengan program wisata. Aset-aset wakaf yang menjadi pelestarian hutan dapat dijadikan obyek wisata yang sangat menarik. Pasangan pengantin dapat mengunjungi hutan wakaf untuk melihat pohon yang mereka wakafkan saat menikah dahulu. Dari segi jenisnya, pohon yang dipilih bisa berupa pohon jati maupun buah-buahan.


Jika isu ini dikembangkan sebagai policy di kawasan Indonesia, maka ini akan memberi dampak besar dalam 10 tahun ke depan, khususnya dalam mengurangi panas bumi dan emisi karbon yang ditimbulkan dari asap kendaraan. Isu lingkungan ini menjadi salah satu ide besar yang segalanya telah kita miliki, hanya pelaksanaannya saja yang harus kita mulai dengan terukur.


Rasanya tidak terlalu susah bagi NU untuk mengelola aset wakaf sebagai pusat pelestarian alam. Dengan kapasitas jaringan dan SDM yang dimiliki, NU dapat memaksimalkan PCNU di tingkat Kabupaten/Kota sebagai basis data untuk program ini. Ada beragam pilihan model pelestarian alam berbasis wakaf, misalnya untuk penanaman pohon jati, agrowisata, obat-obatan dan tumbuhan penahan erosi.


Riset dan kajian keislaman

Isu lain yang potensi untuk dikembangkan adalah pendanaan riset melalui filantropi Islam. Indonesia memiliki kapasitas sebagai pusat kajian keislaman dunia. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, Indonesia ditopang oleh sistem pendidikan pesantren dan madrasah yang telah nyata menjadi pusat transformasi keilmuan Islam, juga PTKI yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Dan salah satu infrastruktur yang dibutuhkan saat ini adalah riset yang kompetitif dan berkas dunia.


Merujuk data Kementerian Keuangan menyebutkan, potensi pertumbuhan keuangan Syariah terlihat dengan meningkatnya jumlah investor sebesar 9,3 persen selama tiga bulan pertama tahun 2021 di pasar modal syariah. Per Juli 2021 sendiri, outstanding sukuk negara Indonesia tercatat sebesar 1.076,01 triliun rupiah, atau tumbuh sebesar 10,75 persen (year-to-date) dan diperkirakan akan terus tumbuh di masa mendatang.


Di pasar internasional, Indonesia berada di antara para kontributor utama penerbitan sukuk global. Sebagai tambahan, sukuk (negara) terbukti sebagai salah satu sumber pembiayaan yang dapat diandalkan di mana dalam periode 2013-2021, terdapat 3.447 proyek yang dibiayai melalui sukuk. Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk mengoptimalkan pasar keuangan syariah dengan mengembangkan lebih banyak varian pembiayaan melalui sukuk atau blended finance, seperti Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) dan Green Sukuk.


Mendorong kerja sama PTKI dengan lembaga Nasional dan Internasional dalam pengembangan riset merupakan keniscayaan. Hal ini sebagaimana telah dipraktekkan kampus-kampus internasional yang telah menjadikan riset sebagai kunci keberhasilan pengembangan universitas. Dalam konteks inilah, PTKI dituntut untuk mengembangkan kerjasama dengan pihak luar dalam pengembangan universitas.


Kembali pada potensi zakat dan wakaf yang begitu besar, maka pengembangan riset pada PTKI maupun lembaga independen lainnya dapat dilakukan melalui pemanfaatan dana filantropi Islam. Zakat dan Wakaf potensial menjadi kekuatan keuangan jika didukung kajian dan riset yang kompetitif. Saat ini kajian-kajian seputar zakat dan wakaf masih bersifat parsial, belum terintegrasikan dalam satu roadmap yang utuh.


Kerja sama antar perguruan tinggi Islam, baik di tingkat Nasional maupun internasional, menjadi niscaya. Isu yang paling irit, atau bahkan sangat asing, didiskusikan dalam ruang akademik perguruan tinggi Islam adalah tentang zakat dan wakaf, atau filantropi Islam secara keseluruhan. Dengan luas aset wakaf yang berkisar ratusan ribu lokasi, tata kelola dan pengembangan zakat-wakaf di Indonesia belum didukung riset yang memadai.


Dalam beberapa tahun ke depan, sudah saatnya bagi Indonesia menjadi eksportir ide, gagasan dan karya-karya penelitian. Ada banyak gagasan dan ide tentang model keberislaman yang bercirikan keindonesiaan untuk dapat dikonsumsi masyarakat dunia. Saya membayangkan jika 20-30 tahun ke depan Indonesia akan menjadi pusat tujuan para mahasiswa untuk belajar Islam.


Moderasi Beragama (MB) tengah digelorakan oleh Indonesia sebagai model keberagamaan yang menginspirasi, toleran dan mendukung kemajuan. MB sejatinya adalah spirit Islam yang mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan, saling menghargai dan mendukung kemajuan. MB mengajak semua orang untuk semakin mengenal dan mencintai Islam sebagai keyakinan dan di saat bersamaan mampu diekstrenalisasikan dalam relasi sosial yang setara dan saling menghormati.


Bagi masyarakat Indonesia, MB sejatinya bukanlah hal baru. Corak keberagamaan masyarakat Indonesia lebih dekat dengan model dialog. Hal ini tak lain ditopang budaya Melayu yang begitu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Kita bukan bangsa yang mudah tersulut perbedaan, namun secara nyata menjadikan perbedaan sebagai inspirasi untuk kebersamaan yang rukun dan damai.


Kita dapat memulai diskursus MB ini dari hal yang paling sederhana, yakni membangun ruang dialog yang variatif. Harus ada ruang yang lebih banyak berdiskusi tentang lingkungan, maupun sosial ekonomi agar keragaman masyarakat tidak hanya terfokus pada perbedaan politik. Masyarakat yang memiliki ruang partisipasi dan dialog yang luas jauh lebih mudah menerima keragaman dengan tetap memegang teguh Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Ruang dialog masyarakat tentu akan membantu menjaga stabilitas politik dan keamanan.


Moderasi Beragama berkaitan erat dengan pembangunan sosial ekonomi. Politik zakat dan wakaf adalah mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi kaum lemah, melindungi hak-hak dasar masyarakat, yang mencakup hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi dan sosial budaya. Dalam konteks ini maka zakat dan wakaf memiliki hubungan yang erat dengan MB. Apa yang dicita-citakan MB juga sejalan dengan visi zakat-wakaf membangun masyarakat.


Selain itu isu pembangunan sosial juga terus dikembangkan. Zakat-wakaf terus didorong lebih aktif mendukung dan melaksanakan pembangunan sosial yang tidak hanya berorientasi pelayanan amal, tetapi secara lebih luas menangani masalah kemiskinan, lingkungan, ketahanan sosial, narkoba, dan HIV/AIDS. Spirit Islam rahmatan lil ’alamin salah satunya menjadikan zakat-wakaf sebagai pilar penting pembangunan yang berkeadilan sosial.


Harapan ini tentu bukan sesuatu yang mengada-ada, atau sebuah mimpi di siang bolong. NU adalah rumah yang telah melahirkan tokoh bangsa, berkontribusi nyata melahirkan generasi terbaik. Bukan mustahil jika masa depan filantropi Islam juga akan menjadi penopang pembangunan Nasional melalui tata kelola yang visioner, transparan dan akuntabel.


Jaja Zarkasyi, penulis buku Magnet Cinta Tanah Haram, bekerja di Kemenag