Opini

Partai dan Kultur Emansipasi

Kam, 24 Maret 2022 | 11:30 WIB

Oleh Adhi Ayoeyanthy, SH.

Definisi 'partai pelopor' berawal sebagai teks pemikiran Sukarno--dalam tulisannya Mencapai Indonesia Merdeka, yang mengulas serta mengedepankan konsep partai terkait perubahan mendasar dalam masyarakat, yakni sebagai usaha mempersatukan seluruh elemen masyarakat agar kokoh dan kuat membentuk suatu negara bangsa atau negara nasional. 

 

Bahkan dalam perspektif 'Trisakti', mengatakan bahwa sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki tiga hal, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan–lihat Asvi Warman Adam dalam buku Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno.

 

Namun, perkembangan praktiknya pemahaman atas konsep tersebut bisa bercabang dan mengalami distorsi, tergantung apa bacaan dan visi tentang kontruksi masyarakat, dengan proses perubahan yang menyertainya. Termasuk pada upaya mencermati faktor 'Subyektif' dan 'Obyektif' sebagai keinginan perubahan yang dikehendaki, juga terkait dengan situasi serta kondisi yang melingkupinya.

 

Seperti diingatkan Sukarno, butuh seperangkat 'epistemologi' modern yang berbasis sejarah kebudayaan bangsa secara utuh untuk melakukan dialektika perubahan sosial 'masyarakat' Indonesia dalam skema New Social Movement.. Bukan lagi sebatas pembicaraan di ruang tertutup mengenai kebijakan sebagai upaya menghindari perdebatan yang mengganggu keseharian penghidupan masyarakat. 

 

Pada sisi lain juga membutuhkan batasan kualifikasi 'kader' yang jelas dan tegas dalam rekontruksi 'ide' dan 'gagasan' terhadap tujuan akhir bernegara yang berkeadilan dan kesetaraan sesuai visi pendiri bangsa.

 

Jika kita hanya bangga secara romantik dan sibuk mengulum prestasi masa lalu, yang obyektivasinya hanya berbasis pada 'altrustik' dan strukturisasi 'masyarakat' lama, bisa saja secara behavior institusi politik hanya membangun keterwakilan politik masyarakat berbalik dalam bentuk 'monoloyalitas' dengan kultur feodalistik dan oligarkis, di sinilah terjadi 'deparpolisasi' sebagai realitas perubahan politik yang bertolak belakang atas hadirnya cita dan tujuan negara dalam upaya penguatan kesadaran politik 'rakyat', sebagai wujud mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Sialnya—mungkin, Indonesia punya 'kutukan' sejarah, yakni didirikan oleh para pendiri bangsa dengan semangat 'emansipasi' tertinggi di zamannya yang mendukung hadirnya negara baru berbentuk Republik, yang membuka ruang 'tanpa' ketakutan untuk mengkonstruksi kepedulian pada 'Negara' Republik Indonesia--tanpa kecuali, bukan hanya sebatas pada manusia Indonesia dengan privilege 'Trah' atau 'Wangsa'. Yaitu, sebagai 'Relasi' sosial politik yang mengedepankan paradigma 'pewarisan' kuasa atas nama keturunan pemegang kekuasaan. 

 

Indonesia sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik–yang diproklamirkan berdasar Pancasila dan UUD 1945, dalam arti batas rentang kehadirannya tidak memiliki sejarah kerajaan. Sehingga pengalaman kesuksesan mengelola ruang publik hanya berdasarkan 'dinasti' menjadi bisa diabaikan.  


Terlebih jika gotong royong diakui sebagai kesuksesan tradisi Indonesia yang harus diwariskan, ukurannya bukan pada kekuatan geneologi politik tetapi pada kemampuan 'Pemimpin' untuk mendengarkan dan peduli terhadap kepentingan bersama. Yaitu bergerak untuk meninggikan kepentingan lndonesia Raya, bukan kepentingan trah yang justru bisa berdampak benturan dan konflik antar pelapisan sosial yang tersebar. 

 

Manusia Indonesia terikat pada konstitusi republik yang menegaskan persamaan kedudukan setiap warga negara. Di samping hak kodrati yang melekat pada setiap warganegara, tetapi juga menjadi kewajiban untuk mengkonstruksi 'kultur' sekaligus 'tradisi' republik yang emansipatif sesuai dengan warisan 'gotong royong' sebagai nilai yang melekat di 'diri' manusia Indonesia.

 

Dalam konsepsi filosofis 'partai pelopor' bisa saja menjadi otoritas substansi tunggal, yang dalam bahasanya Leibniz sebagai monad. Namun, dalam sosial politik ada relasi antara idealisme dan realitas, bahkan pragmatisme yang terkondisikan pada zamannya–bila tabu mengatakan sebagai Histomat. Di sinilah sebuah gagasan partai pelopor  tidak berhenti menjadi dogmatisme, diperlukan seperangkat metodelogi rasional untuk merealisasikannya, terlebih sebagai pembuktian bahwa gagasan tersebut bukan utopia maupun representasi 'klangenan romantic' versi masyarakat feodal.

 

Kepedulian terhadap bangsa bisa hadir adalah berkat doa dan perilaku positif dari pendahulu–the Fouding Fathers, sebagai fakta 'imperisme'. Jika hanya memperjuangkan 'Institusi' politik sekedar cerminan 'eksistensi' pribadi dan melupakan keadilan dan kesetaraan, artinya tindakan yang dipilih bergerak ke arah peluruhan jejak dan fondasi dari nilai yang ditinggalkan para pendiri Republik Indonesia di atas.

 

Indonesia akan jadi raya ketika kita secara rasional mampu menemukan tesa dan antitesa baru dalam pengelolaan ruang publik. Mengingat laboratorium sosial kultur partai pelopor ada pada dialektika di masyarakat bukan semata di ruang pikir dan ambisi para aktornya, sebatas simbolik legitimasi. 

 

Sehingga 'Institusi' Politik tidak menjadi lalai atas basis massa sebagai 'Obyek' sekaligus 'Subyek' dari  perubahan yg sadar diinginkan bersama. Semoga!

 

Penulis adalah Sekretaris Jenderal Pergerakan Sarinah.