Opini HARI SANTRI 2020

Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut: Terapkan Kurikulum Bertani dan Berkebun

Ahad, 18 Oktober 2020 | 14:30 WIB

Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut: Terapkan Kurikulum Bertani dan Berkebun

Sejumlah santri Pesantren Ath-Thaariq Garut terlihat sedang bertani dan berkebun. (Foto: dok. istimewa)

Di Desa Sukagalih, Kecamatan Targorong, Kabupaten Garut, Jawa Barat berdiri sebuah lembaga pendidikan Islam yang bergerak pada pembelajaran pengolahan pertanian dan perkebunan. Hal ini ditujukan agar mampu mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan.


Lembaga pendidikan itu adalah Pesantren Ekologi Ath-Thaariq asuhan KH Ibang Lukman Nurdin dan Ny Nissa Wargadipura. Di sana, para santri diajarkan untuk berkomitmen melayani diri sendiri sekaligus menjaga kelestarian alam. Keduanya adalah bagian yang tak bisa terpisahkan. 


Soal pertanian dan perkebunan, masuk ke dalam kurikulum belajar pesantren. Pengolahan pertanian dan perkebunan di sana menggunakan open pollinated organic seed (benih organik yang diserbuki secara terbuka). 


Kepada NU Online, Ny Nissa Wargadipura menuturkan bahwa Pesantren Ath-Thaariq didirikan dengan konsep ekologi. Jadi selain belajar mengaji dan memperdalam ilmu agama, sebagaimana pesantren pada umumnya, para santri di Ath-Thaariq juga diajarkan untuk bertani.

 

Teh Herbal Nusantara produk santri Pesantren Ath-Thaariq Garut. (Foto: dok. istimewa)

 

Pertanian yang diajarkan di sana dilakukan dengan model pertanian ekologi yakni memelihara berbagai habitat di dalamnya untuk menjaga ekosistem. Pesantren yang didirikan pada akhir 2009 ini mampu menjaga ekosistem ekologi dengan kajian ilmu agama sebagai pijakan.


Di samping itu, metode bertani yang dikembangkan di Ath-Thaariq menggunakan cara kuno dan tradisional. Cara ini diyakini sebagai model pertanian alternatif yang mampu menjaga lingkungan, ekologi, dan hubungan manusia dengan alam.


“Kami bertani menggunakan cara yang kuno dan tradisional tetapi kami yakini bahwa model pertanian itu adalah model pertanian yang alternatif, model yang menjaga soal lingkungan, soal ekologi, soal hubungan manusia dengan alam,” ungkap Teh Nissa, demikian ia akrab disapa, pada Jumat (16/10).


Setiap Ahad, santri diajak untuk bertani dengan berbagai jenis pangan untuk kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga pesantren. Lahan seluas 8500 meter persegi itu dimanfaatkan menjadi beberapa zona. Area persawahan, kebun tanaman pangan, peternakan, dan pembenihan. 


“Keluarga pesantren mengonsumsi tanaman pangan sesuai dengan hasil panen yang tersedia. Para santri di sini terbiasa mengonsumsi umbi-umbian, pisang, dan pangan selain nasi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat,” tambahnya.

 

Santri Pesantren Ath-Thaariq Garut sedang membuat kompos cacing. (Foto: dok. istimewa)

 

Selain itu, mereka juga dapat mengonsumsi sayur-sayuran yang ditanam di kebun sendiri. Seluruh hasil pertanian di lahan Pesantren Ath-Thaariq dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga pesantren.


Jika hasil panen berlimpah maka akan dijual untuk menumbuhkan kehidupan perekonomian pesantren. Menurut Nissa, pertanian mengutamakan kebutuhan pangan sendiri terlebih dulu sebelum berpikir untuk menjual hasil pertanian.


“Pesantren ini akan memenuhi dulu kebutuhan keluarga akan nutrisi, vitaminnya, karbohidratnya, dan sayurannya. Diamankan dulu, kalau berlebih baru dikeluarkan (dijual),” pungkasnya.   


Pesantren yang berbasis pada pendidikan Agro Ekologi ini selalu berupaya untuk mengenalkan kepada lingkungan sekitar, betapa pentingnya menanam tanpa merusak ekosistem. Selain itu, para santri juga diajarkan soal bagaimana merawat dan memanen hasil perkebunan.


“Kemudian kami pun memasarkan (hasil panen) dengan harga yang adil. Bahkan kami juga melakukan penelitian dan menjadi inventor sehingga santri akan tumbuh menjadi pribadi yang berpandangan pada penyelamatan dan kepedulian terhadap keberlangsungan hidup manusia, bumi, dan masa depan,” jelas Nissa.

 

Berbagai macam benih Open Pollinated Organik Seed. (Foto: dok. istimewa)

 

Saat ini Pesantren Ath-Thaariq bersama para santri, tengah mengembangkan produk olahan dari hasil panen yang berlebih cabai dan tomat. Pengembangan produk ini sebagai unit bisnis pesantren yang dikelola secara terbuka bersama para santri.


“Kami juga juga menjual berbagai tanaman obat yang dikeringkan dan berbagai jenis benih tanaman lokal. Selain itu, Pesantren juga membuat perpustakaan benih untuk kebutuhan ilmu pengetahuan,” kata Nissa.


Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa tujuan mendirikan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq ini sebagai pusat tersebarnya sistem pengetahuan pertanian yang berorientasi pada penyelamatan dan kepedulian terhadap ekosistem alam. 


Kemudian diharapkan pesantren ini dapat menjadi contoh yang mampu mengeluarkan berbagai produksi hasil pertanian tanpa merusak ekosistem yang ada, menjaga habitat, merawat keanekaragaman hayati, memanen, dan memasarkan dengan harga yang adil.


“Jadi pesantren ini sebagai bagian dari gerakan sosial, gerakan ekonomi, dan gerakan ekologi yang berkeadilan,” tutur Nissa.


Selain pengembangan pertanian Agro-Ekologi, program kegiatan lain yang saat ini sedang berjalan adalah menguatkan rumah herbal yang memproduksi 15 jenis Teh Nusantara, menyebarkan gagasan penggunaan benih lokal, dan merintis perpustakaan benih.


Pesantren Ath-Thaariq juga membuat perpustakaan pembaruan desa dan agraria. Di sana, saat ini, telah menjadi pusat pendidikan membangun sistem pertanian pekarangan sebagai tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin, dan melindungi keberlangsungan alam untuk komunitas keluarga tani.


“Kami juga menjalankan madrasah diniyah berbasis alam, pendidikan anak usia dini (PAUD) berbasis alam, dan pesantren salafiyah juga berbasis alam,” tambah Nissa.


Senada dengan itu, KH Ibang Lukman Nurdin menuturkan bahwa uang hasil penjualan produk pertanian pesantren digunakan untuk kebutuhan sarana-prasarana pesantren. Kemudian juga untuk memenuhi kebutuhan para santri dalam menimba ilmu.


Saat ini, kata Kiai Ibang, memang tidak banyak santri yang mondok di sana karena keterbatasan lahan. Namun, tegasnya, seluruh santri di Pesantren Ekologi Ath-Thaariq mendapat pendidikan secara gratis.


Terkadang pula, pihak pesantren pun memberikan bekal kepada santri yang hendak pulang ke kampung halaman, baik untuk orang tua atau juga untuk melanjutkan pendidikannya. Hal ini membuat pesantren bukan saja menjadi lembaga pendidikan tetapi juga sebagai lembaga sosial.


“Tetapi tidak bisa menunggu bantuan dari siapapun sehingga harus mandiri dan membangun kedaulatan. Cara kita berdaulat adalah dengan menggunakan aktivitas dalam proses pembangunan ekonomi berbasis ekologi,” jelas Kiai Ibang.

 

Santri Pesantren Ath-Thaariq Garut sedang memanen serai. (Foto: dok. istimewa)

 

Namun demikian, meskipun menggunakan aktivitas pertanian untuk membangun dan mengembangkan perekonomian tetapi tidak menjadikan pesantren sebagai lembaga yang hanya berbasis atau berorientasi pada keuntungan semata. Lebih lanjut, aktivitas pertanian yang dilakukan Pesantren Ath-Thaariq juga berbasis pada keberkahan.


Hal tersebut diwujudkan dalam proses pengolahan pertanian yang menggunakan benih dan pupuk organik, sehingga menjadi sangat bermanfaat bagi santri dan lingkungan sekitar. Inilah yang disebutnya dapat menghadirkan keberkahan karena lebih sehat.


Dikatakan Kiai Ibang, hasil pertanian dari olahan yang dilakukan para santri di sana pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab ratusan produk makanan dan minuman herbal organik berhasil menembus pasar nasional, bahkan internasional dengan sejumlah penghargaan yang diraih dari segi kualitas produknya.


Saban pekan, Pesantren Ekologi Ath-Thaariq tidak pernah sepi dari pengunjung. Baik dari lingkungan pesantren sendiri, warga kampung sekitar, dan bahkan para peneliti. Beberapa peneliti itu berdatangan dari mancanegara seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Jepang, Korea, dan Prancis.


“Mereka (peneliti mancanegara) datang ke sini untuk melihat konsep yang diterapkan di Pesantren Ekologi Ath-Thaariq,” katanya.


Ia bersama sang istri, Ny Nissa Wargadipura berharap, sistem di Pesantren Ekologi Ath-Thaariq dapat dicontoh dan diimplementasikan oleh pesantren lain di Indonesia. Bahkan, dapat dilakukan juga oleh negara-negara lain dalam melakukan pengolahan pertanian tanpa merusak ekosistem dan habitat yang sudah ada. Hal tersebut sebagai upaya dalam mewujudkan pesantren yang berdaulat, mandiri dan berkah.


Sejarah berdirinya Pesantren Ekologi Ath-Thaariq


Berdirinya Pesantren Ekologi Ath-Thaariq, tak bisa dilepaskan dari perjalanan hidup yang dilakukan oleh pendirinya, Nissa Wargadipura dan Ibang Lukman Nurdin. Pada 1991, Nissa mulai aktif berorganisasi di Forum Pelajar dan Mahasiswa Garut.


Di organisasi itu, Nissa bersama teman-teman dan juga Ibang (yang kemudian menjadi suaminya), kerap melakukan advokasi terhadap beragam kasus agraria. Mereka mendampingi para petani yang memiliki tanah tetapi sangat jauh dari kehidupan yang sejahtera. 


Dari banyak kasus agraria yang ditemui itu, Nissa tak bisa berbuat banyak. Akhirnya, ia memutuskan untuk menggagas pembentukan sebuah organisasi yang benar-benar fokus pada pendampingan kaum tani. Dibentuklah Serikat Petani Pasundan (SPP) pada 1999.


Setelah melakukan berbagai pendampingan di SPP, niat Nissa untuk mewujudkan kesejahteraan petani sulit diwujudkan. Petani tetap saja tidak sejahtera. Sementara kasus agraria juga tak kunjung tuntas. Ia gelisah tak karuan.

 

Proses pengeringan benih sorgum yang dihasilkan Pesantren Ath-Thaariq dengan metode tanpa mencangkul. (Foto: dok. istimewa)

 

Kegelisahan Nissa berlanjut dan semakin menjadi-jadi kala ia menikah dengan kawan satu pergerakannya, Ibang Lukman Nurdin yang memiliki latar belakang pesantren (putra kiai di Garut). Berbagai keluh-kesah itu, ia utarakan kepada sang suami. Dengan tegas ia katakan, “Kita harus hijrah.”


Hijrah yang dimaksud Nissa itu adalah mendirikan sebuah pesantren. Hal tersebut diamini Ibang yang memang berasal dari pesantren. Namun, Nissa mengungkapkan kepada sang suami agar pesantren yang kelak didirikan bukanlah sebagaimana pesantren pada umumnya.


Ia menginginkan agar pesantrennya nanti memberi pelajaran dan pengajaran tentang ekologi. Hal itu langsung disetujui suaminya. Walhasil pada 2008, berdirilah pesantren yang diberi nama Pesantren Ekologi Ath-Thaariq.


Pesantren Nissa dan Ibang itu sangat berbeda dengan kebanyakan pesantren. Di sana, selain menanamkan ilmu agama kepada santri, mereka juga memberikan pemahaman tentang sebuah kesadaran mengenai ekologis. Santrinya tak banyak. Hanya berkisar 30 santri saja. 


Pesantren tersebut akhirnya mengajarkan soal bagaimana menghormati lingkungan, mulai dari cara bertani hingga beternak, memanen dan merawat ekosistem. Lantaran berbeda dengan konsep pesantren pada umumnya, ia kerap didatangi oleh ustadz-ustadz lokal di Garut.


Sebab konsep agroekologi yang ditawarkan Nissa dan Ibang, sangat menarik perhatian sejumlah orang. Bahkan tak hanya dari kalangan, tetapi juga nonmuslim yang kerap berkunjung ke sana untuk mempelajari ilmu tentang cara bertani dan beternak tanpa merusak ekosistem yang ada.


Alasan Nissa memilih mendirikan pesantren ekologi


“Saya ini lahir sebagai orang gerakan. Saya dan suami sama-sama aktivis zaman orde baru. Kami banyak melakukan advokasi kasus-kasus agraria dan pendampingan kaum tani terutama di Jawa Barat,” kata Nissa.


“Pada 1999-2000 akhirnya kami mendirikan Serikat Petani Pasundan. Saya sebagai organizer dan ada lima kabupaten waktu itu yang kami organisir,” tambahnya.


Diakuinya, saat menjalani kehidupan sebagai aktivis yang mendampingi petani, Nissa tahu bagaimana kesulitan yang dihadapi petani karena banyak tinggal bersama buruh tani. Banyak petani yang punya tanah tapi kesejahteraannya sangat rendah. 


“Semakin tahu kehidupan petani seperti itu, saya semakin gelisah. Karena sepertinya penguasaan lahan saja tidak cukup. Mungkin mereka terjebak oleh revolusi hijau. Tanaman yang mereka tanam jadi monokultur,” tuturnya.

 

Usai mengaji, para santri belajar berkebun oleh Nyai Nissa Wargadipura. (Foto: dok. istimewa)

 

Ia sempat memeriksa satu per satu anggota petani lokal. Para petani itu menanam tanaman tidak lebih dari 15 tanaman. Padahal, kata Nissa, para petani yang didampingi itu hidup di wilayah holtikultura.


Sayangnya, para petani itu hanya memiliki dua tanaman saja. Kalau di daerah palawija, mereka hanya menanam palawija. Kalau di daerah padi, maka mereka harus menanam padi. Hal ini merupakan kondisi yang sangat parah sehingga tidak bisa menyejahterakan kehidupan kaum tani.


“Kalau di daerah pegunungan paling banter dua tanaman. Kalau tidak kentang ya cabai merah. Kemudian saya menghitung berapa pengeluaran mereka. Jadi mereka ini rupanya berutang untuk menanam itu. Ketika panen, 1/2 dari hasil panen mereka itu mengutang. Mereka banyak yang collabs,” tutur Nissa, melalui sambungan telepon.


Karena banyak petani yang memiliki utang, dampaknya adalah sebagian besar dari mereka banyak yang mengonsumsi makanan tidak sehat. Ketika itu, petani tidak berdaulat pangan. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan dapur mereka harus berutang.


Di Papandayan, misalnya, setengah utang mereka untuk membeli kangkong dan bawang merah untuk kehidupan sehari-hari. Hal itu semakin meyakinkan Nissa, kala itu, bahwa tidak ada sama sekali kedaulatan pangan di masing-masing rumah tangga kaum tani. 


Dampak ketika petani tidak berdaulat


“Karena tidak berdaulat pangan, mereka akhirnya mengonsumsi makanan yang murah-murah, yang instan. Dari kesalahan bertani itu konsumsi itu jadi acak-acakan, porak poranda,” jelas Nissa dengan suara yang menggebu-gebu.


“Daya imajinasi mereka terhadap pangan itu benar-benar rusak karena cara bertani mereka yang salah karena harus bertani dengan metode monokultur. Kalau sudah cengkeh ya cengkeh saja. Padahal di bawah cengkeh bisa ditanami kunyit misalnya,” tambahnya.


Ia mengaku telah banyak melakukan penelitian terhadap petani yang akhirnya harus mengonsumsi makanan instan. Misalnya kasus Yuyun di Lampung yang diperkosa oleh 12 anak-anak kecil. 


“Kok bisa-bisanya anak-anak kecil itu punya kekuatan untuk menjadi jahat. Menculik, memperkosa bergiliran kemudian membuang korbannya ke jurang. Ini kan karena daya pikir mereka lemah. Kenapa lemah? Karena pola konsumsi pangan mereka yang porak poranda,” katanya.


Selanjutnya, Nissa menuturkan hasil penelitian yang ia lakukan bahwa hampir 80 persen bayi-bayi setelah dilahirkan kemudian harus dilarikan kembali ke rumah sakit karena mengalami sakit kuning atau gagal ginjal. Hal itu, katanya, akibat dari pola konsumsi yang tidak jelas.

 

Nyai Nissa Wargadipura, pendiri Pesantren Ath-Thaariq Garut. (Foto: dok. istimewa)

 

Kemudian setelah melahirkan, banyak istri petani yang tidak bisa menyusui karena ASI-nya tidak lancar. Hal ini lantaran konsumsi mereka adalah mie instan. Bahkan, ia menuturkan, makanan instan itu menjadi salah satu penyebab anak menjadi autis. 


“Banyak sekali down syndrome. Ternyata penyebabnya karena sperma laki-lakinya tidak berkualitas. Ini bukan hanya di kota, di desa juga banyak,” katanya.


Penelitian yang lain, ia lakukan di Kepulauan Meranti, Riau. Di sana, sebanyak 90 persen anak-anak yang masuk ke Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah anak-anak autis atau down syndrome. Padahal, di sana adalah daerah pesisir yang banyak ikannya. 


Namun, yang dikonsumsi oleh mereka di sana adalah makanan instan. Sementara sayuran dan ikan, jarang sekali menjadi konsumsi prioritas. Katanya, imajinasi anak-anak itu kan tergantung makanan apa yang diserap oleh tubuh mereka.


“Melihat seperti itu, saya kemudian membalikkan keadaan. Kami ingin punya tempat yang mengajarkan keanekaragaman pangan. Kami ingin petani berdaulat, anak-anak punya daya imajinasi tentang pangan yang beragam,” katanya.

 

Kayu Seccang diperbanyak benihnya untuk perbaikan ekologi di pesantren. Tersedia serutan Secang. (Foto: dok. istimewa)

 

Melihat kondisi yang seperti itu, di Serikat Petani Pasundan, Nissa mengajukan ide agar serikat tidak hanya berperan dalam berhadapan dengan perkebunan. Namun sebenarnya banyak yang menolak karena dianggap tidak terlalu penting.


Lantaran Nissa selalu gelisah terhadap pergerakannya yang tak kunjung tuntas, ia memilih untuk mengalah. Bersama sang suami, ia akhirnya berhijrah. Sebab kalau tidak hijrah, ia mengaku akan merasa sangat berdosa.


“Kalau tidak hijrah itu dosa besar yang tak bisa diampuni,” katanya, tertawa. Dari situlah kemudian berdiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut.


Prinsip rahmatan lil 'alamin


Pada awal-awal berdiri, banyak kalangan yang menganggap pesantren ini adalah pesantren kafir. Dianggap nyeleneh karena ada banyak pemuka agama lain yang juga belajar di sana. Bahkan ada juga penganut Sunda Wiwitan yang mempelajari konsep pertanian berbasis agroekologi.


“Ekologi ini adalah sebuah prinsip rahmatan lil 'alamin. Ekologi kalau dalam bahasa agama berarti rahmatan lil 'alamin. Jangan manusia, ular, burung, dan bahkan hantu saja kita beri rumah. Agroekologi ini konsep pertanian masa depan,” katanya.


Pada 2019, Nissa pernah mengadakan kegiatan bertajuk ‘Jambore Kebangsaan Ekologi untuk Indonesia’ yang merupakan program pesantren. Acara ini mempertemukan banyak lembaga dari lintas agama. Beberapa di antaranya adalah Katolik, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan Konghucu.


“Dengan jambore itu kami ingin menggaungkan tentang pemulihan ekologi. Karena basis kita ini pesantren ekologi. Rahmatan lil 'alamin ini yang diangkat ya harus toleransi,” tutupnya.

 


Aru Lego Triono, Reporter NU Online, tinggal di Bekasi, Jawa Barat