Risalah Redaksi HARI SANTRI 2020

Pesantren, Hulu Moderasi Berislam di Indonesia

Ahad, 18 Oktober 2020 | 12:00 WIB

Pesantren, Hulu Moderasi Berislam di Indonesia

Pesantren perlu mendapat dukungan banyak pihak untuk menguatkan eksistensinya sebagai hulu moderasi berislam di Indonesia. (Foto: NU Online/Dok. PP Sirojuth Tholibin Brabo)

Situasi dan kondisi umat Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh perkembangan yang ada di pesantren, mengingat lembaga ini yang mendidik dan mengajarkan materi-materi keislaman di Indonesia. Apakah Islam di Indonesia akan menjadi moderat atau konservatif, tergantung pada sejauh mana peran yang dijalankan oleh lulusan pesantren dalam mewarnai Islam di Indonesia.


Lulusan pesantren menjadi dai, ustadz, pengelola masjid dan mushala, guru atau dosen keislaman, pengurus ormas Islam atau bidang lain yang terkait dengan keagamaan. Mereka berkiprah mendakwahkan Islam dari tingkat akar rumput sampai tingkat nasional. Dengan otoritas pengetahuan dalam bidang agama, apa yang mereka sampaikan kepada masyarakat didengar dan dipatuhi. Islam moderat yang selama ini mewarnai Indonesia adalah berkah dari para lulusan pesantren.


Belakangan, banyak pihak menyampaikan berbagai kekhawatirannya terkait dengan perkembangan Islam Indonesia yang menjadi semakin konservatif. Sayangnya mereka tidak memberikan dukungan dan perhatian kepada pesantren yang selama ini telah mendidik calon-calon ulama yang mengajarkan Islam wasathiyah. Apa yang terjadi di pesantren seolah-olah bukan urusannya. Bahkan mungkin saja ada yang tidak memahami peran penting yang dijalankan pesantren dalam menjaga moderasi Islam di Indonesia selama ini.


Masyarakat kebanyakan hanya melihat fenomena di hilir, dan mencoba menyelesaikan persoalan di hilir itu. Sementara di hulu, kemurnian aliran air yang ada tidak dijaga prosesnya sampai di hilir. Seiring dengan berkembangnya era kebebasan, berbagai aliran Islam pun tumbuh, bahkan termasuk yang mencoba mengubah dasar negara Pancasila dengan ideologi yang mereka perjuangkan. Kelompok Islam transnasional mencoba menyebarkan ideologinya di Indonesia. Kemudahan komunikasi dan transportasi antarnegara akhirnya juga menghasilkan berbagai ragam aliran Islam yang tak selalu mendukung konsep kebangsaan. 


Para pengusung Islam yang ingin mengubah konsep kebangsaan ini umumnya terlatar belakang pendidikan umum, yang mengenal Islam dalam pergerakan mahasiswa. Mereka tidak belajar Islam sebagai kajian utamanya. Ketika berkarier di lembaga pemerintahan, BUMN, atau perusahaan swasta, mereka mencoba merebut ruang-ruang keagamaan di masjid atau mushala institusi-institusi tersebut sesuai dengan nilai yang mereka pegang. Penceramah atau khatib yang diundang dalam shalat Jumat pun adalah mereka yang sesuai dengan aliran mereka. Dengan berjalannya waktu, maka ada sebagian pandangan jamaah yang ikut berubah. 


Memperjuangkan Islam wasathiyah di Indonesia bukan hanya urusan pesantren, melainkan tanggung jawab semua pihak. Di hulu, pesantren menyiapkan para calon ulama yang memiliki wawasan keagamaan dan kebangsaan. Di hilir, masyarakat mesti mengawal bahwa ruang-ruang publik keagamaan diisi oleh ulama atau dai mampu menyelaraskan pandangan keislaman dan kebangsaan. Ada rantai pasok dari hulu sampai ke hilir yang harus dijaga agar ajaran Islam moderat tetap menjadi arus utama Islam di Indonesia. 


Publik perlu memberi dukungan penuh agar proses mendidik para calon ulama di pesantren mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Untuk itu, pesantren perlu memiliki sarana dan prasarana yang memadai, para ustadz yang mengajar di pesantren perlu mendapatkan penghasilan yang mencukupi serta terus mampu mengembangkan pengetahuannya. Kitab-kitab rujukan karya ulama klasik atau kontemporer perlu disediakan di perpustakaan, jejaring dengan pesantren lain atau lembaga pendidikan Islam di tingkat internasional perlu dirajut, dan banyak hal lainnya. 


Hal tersebut di atas memerlukan biaya yang tidak sedikit. Situasi sosial dan ekonomi telah jauh berbeda antara sekarang dengan zaman dahulu ketika para kiai mengelola pesantren secara mandiri. Terdapat banyak hal yang dahulunya dikerjakan secara bersama-sama atau menggunakan pendekatan kerelawanan, kini mesti menggunakan pendekatan profesional. Tanpa dukungan pihak lain, kapasitas pesantren terbatas.


Undang-Undang Pesantren telah disahkan oleh pemerintah, hal ini telah memberikan kesetaraan status antara lembaga pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan lainnya. Lulusan pesantren memiliki peluang untuk bersaing dalam ruang-ruang publik sebagaimana sekolah umum, madrasah, atau universitas. Undang-undang ini juga memberi peluang kepada pesantren untuk mendapatkan dukungan dana dari pemerintah. Sekalipun sudah disahkan lebih dari satu tahun, namun hingga kini aturan turunan perupa peraturan pemerintah (PP) belum disahkan. Hal ini untuk memastikan agar UU tersebut dapat segera dioperasionalisasikan. 


Pada sisi hilir, pemerintah dan masyarakat pendukung Islam wasathiyah harus memastikan bahwa ruang-ruang keagamaan yang ada di lembaga pemerintahan atau di ruang publik diisi oleh ulama atau dai yang memiliki pandangan Islam wasathiyah. Ada banyak sekali pandangan keagamaan yang masing-masing saling bersaing menemukan tempat di ruang publik. Masing-masing tidak bebas nilai karena ada muatan ideologi tertentu yang diperjuangkan. Jangan sampai ruang keagamaan digunakan untuk menggerogoti eksistensi kebangsaan Indonesia.


Momen Hari Santri pada 22 Oktober penting untuk meneguhkan kembali peran yang telah dilakukan oleh komunitas pesantren dalam menghasilkan Islam wasathiyah di Indonesia. Selama ini, peran-peran tersebut dilakukan secara mandiri. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan semakin besarnya tantangan, serta mimpi agar Indonesia menjadi model keislaman dunia, maka semua pihak perlu memberikan dukungan kepada sistem pendidikan pesantren supaya terus berkembang menyesuaikan diri dengan zaman. (Achmad Mukafi Niam)