Opini

Poligami, Antara Islam, Cinta dan Realitas

Sen, 28 Desember 2015 | 04:00 WIB

Oleh Rif'atuz Zuhro*
Hukum di Indonesia masih mengandung dualisme produk hukum:  selain terdapat pengadilan negeri juga terdapat pengadilan agama untuk menangani kasus atau sengketa di masyarakat. Soal dengan hukum berpoligami, menurut Kompilasi Hukum Islam  yang diperjelas dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, <>seorang suami ketika ingin melakukan praktik poligami harus mendapatkan izin istri, dan harus mendapatkan izin dari pengadilan agama, dengan catatan pertama istri tidak dapat memberikan keturunan, kedua istri tidak bisa menjalankan kewajiban dan ketiga mempunyai penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

Sekilas Pandangan Islam

Praktik poligami sebenarnya sudah banyak dilakukan kaum-kaum sebelum Islam datang (pra-Islam), perbedaannya adalah dahulu tidak ada aturan yang mengikat  tentang berapa banyak perempuan yang  boleh dinikahi. Agama Islam datang juga tidak melarang praktik poligami tersebut, tetapi membolehkan dengan dengan beberapa aturan dan konskwensi. Kebolehan hukum tersebut juga diperjelas dengan dalil Q.S An-Nisa’ : 3 yang artinya,

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berperilaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja. Atau hamba sahaya yang kamu miliki yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.

Berdasarkan dalil tersebut, menurut hemat penulis ada beberapa hal yang menjadi poin penting,

Pertama, sejatinya praktik poligami bukan murni dari Islam, tetapi sebuah kenyataan peradaban yang sudah turun-temurun dan sering dilakoni oleh orang-orang sebelum Islam datang, dan bisa jadi kebiasaan itu sukses dilestarikan hingga saat ini.

Kedua, Tuhan sejak awal sudah memberikan peringatan bahwa mayoritas laki-laki tidak dapat berlaku adil, sebab adil itu konsekuensi mutlak untuk laki-laki yang melakoni tindak poligami. Ketika laki-laki itu tidak bisa adil maka sudah berlaku zalim, minimal terhadap dirinya sendiri.

Ketiga, persoalan banyaknya perempuan yang boleh dinikahi, entah itu yang berpendapat dua atau tiga atau empat ataupun yang berpendapat dua tambah tiga tambah empat bahkan yang dua kali tiga kali empat, yang jelas pendapat tersebut sudah ditafsirkan menurut kebutuhan dari mufassir-mufassir sekalipun berdasarkan dengan dalil syara’ yang dianggap benar.

Keempat, status poligami di akhir ayat tersebut diperuntukkan untuk orang-orang yang dinilai akan berbuat zalim, dan manusia masih mempunyai potensi untuk monogami saja.

Ketika Cinta yang Berbicara

Ini hanya subyektif penulis bahwa mungkin benar kodratnya laki-laki mampu mencintai lebih dari satu orang, tetapi apakah pemuasan laki-laki terhadap kebutuhan cintanya harus dengan cara menyakiti hati orang yang ia cintai, yang mendampinginya selama bertahun-tahun? Apakah itu cinta? Bukankah cinta juga berarti kerelaan untuk berkorban? Atau itu hanya nafsu yang berkedok cinta dan kebolehan hukum syara’ agama.

Beberapa waktu lalu, heboh vidoe curhat poligami di social media. Seorang perempuan bercadar menumpahkan perasaanya melalui video tersebut yang berisi pesan untuk para suami agar berpikir ulang sebelum memutuskan untuk memadu istri mereka. Poligami memang menarik, menarik untuk dilakoni ataupun untuk disoroti. Kembali pada tujuan pernikahan bahwa pernikahan itu penyatuan lahir dan batin bukan sekadar lahir saja, sebab siapapun tidak akan diam ketika di dalam sebuah perkawinan, dan mungkin perkawinan poligami yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kezaliman, kekerasan. Ketidak-adilan, pelecehan, pemaksaan, dan penindasan terhadap perempuan, baik itu perasaannya maupun fisiknya.

Realitas Poligami dari Perspektif Gender

Praktik poligami akan menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan gender. Ketidakadilan biasanya berupa pembunuhan psikologi. pemiskinan perempuan dan marginalisasi perempuan.

Pertama, timbul perasaan inferior, yaitu istri menyalahkan diri sendiri, karena istri merasa suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya melayani dan memenuhi kebutuhan biologis suaminya.

Kedua, ketergantungan secara ekonomi. Maksudnya ketika istri dalam rumah tangga tidak mempunyai penghasilan maka seluruh interaksi ekonomi atas dasar pemberian suami. ketika kesenjangan antara suami-isteri terjadi maka salah satu pihak yang merasa superior akan berlaku sesuai dengan apa yang diinginkan, apalagi ketika posisi perempuan itu sebagai isteri yang dimadu, atau isteri yang kedua, ketiga dst, maka ketidaksamaan derajat inilah yang akan muncul sebagai awal dari tindak kekerasan dalam rumah tangga. Maka sangat perlu sekali laki-laki dan perempuan mempunya pemahaman dan visi misi yang sama dalam menjalankan roda pernikahan mereka.

Ketiga, mubahnya hukum poligami, dalam masyarakat sering disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, dan jelas mayoritas korbannya adalah perempuan. Misalkan laki-laki yang ingin melakukan poligami tidak mendapatkan izin resmi dari pengadilan agama maka bias jadi ia melakukan nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.

Keempat, poligami dijadikan sebagai tameng kebolehan hukum agama untuk orang-orang yang tidak bertanggung jawab, misalkan nikah siri, nikah mut’ah (kawin kontrak), bahkan human trafficking (perdagangan manusia) yang hanya ingin mengambil keuntungan dari perempuan dengan segala resiko yang dibebankan oleh perempuan itu sendiri.

Kelima, seringnya bergonta-ganti pasangan, semakin besar risiko terkena penyakit-penyakit kelamin. Termasuk HIV/AIDS, dan dampaknya yang akan terus berkelanjutan. Tentunya kemungkinan terbesar menjadi korban adalah perempuan, sebab rasionya yang lebih banyak dibandingkan laki-laki dalam praktik poligami.

Oleh karena itu, mubahnya hukum poligami seharusnya tidak dimanfaatkan untuk menindas perempuan, bersikap tidak adil terhadap perempuan; dan ketika ketdakadilan itu sudah jelas terindikasi, seharusnya kebijakan-kebijakan tentang hukum perkawinan lebih diperjelas dan dipersempit untuk mengakibatkan perempuan menjadi korban dalam sebuah hubungan sakral yang disebut “pernikahan”. Sebab keadilan bisa didapat dengan kesadaran dan kerja sama seluruh pihak.


*Penulis adalah Ketua Pengurus Komisariat PMII Ya'qub Husein STIT al-Urwatul Wutsqo Jombang masa khidmat 2014-2015; mahasiswa semester 7 STIT al-Urwatul Wutsqo Jombang