Opini

R20 dan Isu Sensitif Agama-Agama

Sab, 12 November 2022 | 06:00 WIB

R20 dan Isu Sensitif Agama-Agama

Religious leaders from various countries pose on the R20 stage during the opening session in Bali, November 2nd, 2022. (Photo: NU Online/Suwitno)

Forum R20 (Religion of Twenty) sebagai rangkaian kegiatan G20 telah dilangsungkan di Bali pada 2-3 November lalu, dan dilanjut di Yogyakarta pada 4-6 November 2022. Mengangkat tema Revealing, Nurturing, Religion as a Source of Global Solutions, kegiatan ini setidaknya dihadiri 150 pemimpin lintas agama dari negara lain, dan 250 partisipan domestik. Atas inisiasi Nahdlatul Ulama (NU) dan diketuai secara bersama dengan Liga Muslim Dunia (Rabithah ‘Alam Islami) kegiatan ini mengusung dua aspek utama, yaitu moral dan spiritual. Di acara ini Presiden Jokowi mengajak para pemimpin agama dari berbagai negara untuk mengidentifikasi dan merangkul nilai-nilai mulia yang bersumber dari agama dan peradaban dunia.


Terdapat beberapa isu penting, krusial, tetapi juga cukup sensitif dalam pergaulan antaragama dibahas dan didiskusikan di forum ini. Di antaranya adalah isu kepedihan sejarah masa lalu, nilai mulia dari agama–agama dan peradaban dunia, serta rekontekstualisasi ajaran agama yang usang dan bermasalah. Melalui diskusi di forum diskusi R20 diharapkan kepedihan sejarah masa lalu bisa diarahkan pada upaya rekonsiliasi dan pengampunan. Diharapkan juga ada upaya bersama untuk menggali dan mengungkap nilai mulia dari agama dan peradaban lalu untuk dijadikan solusi bagi pergaulan antaragama kekinian. Hal itu bahkan sampai dirasa perlu untuk melibatkan upaya seleksi atas ajaran agama yang mungkin relevan di masa lalu, tetapi kini membutuhkan rekontekstualisasi.


Menarik apa yang disampaikan presiden Jokowi di forum itu, bahwa bangsa Indonesia ingin belajar banyak dari para delegasi pemuka agama-agama negara lain, sekaligus Indonesia juga menyatakan siap untuk berbagi pengalaman. Pernyataan tersebut mengungkap bahwa berbagai negara sangat mungkin memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi problemnya, termasuk dalam melibatkan peran agama. Namun demikian, Indonesia juga siap untuk berbagi praktik baik tentang bagaimana nilai agama digunakan untuk menjadi solusi bagi berbagai problem bangsa. Bahkan praktik baik itu sudah teruji dalam berbagai periode sejarah perkembangan bangsa Indonesia.


Praktik baik tentang kontribusi agama dalam mengatasi problem bangsa, disampaikan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Gus Men (panggilan Yaqut Cholil Qoumas) menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 menyisakan kesan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang secara teknologi, sains, dan ekonomi memang belum secanggih dan semakmur negara lain di G20, namun ternyata mampu menyintas pandemi Covid-19. Hal itu menurut Gus Men berkat negara ini merupakan negara Pancasila. Indonesia menjadi sama tangguh dengan negara-negara lain karena ada nilai-nilai militansi akal budi yang diwariskan Pancasila dari agama-agama.


Pada konteks tersebut, Pancasila berada pada posisi sebagai ideologi dan dasar negara sekaligus pandangan hidup seluruh rakyat Indonesia. Hal itu juga perlu disertai pemaknaan dan pemahaman bersama bahwa nilai luhur Pancasila merupakan nilai yang sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran agama yang ada di Indonesia. Konsep tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan merupakan nilai-nilai universal yang disarikan dari ajaran agama-agama di Indonesia menjadi Pancasila.


Rekontekstualisasi ajaran agama yang usang dan bermasalah merupakan salah satu isu sensitif pada forum ini. Istilah lain dari topik tersebut adalah perlu adanya upaya seleksi atas ajaran agama yang mungkin relevan di masa lalu namun kini membutuhkan rekontekstualisasi. Hal itu menjadi sensitif mengingat bagi pemeluk dan penganut ajaran agama tertentu, nilai ajaran agama mereka sudah final, sempurna, paripurna. Tak ada ruang tawar-menawar atas hal itu. Semua yang menjadi ajaran adalah sifatnya mengikat dan pakem. Lebih ekstrem lagi, jika suatu ajaran dirasa kurang pas dengan konteks tertentu maka bukan ajaran yang butuh penyesuaian, melainkan konteksnya.


Nahdlatul Ulama sebagai inisiator R20 dan pengusung isu rekontekstualisasi, imbauan dan ajakan itu berlaku ke dalam dan ke luar. Islam Indonesia sebagai penyelenggara forum R20 juga terdampak dari isu rekontekstualisasi tersebut. Islam perlu juga melakukan seleksi atas ajarannya yang mungkin relevan di masa lalu tetapi kini membutuhkan rekontekstualisasi. Tidak menutup kemungkinan hal itu juga akan menimbulkan perbedaan pandangan, mengingat cara memahami suatu ajaran ada kecenderungan secara kanan, kiri, dan tengah. Demikian juga ke luar, agama-agama lain termasuk di Indonesia dan negara lain dirasa perlu melakukan rekontekstualisasi ajaran agama yang usang dan problematik. Semoga ini tidak menjadi problem baru dalam kehidupan masyarakat seagama dan antaragama.


Terdapat beberapa catatan menarik selama berlangsung R20. Di antaranya tentang perlu upayanya bersama untuk menemukan nilai kebajikan universal dari berbagai agama (share values) yang bisa merefleksikan pedoman dan pegangan bersama dalam hal kemanusiaan dan menjaga perdamaian sehingga mampu menghapus persekusi pada agama tertentu. Pentingnya kesadaran untuk connecting before correcting (kenali sebelum koreksi) dalam berbagai diskusi lintas agama, sehingga tidak mengganggu pergaulan antaragama. Serta pentingnya penguatan esensi nilai keagamaan dan keberagamaan baik dalam agama maupun lintas agama sehingga nilai luhur dan keteladanan generasi sebelumnya terwariskan pada generasi muda.


Kiranya juga penting jika forum R20 menjadi ajang menyelesaikan problem bagi kasus-kasus konkret yang nyata masih berlangsung sehingga tidak dianggap sebatas bermain pada ranah wacana. Selain itu, ajaran agama yang hadir secara tekstual perlu kiranya ditinjau ulang melalui pemaknaan-pemaknaan yang tidak sekadar literal tetapi juga kontekstual sesuai kodrat zaman.


Melalui aktivitas simak atas paparan tokoh-tokoh agama lintas negara tersebut, Fatayat sebagai badan otonom di lingkungan Nahdlatul Ulama harus ikut berperan membantu R20 menyampaikan pesan moral dan spiritual bahwa agama dengan nilai-nilai mulia ajarannya merupakan solusi bagi berbagai problem bangsa-bangsa secara global. Juga, tantangan bagi Fatayat NU untuk meninjau ulang kiprahnya sehingga kinerjanya relevan dengan rumusan pada forum R20.


Walaupun dalam R20 tidak ada isu dan pembahasan khusus tentang peran perempuan dalam menghadapi permasalahan bangsa-bangsa terkait pergaulan antaragama, kiranya peran perempuan tetaplah harus menjadi yang melahirkan, mewariskan, serta menjaga keberlangsungan. Kita pastikan setiap generasi yang lahir, setiap peradaban baik yang terwariskan, serta keberlangsungan perdamaian dunia juga membutuhkan sentuhan lembut perempuan. Kita kuatkan peran sebagai madrasah pertama, utama, dan secara bersama akan memastikan bahwa di setiap generasi yang lahir akan kita bisikkan pesan damai demi dunia yang lebih baik.


Qonita Fitra Yuni, pengurus Pimpinan Cabang Fatayat NU Kabupaten Situbondo