Opini

Sifat Zuhud Buya Syafii Maarif

Ahad, 29 Mei 2022 | 14:00 WIB

Sifat Zuhud Buya Syafii Maarif

Buya Syafii Maarif pada sebuah kegiatan di Jakarta. (Foto: NU Online/Kendi Setiawan)

Oleh Eeng Nurhaeni

Seorang cendikiawan Muslim, Mohamad Sobary menyampaikan kesaksiannya tentang pernyataan mendiang Buya Syafii Maarif, bahwa tidak sedikit karya tulis para cendikiawan Indonesia laiknya menggoreskan jemari di atas pasir pantai yang mudah terhempas oleh hembusan angin, bahkan akan hilang seketika manakala ombak besar menerjangnya (KompasTV, 27 Mei 2022).


Presiden Jokowi sendiri mengakui dalam sambutannya menjelang pemakaman mendiang (di TPU Husnul Khatimah, Kulon Progo, Yogyakarta), bahwa sosok Buya Syafii layak menjadi teladan bangsa Indonesia, sebagai penjunjung tinggi toleransi, seorang Pancasilais yang konsisten menjaga jiwa kesederhanaannya.


Dalam terminologi Islam, pengertian sederhana identik dengan seorang zahid (dari kata 'zuhud'), yakni seseorang yang sudah selesai dengan dirinya, serta melampaui keakuan dan ego-ego pribadinya. Sikap zuhud paralel dengan ketakwaan, seakan tidak lagi memiliki hasrat berlebihan pada kehendak dan keinginan duniawi. Pemimpin yang zuhud senantiasa lapang hati nuraninya, hingga memahami tugas kepemimpinan yang hakiki, serta prioritas apa yang mesti didahulukan demi untuk menjaga kecintaannya pada rakyat.


Tentu saja tipikal seperti itu bertolak-belakang dengan sosok politisi dan penguasa korup yang tertangkap oleh KPK dalam kasus-kasus suap maupun gratifikasi. Beberapa waktu lalu, dari kasus gratifikasi di salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan saja, telah berhasil disita sekitar 23 unit kendaraan, di antaranya Lexus, Cadillac, BMW, Rubicon, Hummer, juga 8 motor gede dan 4 Harley Davidson.


Pejabat dan politisi semacam itu, kekayaannya sudah menumpuk, bahkan melimpah ruah, tetapi jiwanya tetap kerdil dan miskin, nelangsa dan merasa kekurangan selalu. Hidupnya sudah kaya-raya dan berkelimpahan, namun gaya hidupnya yang serakah dan hedonis, menutup akal sehat dan hati nuraninya, hingga tak lagi memiliki jiwa empati untuk mencintai rakyat yang dipimpinnya.

 

Cendikiawan zuhud

Dalam makalah untuk Temu Sastrawan di Ternate (2011), Afrizal Malna sempat mengutip Memoar Joesoef Isak, sebagai mantan tahanan politik (tapol ) di masa Orde Baru. Afrizal mengutip hasil analisis Hafis Azhari, selaku pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dalam artikel yang diberi judul: Estetika Pembelahan, Pengkembaran dari Epidemi Sejarah (Usaha Melihat Estetika Sastra Abad 21).


Dalam tulisan yang lugas dan (terlampau) ilmiah itu, Afrizal mengakui kebenaran tesis yang dikemukakan Hafis Azhari, yang kemudian terus merambah dikutip oleh para cendikiawan dan sastrawan milenial akhir-akhir ini. Ia mengakui bahwa peralihan kepemimpinan Soekarno kepada Orde Baru ibarat peralihan dari masa perjuangan ke orde perampokan. Masa kepahlawananan telah berubah menjadi masa penyingkiran orang-orang berbakat dan berpotensi di negeri ini. Kita bisa membaca, bahwa inilah yang merupakan cikal-bakal "kegagalan" era Orde Baru dalam segala aspek kehidupan yang akhirnya jadi begini ini.


Buya Syafii memandangnya sebagai era manusia-manusia yang berkarya sebagaimana buih-buih di lautan. Bagaikan menggoreskan tulisan di atas pasir laut yang akhirnya lekang dimakan waktu, mudah terhempas oleh gelombang pasang-surut air laut yang datang silih berganti. Tidak kokoh dan ajeg. Memang, sebagian memiliki kapasitas sebagai akademisi dan orang terdidik, tetapi bahasanya jauh mengawang-awang di angkasa dan tak mau berpijak di atas bumi.


Menurut Buya Syafii, cendikiawan muda harus banyak belajar dari karya-karya Y.B. Mangunwijaya yang mampu mengomunikasikan ilmunya dengan bahasa sederhana, serta "nyambung" dengan nalar orang-orang terpelajar maupun rakyat awam. Sebagian cendikiawan kita – menurut Buya Syafii – banyak yang terdidik dalam iklim pendidikan modern, yang kadang mengidap bias 'orang-orang kota', dan menjauh dari nilai-nilai kerakyatan


Walaupun pernah mengenyam pendidikan Barat di Chicago University (Amerika Serikat), Buya Syafii sangat menghormati kearifan lokal (local wisdom) dan bergaul akrab dengan rakyat marjinal. Baginya, tidak sedikit cendikiawan Muslim yang banyak mengadopsi keilmuan Barat, kemudian merasa nyaman berada di lingkungan elit terpelajar, serta tidak merasa betah untuk berbaur dengan masyarakat awam. Kelemahan mendasar di kalangan cendikiawan dan budayawan kita adalah kesulitan menemukan model komunikasi, baik lisan maupun tulisan, yang dapat menjabarkan pesan-pesan religiositas yang sederhana sekaligus mendalam.


Tipikal mendiang Buya Syafii, Romo Mangun, juga Gus Dur (di kalangan NU) dinilai telah mampu menjembatani kedua model antara keawaman dan kecendikiawanan di negeri ini. Mereka adalah tipikal pemikir, filosof dan budayawan yang merupakan spesimen khusus, hingga patut menjadi teladan bagi kepemimpinan zuhud yang bersahaja di negeri ini. 

 

Tinta emas cendikiawan

Dalam banyak artikelnya di harian Kompas, Republika dan lain-lain, mendiang Buya Syafii mampu mengomunikasikan pemikiran ilmiah tentang sejarah, baik keislaman maupun kenegaraan dengan bahasa yang baik dan sederhana. Dapat dimengerti kaum awam, sekaligus mereka yang sudah melampaui kecendikiawanan, atau orang-orang yang memiliki kemampuan khusus secara spiritual (khawas).


Tentu bukan perkara mudah melahirkan karya tulis yang mampu menempatkan imajinasinya di antara kecendikiawanan dan keawaman masyarakat kita. Para kaum akademis yang terdidik, hendaknya berani melakukan otokritik (muhasabah) akan kekurangan dan kekhilafan dirinya. Terkait dengan ini, cendikiawan muslim, Komarudin Hidayat pernah menyinggung soal kealpaan ini disebabkan elitisme cendikiawan cenderung memisahkan aspek teoritis dengan praksis yang diniscayakan dapat 'membumikan' ke dalaman ilmu yang dimilikinya. Di sinilah letak keunikan dari karakteristik Buya Syafii yang pantas dijadikan cermin keteladanan.


Bagi Komarudin, di dunia Barat dianggap sesuatu yang lumrah ketika ilmu sejarah maupun keislaman dipelajari sebagai keasyikan teoretis. Filosof Jerman, Juergen Habermas pernah menandaskan bahwa dunia Barat (Eropa) seringkali memanfaatkan ilmu sebatas untuk tujuan instrumental, dan bukan strategis, apalagi komunikatif. Di sinilah letak perbedaannya dengan genuinitas Buya Syafii sebagai akademisi dan ilmuwan sejarah, yang tetap eksis mencintai dan menjaga kebhinekaan Indonesia.


Hingga akhir hayatnya, beliau masih aktif melancarkan kritikannya, serta mewanti-wanti para penguasa Indonesia agar tidak lagi terjebak ke dalam iklim pragmatisme dan hedonisme yang pernah merambah kekuasaan Orde Baru selama lebih dari tiga dekade, berikut dengan perspektif tunggal yang diwariskannya.


Selamat jalan Buya Syafii Maarif, sang penerang dan pencerah pemikiran dan peradaban Indonesia. Rakyat kita akan selalu mengenang jasa-jasa dan segala hasil karya dan kreasimu. Nama besar yang senantiasa diabadikan bangsa, saat ini hingga kapanpun di masa mendatang, justru tertoreh dengan tinta emas lantaran kualitas keilmuan dan kesederhanaanmu.


Bukan karena megahnya harta dan singgasanamu. Tapi, karena kekayaan jiwa, kejujuran dan kemuliaan hati nuranimu. 


Eeng Nurhaeni, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan.