Opini

Topik-topik Raksasa dalam Munas Nahdlatul Ulama

Ahad, 3 Maret 2019 | 08:15 WIB

Topik-topik Raksasa dalam Munas Nahdlatul Ulama

KH Yahya Cholil Staquf

Oleh KH Yahya Cholil Staquf

Segera setelah diumumkannya hasil Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar Patroman, Jumat (2/3) pagi, serta-merta meruak perbincangan publik –baik perdebatan ilmiah maupun pertukaran caci-maki—mengenai sebutan “kafir” terhadap non-Muslim. Hal itu dipicu oleh cuilan informasi yang sama sekali tidak menjelaskan keutuhan hasil pembahasan salah satu topik yang memang boleh dianggap paling penting dalam munas ini, yaitu Bahtsul Masail Maudlu’iyyah (tematik) tentang “Negara, Kewarganegaraan, Hukum Negara dan Perdamaian”. 

Sebagai bagian dari jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, saya tidak berkecil hati dengan keributan tanpa arah itu. Sebab, Nahdlatul Ulama sedang menempuh upaya yang jauh lebih bermakna daripada sekadar bertukar kata ataupun bahkan membangun citra.

Topik Bahtsul Masail di atas adalah topik raksasa karena signifikansinya terkait dengan masalah yang sedang menjadi pusat keprihatinan dunia. Yaitu konflik tanpa ujung yang merebak di mana-mana terkait dengan Islam, baik di kawasan-kawasan dunia Islam sendiri (Timur-Tengah, Afrika Utara dan Tengah, serta sebagian Asia Tenggara) maupun dunia non-Muslim (Eropa, Amerika, India, China, dan bagian Asia Tenggara lainnya). Konflik menyemesta dengan daya rusak tak terperi itu, jika tidak segera ditemukan jalan keluar, akan berujung keruntuhan bagi seluruh peradaban dunia.

Jelas bahwa Islam dan umat Islam tidak bisa dijadikan satu-satunya tertuduh. Seperti Tango, konflik tidak terjadi dengan aktor tunggal. Semua pihak yang terlibat berbagi kesalahan. Tapi, upaya mengakhirinya harus segera dimulai. Tidak ada waktu lagi untuk saling menunggu. Nahdlatul Ulama, dengan segala keringkihannya dan bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berkehendak untuk ikut mengayunkan langkah menuju jalan keluar itu.

Pada masa ketika melekatnya identitas agama pada negara masih menjadi basis dari format sistemik peradaban, konflik antar-agama relatif terbatasi sebagai konflik di antara negara-negara tertentu, dan hanya melibatkan kekuatan-kekuatan militer dari negara-negara yang bersangkutan, di medan-medan pertempuran yang terbatas. Bagi Kerajaan Islam seperti Turki Usmani, misalnya, norma permusuhan dan kewaspadaan kaum Muslimin terhadap non-Muslim mengemban qashd syar’i (tujuan syari’at) terpeliharanya keamanan kaum Muslimin sebagai warga kerajaan dari ancaman bahaya. Ancaman itu mungkin datang sewaktu-waktu dari kekuatan militer kerajaan-kerajaan non-Muslim di sekelilingnya, dengan penjagaan oleh para prajurit kerajaan di perbatasan.

Di masa kini, ketika seluruh masyarakat di segenap belahan dunia diwarnai dengan keragaman, permusuhan dan konflik antaragama akan berujung kerusuhan sosial dengan skala dan sebaran yang tak terkendali, yang pada gilirannya akan meruntuhkan sama sekali segala sendi kehidupan bermasyarakat di seluruh dunia.

KH Achmad Shiddiq, Rais Am terpilih pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 di Situbondo, 1984, membuat karya bersejarah dengan meletakkan kerangka keagamaan yang otoritatif bagi kesejajaran nilai antara ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sesama warga bangsa), dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama umat manusia). Dalam Muktamar tersebut dinyatakan pula bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final upaya umat Islam Indonesia mengenai negara. Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama memberikan legitimasi keagamaan yang otoritatif bagi keberadaan negara-bangsa modern berikut sistem hukum yang dihasilkan dalam sistem politiknya.

Pada Muktamar ke-32 di Makassar, 2010, Nahdlatul Ulama menegaskan perjuangan demi perdamaian dunia sebagai bagian dari sikap keagamaannya. Dengan itu berarti bahwa terhadap konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk yang melibatkan kelompok-kelompok dari kalangan umat Islam, baik konflik di antara mereka sendiri maupun kalangan non-Muslim, kewajiban agama menuntut diperjuangkannya resolusi konflik dan perdamaian, alih-alih melibatkan diri dalam konflik atas nama membela kelompok yang dianggap sepihak.

Di dalam Munas kali ini, Nahdlatul Ulama meletakkan kerangka fiqih (ithaar fiqhiy) bagi pandangan-pandangan di atas dengan membangun nalar fiqih untuk menandaskan bahwa: 

Negara-Bangsa adalah landasan kedaulatan yang sah bagi keberadaan suatu negara yang merdeka dan mandiri. Dengan kata lain, tidak mengakui kredibilitas seruan pihak mana pun untuk melebur negara-negara berpenduduk Muslim yang ada saat ini menjadi satu khilafah Islamiyah universal. Setiap warga negara memiliki status kewargaan penuh dengan hak dan kewajiban yang setara, terlepas dari perbedaan latar belakang agama. Kategori Muslim dan kafir tidak relevan dalam status kewarganegaraan.

Produk undang-undang atau kebijakan negara yang lahir dari proses politik modern mengikat seluruh warga negara. Jika tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, wajib ditaati secara syari’at (mulzim syar’i). Sebaliknya, jika bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka umat Islam perlu meluruskannya dengan cara-cara konstitusional. Tidak boleh menjadikannya alasan untuk melawan pemerintah yang sah.

Upaya memperjuangkan perdamaian adalah kewajiban agama karena merupakan upaya untuk mengakhiri fitnah. Sedangkan melibatkan diri ke dalam konflik berarti memperbesar fitnah.

Sementara itu, peristiwa besar lain telah terjadi di Abu Dhabi pada awal Februari lalu (4/2). Yaitu ditandatanganinya “Piagam Persaudaraan Umat Manusia” (Document of Human Fraternity) oleh Syaikhul Azhar Doktor Ahmad At Thayyib dan Paus Fransiskus. Piagam yang dinyatakan merupakan kelanjutan dan “didasarkan atas dokumen-dokumen internasional yang telah ada sebelumnya” itu, menegaskan pandangan-pandangan yang telah diangkat sebelumnya dalam berbagai deklarasi dan dokumen internasional yang dilahirkan di lingkungan NU selama ini, terutama sejak 1984 sampai 2018. 

Maka, dalam pidato pembukaan Munas, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyatakan dukungan penuh terhadap piagam tersebut dan kehendak untuk bergabung dalam perjuangan bersama-sama Al Azhar dan Vatikan untuk mewujudkannya visi mulianya. Hal ini merupakan bagian dari tekad yang telah dinyatakan dalam Deklarasi Nahdlatul Ulama dalam International Summit Of Moderate Islamic Leaders (nuktah ke-16), yaitu untuk “menggalang konsolidasi komunitas Ahlussunnah wal Jama’ah seluruh dunia agar sungguh-sungguh hadir sebagai pembawa kebaikan dan memberikan kontribusi bagi kemaslahatan umat manusia”.

Tantangan besar selanjutnya adalah upaya untuk mentransformasikan pola pikir dari umat beragama yang dalam realitas hingga saat ini masih diwarnai pandangan-pandangan problematis. Langkah-langkah nyata untuk mengupayakan transformasi itu menuntut konsolidasi global dengan mengajak –sebagaimana dinyatakan oleh Piagam Persaudaraan Kemanusiaan—semua pihak yang memiliki kehendak baik dari semua agama dan kebangsaan. Diperlukan pula strategi yang sungguh-sungguh dapat diandalkan.

Deklarasi Gerakan Pemuda Ansor tentang Islam Untuk Kemanusiaan (Al Islaam lil Insaaniyyah) yang diumumkan pada 22 Mei 2017 di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, menawarkan strategi dengan lima komponen:

Pertama, identifikasi masalah dan penangkalannya. Elemen-elemen yang bermasalah dalam pandangan-pandangan keagamaan –karena tidak sesuai lagi dengan konteks realitas kekinian—harus diidentifikasi secara akurat agar tidak terjadi generalisasi terhadap agama hingga mengarah pada fobia. Artikulasi-artikulasi yang menguatkan pandangan-pandangan bermasalah tersebut harus ditangkal agar tidak terus menyebar di kalangan umat beragama.

Kedua, resolusi konflik. Realitas konflik yang masih ada di berbagai kawasan senantiasa dijadikan pembenar untuk melestarikan pandangan-pandangan keagamaan yang problematis. Masyarakat internasional dituntut untuk lebih gigih lagi menjalankan upaya-upaya resolusi dengan membangun jembatan dialog. Bila mana perlu menerapkan tekanan global atas pihak-pihak yang terlibat agar menghentikan konflik.

Ketiga, mengembangkan wacana alternatif. Artikulasi-artikulasi keagamaan yang mempromosikan perdamaian harus terus dikembangkan. Dalam hal ini, Piagam Persaudaraan Kemanusiaan merupakan wujud besar lahirnya wacana alternatif itu, yang harus diikuti dengan pengembangan wacana-wacana lanjutan dan penyebaran seluas-luasnya di kalangan umat beragama.

Keempat, penyesuaian sistem pendidikan agama. Pendidikan agama melibatkan tidak hanya peserta didik anak-anak, tapi juga dewasa. Maka, upaya penyesuaian perlu dilakukan segera agar membawa dampak langsung pada pola pikir umat beragama.

Di antara elemen utama dari penyesuaian itu adalah mengenalkan cara pandang baru terhadap sejarah dan membangkitkan kesadaran tentang perubahan realitas peradaban. Tujuannya agar peserta didik dan masyarakat mampu menangkap nilai-nilai sejati dari agama yang harus senantiasa mendapatkan ruang manifestasi dalam konteks realitas yang berubah-ubah.

Kelima, gerakan sosial. Masyarakat perlu digalang dalam suatu gerakan untuk senantiasa memelihara harmoni sosial, menjaga kerukunan antar-umat beragama, dan menangkal potensi-potensi perpecahan, lebih-lebih upaya-upaya yang dengan sengaja dilakukan oleh aktor-aktor tertentu untuk memicu konflik. 

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmati seluruh umat manusia dan menurunkan pertolonganNya. Amin.(*)


Penulis adalah Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Tulisan ini pernah dimuat di harian “Jawa Pos”, edisi Sabtu (2/3), dengan judul asli “Meredakan Konflik, Mencegah Keruntuhan Peradaban”