Parlemen

Hindari Krisis Persaudaraan, FPKB Dorong Konsensus Nasional di Eropa

Jum, 6 November 2020 | 02:05 WIB

Hindari Krisis Persaudaraan, FPKB Dorong Konsensus Nasional di Eropa

Anggota Komisi IX DPR RI, Anggia Ermarini (kanan). (Foto: dpr.go.id)

Jakarta, NU Online

Legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Anggia Ermarini mendorong Perancis membentuk konsensus nasional. Pembentukan komitmen pemerintah tersebut dilakukan agar tidak terjadi krisis persaudaraan di negara-negara Eropa. 


Apa yang disampaikan Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ini sebagai respons hadirnya dinamika berkepanjangan yang disebabkan konflik agama di Perancis baru-baru ini. Anggia tidak ingin apa yang terjadi di Perancis menjadi bumerang bagi bangsa Perancis. Karena itu, harus segera didorong adanya konsensus nasional di Perancis. 


“Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu teman-teman Eropa, Amerika juga. Dan kita bicara soal konsensus. Konsensus dalam artian kaya konsensus bineka tunggal ika di Indonesia,” kata Anggia kepada NU Online, Kamis (5/11). 


Para pemangku kebijakan di negara-negara Eropa yang dia temui, lanjut Anggia, tertarik dengan konsensus yang diterapkan di Indonesia. Bahkan beberapa temannya itu mencari tahu lebih dalam mengapa di Indonesia kerukunan tetap tercipta padahal terdiri dari suku, agama, dan budaya yang berbeda-beda. 


“Orang-orang Eropa sedang krisis ya, krisis persaudaraan. Salah satu yang saya ungkapkan adalah Indonesia hidup rukun dalam perbedaan padahal kondisi negaranya hampir sama dengan negara-negara Eropa. Itu kata saya karena Indonesia punya Pancasila,” kata dia.


Dia juga mengatakan bahwa yang tidak boleh adalah mempersepsikan kebebasan beragama sebagai suatu kebebasan yang kebablasan. Misalnya saja, atas nama kebebasan beragama lalu seseorang dapat menghina agama lain yang dinilainya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. 


“Misalnya dia tidak mau menghargai orang atau pihak lain yang memeluk agama lain, jadi itu sangat tidak tepat,” tuturnya. 


Anggia Ermarini juga menegaskan, apa yang disampaikan oleh Presiden Macron melukai umat Muslim dunia. “Menurut saya yang dilakukan Macron sama sekali tidak asik, dan harusnya di saat-saat seperti ini menghargai menjalin kesatuan lebih erat, saat ini kan dunia sedang pandemi,” kata Anggia.


Dia menjelaskan, ditampilkannya karikatur Nabi Muhammad SAW sebagai kesalahan fatal yang dilakukan warga Prancis. Tidak bisa direspons biasa, harus ada sikap yang benar-benar mendorong lahirnya kehidupan yang rukun damai dan berdampingan di tengah perbedaan agama yang ada.


Sejalan dengan Anggia Ermarini, Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menegaskan perlunya konsensus bersama untuk menyelesaikan problematika yang melanda dunia secara global tersebut. 


“Ini kita harus mengembangkan wawasan baru, kemudian memperjuangkan konsensus secara global,” katanya saat galawicara Peci dan Kopi bertema Islam and Blasphemy yang digelar 164 Channel dengan NU Online pada Selasa (3/11). 


Pasalnya, lanjut kiai yang akrab disapa Gus Yahya tersebut, hal ini terkait dengan wawasan yang terlanjur mapan, termasuk mengenai status kafir dan penghinaan yang dianggap sebagai kebebasan. 


“Itu sebabnya, kita sebetulnya memerlukan wawasan alternatif, diskursus alternatif yang cukup mendasar,” ujarnya.


Pewarta: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Fathoni Ahmad