Risalah Redaksi

PKI, Rekonsiliasi, dan Pendekatan Hukum Formalistik

Jum, 30 September 2016 | 12:32 WIB

Akhir September selalu dikenang sebagai sejarah gelap dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Konflik yang terjadi pada 1965 tersebut telah membunuh anak-anak bangsa dari berbagai kelompok yang bertikai akibat perbedaan ideologi dan perebutan kekuasaan.

Pertikaian ideologi pra hingga pasca-kemerdekaan telah menimbulkan banyak korban. PKI pada prakemerdekaan telah melakukan perlawanan terhadap Belanda, menelikung pemerintah RI yang sah di Madiun pada 1947 dan terakhir adalah pada 1965 ketika mereka berusaha merebut kekuasaan, namun gagal. Setelah era itu, rezim Orde Baru yang berkuasa berusaha membungkam keberadaan ideologi komunis. Saat upaya perebutan kekuasaan yang mereka lakukan gagal. Seluruh eks-PKI dibersihkan dan didiskriminasi. Mereka yang terlibat dan keturunannya tidak dapat menjadi pegawai negeri, KTP-nya diberi tanda tertentu serta berbagai kesulitan mengurus administrasi negara lainnya. Konteks internasional dengan adanya Perang Dingin membantu melegitimasi agar ajaran komunis tidak berkembang di Indonesia.

Saat Orde Baru runtuh, kebijakan negara berubah dengan upaya pemulihan hak-hak yang selama ini dihilangkan. Orang-orang yang sebelumnya tidak dapat bersuara kini dapat secara bebas mengekpresikan aspirasinya. Mereka yang sebelumnya merasa ditindas berusaha memulihkan nama baiknya bahkan membela diri atau “meluruskan” bahwa catatan sejarah yang dibuat oleh Orde Baru tidak benar. Mereka menuntut agar negara meminta maaf atas kejadian di masa lalu, bahkan berusaha meminta kompensasi atas penderitaan yang dialaminya. Sejumlah LSM yang fokus pada masalah hukum dan kemanusiaan secara aktif mendukung dan mengawal apa yang dituntut oleh mantan PKI ini. Semua itu dilakukan atas nama kemanusiaan.

Di luar perjuangan mendapat pengakuan secara formal pada eks-PKI sebagai warga negara yang sederajat yang mendapatkan hak-haknya secara penuh, para kiai NU secara kultural telah melakukan rekonsiliasi di akar rumput atas berbagai persoalan yang terjadi. Mereka memberi bimbingan dengan ajaran-ajaran Islam dan mengintegrasikannya dengan kehidupan sosial masyarakat sehingga mereka tidak menjadi warga kelas dua di komunitasnya masing-masing.

Pola-pola ini, sebenarnya sudah menjadi pendekatan khas di lingkungan NU. Upaya ini berjalan tanpa terasa dan seolah-olah tanpa desain. Semuanya mengalir secara alamiah dan tanpa disadari, akhirnya semuanya sudah berubah. Eks-PKI tiba-tiba diambil menantu oleh kiai, mereka yang aktif dan punya potensi diberi ruang menjadi tokoh setempat.

Upaya-upaya khas NU ini tetap digunakan saat ini dalam menghadapi berbagai persoalan masyarakat. Lakpesdam NU, yang kini juga memiliki program pendampingan bagi kelompok minoritas di berbagai daerah, melakukan upaya-upaya yang kelihatannya sederhana tetapi memberi makna yang sangat besar. Pada sebuah konflik agama di Lombok, Lakpesdam membantu kelompok yang dieksklusi dengan memberikan modal gunting atau mesin parut kelapa kepada anggota komunitas tersebut. Tujuan utamanya adalah agar kelompok yang disingkirkan tersebut dapat terus berinteraksi di masyarakat. Dengan menjadi tukang cukur di pasar, mereka dapat bergaul dan saling kenal. Dari situlah mereka bisa saling belajar dan memahami. Dalam konflik antarmasyarakat di Madura, aktivis Lakpesdam mengajak ibu-ibu yang dipisahkan oleh aliran Islam yang berbeda ini diajak masak bersama. Tujuannya juga sama agar tercipta interaksi yang selanjutnya bisa menumbuhkan kebersamaan dan saling memahami.

Kelompok LSM yang sama, yang dalam isu lain juga memperjuangkan eks-PKI dengan pendekatan hukum yang formalistik, juga turun ke daerah-daerah konflik tersebut. Mereka meminta kasus ini dibawa ke pengadilan dan pihak yang salah harus dituntut. LSM yang para aktivisnya berbasis di Jakarta menggunakan pendekatan masyarakat kota yang cenderung individualistik sementara kasus yang ditangani terjadi pada masyarakat pedesaan yang komunal. Akibatnya, seringkali timbul masalah baru dengan pendekatan ini, dan itu tidak diketahui oleh aktivis LSM tersebut, karena mereka sudah balik ke Jakarta. Konflik agama memiliki dimensi yang kompleks, yang tidak cukup menggunakan pendekatan hukum formal karena mengandung nilai-nilai keagamaan yang sifatnya transendental dari masing-masing pihak. Upaya ini bisa merusak harmoni sosial yang sudah dibangun dengan susah payah.

Analogi yang sama tampaknya juga berlaku terhadap upaya pemulihan mantan PKI yang mengalami diskriminasi seperti adanya tuntutan agar dibentuk pengadilan atas korban 65 untuk dicari siapa yang harus bertanggung jawab, agar negara meminta maaf, agar para korban mendapat kompensasi dan segala macam tuntutan lainnya. Sebagai sebuah bangsa, kita harus belajar dari kesalahan yang dibuat para pendahulu kita, dan masing-masing pihak harus jujur mengakuinya. Tidak bijak jika hanya menganggap diri tidak bersalah atau memposisikan diri sebagai korban tanpa melihat perspektif lain di mana banyak pula umat Islam yang menjadi korban PKI.   

Hukum itu penting untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Tapi pendekatan hukum yang formalistik dan kaku bukan satu-satunya pendekatan atau menjadi pendekatan terbaik dalam manyelesaikan persoalan. Pendekatan hukum cenderung melihat benar-salah, menang kalah, tetapi ujung-ujungnya adalah situasi yang kalah-kalah karena masing-masing pihak akan membela diri tidak bersalah. Jangan sampai upaya untuk membantu masyarakat malah menimbulkan problem baru. Bangsa ini harus segera menyelesaikan persoalan masa lalu dengan bijak untuk melangkah menuju masa depan tanpa beban sejarah yang menghantui. (Mukafi Niam)