Pustaka BULAN GUS DUR

3 Buku Memoar Gus Dur tentang Istana Rakyat, Canda, dan Sufisme

Sab, 17 Desember 2022 | 11:00 WIB

3 Buku Memoar Gus Dur tentang Istana Rakyat, Canda, dan Sufisme

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur merupakan seorang multidimensi. Ia disebut kiai karena pemahaman keagamaannya yang mumpuni mengingat latar belakang studinya di sejumlah pesantren dan perguruan tinggi Timur Tengah. Ia juga dianggap sebagai budayawan mengingat kariernya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan dewan juri perfilman. Sosoknya juga dikatakan sebagai politikus karena peran politiknya sebagai deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan berpuncak sebagai Presiden Keempat Republik Indonesia.


Ada banyak hal lain yang disempatkan kepadanya, seperti seorang humanis karena perannya dalam memperjuangkan kemanusiaan, Guru Bangsa mengingat tindak-tanduknya yang selalu patut untuk diteladani, dan masih banyak lainnya. Belum lagi mengenai humor dan kepiawaiannya dalam berpidato dan menulis.


Desember menjadi waktu yang tepat untuk kembali mengenal sosok multidimensi itu. Di akhir bulan inilah, tepatnya tanggal 30, pada 13 tahun silam, Gus Dur berpulang ke haribaan-Nya. Meski sosoknya telah tiada, bangsa Indonesia tetap bisa berkenalan dengannya. Salah satunya adalah melalui buku-buku memoar yang memuat perjalanan si penulis dengan Gus Dur.


Setidaknya, ada tiga buku memoar tentang Gus Dur yang perlu untuk dibaca. Tiga buku ini mengenalkan pembaca kepada Gus Dur dari beragam sisi, mulai dari sikapnya, kebijakannya, humornya, hingga sufistiknya. Berikut inilah lima buku memoar Gus Dur yang perlu dibaca.


1. Presiden Gus Dur The Untold Stories: Kiai di Istana Rakyat

Buku ini ditulis langsung oleh Priyo Sambadha Wirowijoyo, seorang staf kepresidenan era Gus Dur. Di buku ini, sebagaimana termaktub di judulnya, pembaca akan memperoleh cerita-cerita yang jarang ditemukan di tempat lain karena langsung didapatkan dari dalam istana.

 

Priyo mengawali tulisannya dengan peristiwa kehadiran Gus Dur ke Istana sebagai Presiden yang dalam benaknya tidak ada tampang presiden sama sekali. Namun, dalam uraian selanjutnya, betapa penulis begitu menunjukkan sosok Gus Dur sebagai seseorang yang sangat bersahaja nan berani.


Hal tersebut ditunjukkan dengan membuat istana bukan lagi hanya sebagai Istana Presiden, melainkan Istana Rakyat. Istilah ini muncul karena Gus Dur membuka gerbang istana lebar-lebar untuk siapa saja datang bertandang. Bukan hanya datang, Gus Dur sebagai tuan rumah pun menyambut mereka dengan penuh hangat dan dijamu dengan spesial. Hal itu terjadi pada perayaan idul fitri. Presiden menyalami rakyatnya untuk berlebaran bersama.


Bahkan, tidak hanya masyarakat yang berlebaran. Presiden Gus Dur juga menerima orang yang berdemo. Sebagai perangkat presiden, tentu ia menemukan hal baru yang tidak didapati pada masa kepresidenan sebelumnya. Maklum, Priyo sudah mengabdi di istana sejak tahun 1986.


2. Fatwa dan Canda Gus Dur

Buku kedua ini memuat perjalanan penulisnya, KH Maman Imanulhaq, bersama Gus Dur ke berbagai tempat dan acara. Di buku ini, pembaca tidak hanya akan mendapati peristiwa-peristiwa begitu saja, tetapi juga dilengkapi dengan uraian-uraian Gus Dur yang sangat argumentative mengenai hal tertentu berlandaskan pandangan para ulama.

 

Misalnya, Kang Maman menceritakan pertemuan Gus Dur dengan PRA Arief Natadiningrat, Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon. Dalam pertemuan itu, Gus Dur menjelaskan adagium Kanjeng Sunan Syarif Hidayatullah, yaitu “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”.


Kang Maman juga mengisahkan Gus Dur yang selalu meminta Ajengan KHQ Ahmad Syahid Cicalengka untuk memanjatkan doa dalam berbagai acara. Bagi Gus Dur, Ajengan Syahid merupakan seorang Ahlul Qur’an yang dapat mendatangkan syafaat bagi pendengarnya.


3. Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Buku ini ditulis oleh KH Husein Muhammad, salah seorang yang banyak berinteraksi dengan Gus Dur. Dua buku ini merupakan buku yang sama. Hanya saja beda terbitan, yang pertama diterbitkan LKiS pada tahun 2012, sedang yang kedua diterbitkan Diva Press pada tahun 2019.


Mulanya, Kiai Husein mengaji dan mengkaji kitab Uqudullujain fi Huquqiz Zaujain karya Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani. Kitab ini dikaji bersama Nyai Sinta Nuriyah. Kemudian, dari situ, ia banyak bertemu dan melihat keseharian Gus Dur.


Pengkajian yang sampai larut malam membuatnya kerap menginap di Ciganjur. Ia kerap mendapati Gus Dur baru datang di rumahnya lewat tengah malam dan pukul 04.00 pagi sudah tak lagi di rumah. Di waktu tersebut, Kiai Husein selalu mendengar lantunan suara merdu para qari. Hal itu memang permintaan Gus Dur sendiri, begitu kata Nyai Sinta.


Kiai Husein juga kerap mendapati Gus Dur tidur di mana saja, tidak peduli tempat harus senyaman apa. Di sinilah, Kiai Husein menaruh penafsirannya dan mengaitkannya dengan berbagai rujukan literatur yang kuat.


Ya, Kiai Husein menuliskan berbagai kebiasaan dan sikap Gus Dur yang ditemuinya atau dari cerita yang didapatnya. Kemudian, ia memberikan catatan atas hal tersebut dengan referensi pandangan ulama maupun hadis dan Al-Qur'an. Di situlah letak nilai plus dari buku ini.


Dari tiga buku ini, pembaca dapat mengenal sosok Gus Dur dari berbagai sisi dengan beragam perspektif penulisnya. Masing-masing menuliskan pengalamannya yang berbeda dengan latar belakang mereka juga yang tidak sama.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad