Pustaka

Al-Futuhatul Madaniyah, Kitab Cabang Keimanan Karya Syekh Nawawi Banten

Rab, 12 April 2023 | 15:00 WIB

Al-Futuhatul Madaniyah, Kitab Cabang Keimanan Karya Syekh Nawawi Banten

Ilustrasi: Al-Futuhatul Madaniyah Syarhus Syu’abul Imaniyah, karya Syekh Nawawi (NU Online - Ahmad Muntaha AM).

Di antara sekian banyak karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar—ulama besar berdarah Banten yang sukses mengharumkan nama Nusantara di tengah para ulama dunia di Makkah—adalah Kitab Al-Futuhatul Madaniyah. Karya yang menggunakan teks minimalis, namun gelombang maknanya sangat kuat. Bahkan, dapat disebut bahwa Al-Futuhatul Madaniyah adalah air yang tiada memiliki riak suara. Tetapi jika benar-benar memasuki kedalamannya, jarang yang mampu kembali ke permukaan. 
 

Lantaran, kitab ini adalah syarah atau uraian atas Kitab As-Syu’abul Imaniyah yang juga buah karya Syekh An-Nawawi sendiri. As-Syu’abul Imaniyah, berarti cabang-cabang iman. Seperti namanya, ia berisi sebanyak 78 cabang iman. Di mana, dari 78 cabang ini, muatannya terkait bagaimana menjalin hubungan baik dengan Allah, hubungan yang harmonis secara sosial, ramah kepada seluruh binatang, saleh secara ekologis, dan berbuat baik kepada seluruh makhluk Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan kepada bebatuan sekalipun. 
 

 

Sekilas Penulis Al-Futuhatul Madaniyah

Para pelajar muslim atau para santri lebih khususnya, terutama yang berasal dari bumi Nusantara, akhir-akhir ini kerap keliru dalam menggelari dua ulama besar bermazhab Syafi’i yang karib disapa Nawawi. Yaitu Imam An-Nawawi dan Syekh Nawawi. Keduanya sama-sama berhasil mengukir wajah intelaktual Islam—di zamannya masing-masing—lewat banyak karyanya. Tidak hanya itu, para ulama berkualitas yang lahir dari rahim intelektual keduanya, juga memiliki pengaruh besar terhadap peradaban Islam masa itu.
 

Karena kedua nama tersebut sama-sama berpengaruh, maka generasi demi generasi berikutnya perlu menciptakan gelar untuk membedakan keduanya dengan mudah. Kendati sebenarnya kedua gelar pembeda ini tidak baku. Tetapi diakui, kedua gelar ini sangat diperlukan. Cara membedakannya, Jika nama yang disebut adalah Imam An-Nawawi, tentu yang dimaksud adalah Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Damasyqi (631-676 H/1233-1277 M), penulis Syarhu Shahih Muslim, Syarhu Shahih Bukhari, Riyadhus Shalihin, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, dan lain sebagainya.
 

Tetapi jika yang disebut adalah Syekh Nawawi, jelas maksudnya adalah Syekh Nawawi Al-Bantani bin Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Ki Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Tajul Arsyi alias Pangeran Sunyararas bin Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Dialah penulis kitab Nashaihul ‘Ibad, Maraqil ‘Ubudiyah, Nihayatuzzain, Al-Futuhatul Madaniyah, dan yang lainnya.
 

Syekh Nawawi, atau Kiai Nawawi Banten lahir di kampung bernama Tanara, Serang, Banten pada 1230 H/1813 M. Tahun yang sangat menyedihkan bagi Kesultanan Banten. Karena pada tahun tersebut Kesultanan Banten dilenyapkan oleh kompeni dan diubah menjadi kadipaten yang berada di bawah kendali residen yang dijabat oleh Belanda.
 

Nama Muhammad Nawawi adalah pemberian dari ayahnya, Kiai Umar. Ia menamai putranya Nawawi, berharap mendapat kesuksesan dan keberuntungan sebagaimana Imam An-Nawawi, ulama yang karya-karyanya selalu habis dibaca kiai Umar. Benar saja, harapan tersebut terkabul. Sehingga lahirlah seorang ulama pengharum nama Nusantara di tanah Hijaz, Syekh Nawawi Al-Bantani. Dialah Syaikhul Masyayikh, gurunya para guru ulama di Nusantara.
 

Di antara santri-santrinya, Syekh Zainuddin bin Badawi As-Sumbawi (Sumbawa, NTB), Syekh Abdul Ghani bin Shubuh Al-Bimawi (Bima, NTB), Syekh Abdul Hamid Al-Qudsi (Kudus, Jawa Tengah), Syekh Ahmad Khatib Al-Minagkabawi (Minangkabau), Syekh Mahfudz At-Tarmasi (Termas), Syekh Abdul Karim Al-Bantani (Banten), Syekh As’ari Al-Baweani (Bawean, Jawa Timur), dan Syekh Abdul Karim As-Sambasi (Sambas, Kalimantan). Santri-santrinya ini meneruskan perjalanan gurunya yang menjadi pengajar di Masjidil Haram. 
 

Selain itu, ada juga yang kembali ke kampung halaman, dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Wasith Al-Bantani, Kiai Arsyad Thawil Al-Bantani, Kiai Shaleh Darat Semarang, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Umar bin Harun Sarang, dan yang lainnya.
 

 

Kitab Al-Futuhatul Madaniyah

Al-Futuhatul Madaniyah Syarhus Syu’abul Imaniyah termasuk salah satu karya Kiai Nawawi Banten dalam bidang tasawuf. Al-Futuhatul Madaniyah adalah syarah yang sangat padat makna dan sarat hikmah. Ajaran-ajaran di dalamnya bagai tekstur air, sehingga mampu menembus relung kalbu setiap pembacanya. Kitab ini juga menyimpan energi kajian yang dahsyat. Ia seperti ombak yang bisa menenggelamkan siapa saja di kedalaman maknanya. Wajar, kitab ini merupakan inti sari dari kitab An-Nuqayah karya Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As-Suyuthi dan Al-Futuhat Ml-Makkiyah karya Syekh Muhammad bin Ali, atau yang karib dikenal Imam Muhyiddin Ibnu Arabi.
 

Karena itu, pada mukadimah Al-Futuhatul Madaniyah, Syekh Nawawi menulis:
 

هذا شرح لطيف على شعب الإيمان أخذته من النقاية للسيوطي ومن الفتوحات المكية لسيد الشيخ محمد بن علي المعروف بمحي الدين إبن عربي وسيته الفتوحات المدنية في الشعب الإيمانية. والله أسأله الإعانة والهداية
 

Artinya, “Kitab ini adalah penjelas yang halus atas Kitab Syu’abul Iman, yang saya ambil dari muatan mutiara kitab An-Nuqayah karya aA-Suyuthi dan kitab Al-Futuhatul Makkiyah karya Syekh Muhammad bin Ali yang dikenal dengan Muhyiddin Ibnu Arabi. Saya menamai kitab ini Al-Futuhatul Madaniyah fis Syu’abil Imaniyah. Semoga Allah senantiasa memberi pertolongan dan petunjuk.” Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab


 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB.