Pustaka

Mengenal Tafsir Al-Baidhawi: Induk 300 Kitab Tafsir Lainnya

Sen, 12 Februari 2024 | 10:00 WIB

Mengenal Tafsir Al-Baidhawi: Induk 300 Kitab Tafsir Lainnya

Ilustrasi: Cover kitab Tafsir Al-Baidhawi (NU Online - Ahmad Muntaha AM).

Imam Al-Baidhawi mempunyai nama lengkap Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidhawi. Beliau dilahirkan di Baidha', sebuah daerah yang berdekatan dengan kota Syiraz di lran Selatan. Di kota inilah Al-Baidhawi tumbuh dan berkembang, menempa ilmu di tempat tersebut dan di Baghdad, hingga kemudian menjadi hakim agung di Syiraz mengikuti jejak ayahandanya.

 


Imam Al-Baidhawi adalah seorang ulama yang memiliki pengetahuan cukup luas, bukan hanya dalam bidang tafsir saja, melainkan juga dalam bidang ushul fiqih, fiqih, teologi, nahwu, manthiq, dan sejarah. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya karya-karya beliau dari berbagai disiplin ilmu tadi.

 

Dari berbagai macam karya beliau, kitab tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Al-Baidhawi yang menjadi karya masterpiecenya. (Muhammad Husain Ad-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, [Beirut, Darul Fikr: 1976 M], juz I, halaman 203).

 

Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir Al-Baidhawi

Dalam mukadimah tafsirnya, Al-Baidhawi menyatakan dua alasan yang mendesaknya untuk menuliskan karya tafsirnya ini. Pertama, bagi beliau tafsir dianggap sebagai ilmu tertinggi di antara ilmu-ilmu agama yang lain. Kedua, melaksanakan apa yang diniatkan sejak lama yang berisi tentang pikiran-pikiran terbaiknya.

 

Ketika Imam Al-Baidhawi merasa telah mampu melakukan cita-citanya itu, kemudian ditulislah kitab tafsir Anwarut Tanzil tersebut. Dalam penulisan tafsirnya, Al-Baidhawi memperoleh bimbingan dari gurunya, Syekh Muhammad Al-Kahta'i, ulama yang menyarankan Imam Al-Baidhawi untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim agung. 

 

Penulisan kitab tafsir ini pun dilakukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar. (Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Surabaya, Al-Haramain], halaman 4-6).

 

Sumber Penafsiran Kitab Tafsir Al-Baidhawi

Dalam mukadimah Imam Al-Baidhawi mengemukakan bahwa ada dua macam sumber yang digunakan oleh beliau sebagai rujukan dalam menulis kitab tafsirnya. 

 

Pertama, komentar dari para sahabat, tabi'in dan para ulama salaf yang termasuk dalam periode formatif. Kedua, komentar yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir sebelum Imam Al-Baidhawi. (Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil, halaman 4-6).

 

Sistematika Penyusunan dan Penulisan Kitab Tafsir Al-Baidhawi

Dari segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari dua jilid ini diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentang kemu'jizatan Al-Qur'an, signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. 

 

Di akhir kitab tafsirnya ini, Imam Al-Baidhawi berupaya untuk "mempromosikan" keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkat dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pembaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini.

 

Adapun sistematika penulisan, beliau dalam menuliskan tafsirnya dengan menjelaskan tempat turunnya surat (Makki atau Madani) dan jumlah ayat dari surat yang sedang ditafsirkan tersebut terlebih dahulu. 

 

Setelah itu, Imam Al-Baidhawi menjelaskan makna ayat satu per satu, baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadits-hadits Nabi maupun qira'at. Di akhir hampir setiap surat, beliau menyertakan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja ditafsirkan tersebut.

 

Misal berikut adalah kutipan dari kitab Tafsir Al-Baidhawi saat menafsirkan surat Al-Fatihah ayat 6:

 


وهداية الله تعالى تتنوع أنواعًا لا يحصيها عد كما قال تعالى: وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لاَ تُحْصُوها ولكنها تنحصر في أجناس مترتبة: الأول: إفاضة القوى التي بها يتمكن المرء من الاهتداء إلى مصالحه كالقوة العقلية والحواس الباطنة والمشاعر الظاهرة. الثاني: نصب الدلائل الفارقة بين الحق والباطل والصلاح والفساد وإليه أشار حيث قال: وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ وقال: وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى. الثالث: الهداية بإرسال الرسل وإنزال الكتب، وإياها عنى بقوله: وَجَعَلْناهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنا وقوله: إِنَّ هذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ. الرابع: أن يكشف على قلوبهم السرائر ويريهم الأشياء كما هي بالوحي، أو الإلهام والمنامات الصادقة، وهذا قسم يختص بنيله الأنبياء والأولياء وإياه عنى بقوله: أُولئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُداهُمُ اقْتَدِهْ. وقوله: وَالَّذِينَ جاهَدُوا فِينا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنا

 

Artinya, "Hidayah Allah bermacam-macam tak terhitung jumlahnya, sebagaimana firman Allah Surah Ibrahim: 34 yang berbunyi, وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لاَ تُحْصُوها  (Kalau engkau menghitung-hitung nikmat Allah niscaya engkau tidak akan bisa menghitungnya). Akan tetapi hidayah Allah terangkum dalam beberapa jenis berikut, secara berturut-turut:

  1. Menguasakan kekuatan yang membantu seseorang mencapai kemaslahatannya, seperti kekatan pikiran (akal), perilaku batin, indera lahiriah. 
  2. Memberikan bukti-bukti yang memisahkan antara hak dan batil, antara kebaikan dan kerusakan, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam Surah al-Balad: 10, وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ  (Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan) dan firman-Nya Surah Fushilat: 17, yang berbunyi,  وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى (Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka tetah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari pada petunjuk itu).
  3. Hidayah dengan mengutus rasul dan menurunkan kitab, sebagaimana firman Allah Surah al-Anbiya’: 73 yang berbunyi, وَجَعَلْناهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنا  (Kami telah menjadikan mereka itu pemimpin-pemimpin yang menberikan petunjuk dengan perintah Kami), dan firman-Nya Surah al-Isra’: 9, yang berbunyi, إِنَّ هذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ (Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus). 
  4. Membukakan hati akan rahasia dan memberi tahu akan sesuatu seperti melalui wahyu, ilham, dan mimpi yang benar. Ini rnerupakan bagian yang khusus diperoleh oleh para nabi dan para wali, sebagaimana firman Allah Surah al-An’am: 90 yang berbunyi, أُولئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُداهُمُ اقْتَدِهْ (Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka), dan firman-Nya dalam Surah al-‘Ankabut: 69 yang berbunyi, وَالَّذِينَ جاهَدُوا فِينا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنا (Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari [keridhaan], Kami benar-benar akan tunjukkan mereka jalan-jalan Kami).
 

Corak Tafsir Al-Baidhawi

Adapun corak Tafsir Al-Baidhawi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus menggunakan satu corak yang spesifik secara mutlak, misalnya bercorak fiqih saja, bercorak lughawi, adabi wa ijtima’i, falsafi saja, atau yang lainnya. 
Namun, meski demikian, secara garis besar tafsir ini cenderung mengandung tiga corak, yakni corak fiiqih, ‘ilmi, dan lughawi.

  1. Mengandung corak fiqih. Tafsir ini dikatakan mengandung corak fiqih karena beberapa penafsirannya cenderung  memperhatikan  ayat-ayat hukum (ayat  ahkam) yang  terdapat dalam ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan berdasar pada fiqih.
  2. Mengandung corak ‘ilmi. Tafsir ini disebut sebagai tafsir yang mengandung corak ‘ilmi karena penafsiran di dalamnya banyak memberi perhatian pada ayat-ayat kauniyyah (alam semesta)  yang ada dalam Al-Qur’an dan mengaitkannya dengan ilmu  pengetahuan modern. Saat menjumpai ayat-ayat kauniyyah, Imam Al-Baidhawi tak akan melewatkannya begitu saja, beliau pasti akan memberikan penjelasan yang panjang lebar mengenai ayat ini.
  3.  Mengandung corak lughawi. Pendekatan bahasa (lughawi) menjadi suatu yang urgen dalam setiap penafsirannya. Dalam hal ini, Imam Al-Baidhawi menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, menjelaskan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan oleh beliau untuk menguraikan maknanya.
 

Komentar Ulama terhadap Tafsir Al-Baidhawi

Kitab Tafsir Al-Baidhawi memperoleh perhatian tersendiri dari para ulama. Hal ini antara lain terbukti dari demikian banyaknya hasyiyah yang memberikan catatan dan komentar terhadap kitab tafsir tersebut. 

 

Penelitian yang dilakukan oleh al-majma' al-malaki telah menemukan lebih dari 300 hasyiyah yang mendasarkan komentarnya pada Tafsir Al-Baidhawi. Suatu perhatian yang luar biasa. Belum lagi banyak terjemahan-terjemahan ke dalam berbagai bahasa yang dilakukan terhadap tafsir tersebut. (Carverley, A-Baidhawi’s Matali’ al-Anzar: A Systemic Theologhy of Islam dalam Muslim World 53, [1963], halaman 293).

 

Terlepas dari banyaknya hasyiyah tersebut, kitab Tafsir Al-Baidhawi memperoleh tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan. Sebagian memberikan penilaian yang bernada memuji, sementara sebagian yang lain memberikan penilaian yang cenderung negatif. 

 

Kebanyakan yang memberikan komentar terhadap Tafsir Al-Baidhawi ini beranggapan bahwa Al-Baidhawi merangkumnya dari kitab tafsir yang lain, khususnya dari kitab Al-Kasyaf karya Az-Zamakhsyari.

 

Haji Khalifah dalam kitabnya Kasyfu Dzunun rnemberikan komentar bahwa kitab Tafsir Al-Baidhawi merupakan kitab yang sangat penting dan kaya akan penjelasan. Selain itu, menurut beliau, kitab ini merupakan rezeki dari Allah swt yang diterima dengan baik oleh para ulama, mereka mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiah terhadapnya. (Haji Khalifah, Kasyfu Dzunun, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M], juz III, halaman 198).

 


Muhammad Husain Ad-Dzahabi menyatakan bahwa kitab Tafsir Al-Baidhawi merupakan salah satu kitab induk di antara berbagai kitab tafsir, yang tidak selayaknya disepelekan oleh mereka yang ingin memahami firman Allah swt, dan menelaah rahasia-rahasia dan maknanya. (Ad-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, juz I, halaman 303-304).


    
Identitas Kitab

Judul: Anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Tafsirul Baidhawi)
Penulis: Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidhawi (w. 685 H)
Penerbit: Darul Ihya’ lit Turats
Kota Terbit: Beirut
Tahun Terbit: 1418 H
Pentahqiq: Muhammad Abdurrahman Al-Mar’asyli

​​​​​​​

M Ryan Romadhon, Alumni Ma'had Aly Al-Iman Bulus Purworejo