Risalah Redaksi

Bahasa Sebagai Wajah Bangsa

Sel, 29 April 2008 | 13:14 WIB

Setiap bangsa berusaha menunjukkan keungglan bangsanya dengan menulis berbagai karya, baik sastera maupun ilmu pngetahuan dengan bahasa setepat-tepatnya dan seindah-indahnya. Mereka berpacu dengan bangsa lain atas keunggulan dan keindahan bahasanya, sebab bahasa sebagai simbol kemajuan dan keluhuran bangsa. Karena itulah dalam mempelajari karya sastra mereka mesti mepelajari bahasa dengan baik, karena karya semacam itu tidak ditulis dalam bahasa pasar, tetapi ditulis dalam bahasa resmi, itupun dipilih yang paling unggul.

Dalam bangsa Nusantara awal di Jawa khususnya walaupun bahasa Jawa telah berkembang pesat sebagai linguafranca antar kelompok di kawasan ini. Tetapi ketika mereka menuliskan karya sastra masih menulis dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno), bahkan masih dicampuri Sansekerta. Karena itu karya sastra Jawa yang besar-besar seperti Mahabharata, Arjuna Wiwaha, Sutasoma dan seterusnya disebut dengan kekawian (kakawin), karena ditulis dalam bahasa Kawi. Memilih bahasa yang unggul ini untuk menunjukkan keunggulan bangsa Nusantara.<>

Demikian hanya dengan kesusasteraan Indonesia modern ditulis dalam bahasa Indonesia formal, yang tidak hanya mencerminkan keindahan dan ketinggian bahasa, tetapi juga mencerminkan ketinggian moral dan peradaban. Dengan cara itu bangsa Indonesia dididik untuk berbicara dengan bahasa baik dan benar, karena ini bahasa yang tepat dan sopan. Bahasa dalam karya sastra ini tercermin tidak hanya dalam bahasa dalam drama dan film nasional, tetapi juga tercermin dalam bahasa dalam ilmu pengetahuan.

Ini jauh berbeda dengan apa yang berlaku sekarang, di masa transisi atau masa pancaroba ini. Karya sastra yang merupakan cermin penciptaan bahasa unggul, berjalan sebaliknya, karya yang ditulis pada zaman reformasi yang penuh pancaroba ini mengalami kehilangan kemampuan berbahasa. Karya ini tidak lagi menggunakan bahasa resmi yang estetik dan etis, tetapi menggunakan bahasa yang sangat pragmatis dan vulgar. Akhirnya karya ini tidak hanya dangkal tetapi juga menggunakan bahasa yang sangat kasar, tidak hanya untuk ukuran karya sastra, untuk bahasa pasarpun masih terasa kasar.

Dari hampir karya sastra yang lahir dalam zaman ini merupakan karya picisan, baik yang berlatar belakang pendidikan maupun keagamaan. Bahkan kelihatan ironis di pinggiran jalan banyak papan yang tertulis mengajak untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi banyak juga papan iklan baik iklan layanan yang dikeluarkan pemerintah maupun ormas dan termasuk papan iklan komersial menggunakan bahasa prokem.

Lahirnya karya sastra yang vulgar dan picisan ini tidak hanya mengakibatkan masyarakat kehilangan ruang refleksi, ruang hiburan yang menyentuh kalbu, tetapi akhirnya masyarakat juga kehilangan harga diri dihadapan bangsa lain, karena kita berbahasa begitu rendah, begitu tidak teratur, dan susah dipahami. Ini sangat terasa bagi para diplomat dan pengajar bahasa Indonesia di luar negeri. Ketika mereka memperkenalkan budaya Indonesia dengan bahasanya melalui karya sastra dan film, sangat berbeda dengan yang mereka ajarkan dan yang mereka anjurkan.

Di dalam karya sastra dan film tidak ada bahasa Indonesia, tetapi menggunakan bahasa Jakarta yang merupakan bahasa prokem, bahasa gaul yang hanya dimengerti oleh komunitas itu. Dan bahasa yang penuh akronim, inipun sangat temporal. Maka diplomasi kebudayaan yang pernah digagas itu menjadi mandek, karena bahasa sebagai sarana telah tidak bisa digunakan. Hilangnya kesadaran nasional membuat semuanya kacau, tidak hanya sistem politik, dan ekonomi, tetapi juga merasuk ke kawasan budaya yaitu bahasa. Karya zaman ini memang dibuat oleh para anak kota yang baru gede, yang tidak memahami realitas, mereka kelompok hedonis yang mencoba berkarya, hasilnya sangat buruk, tetapi karena didukung oleh media maka menjadi popular, bukan karena baiknya tetapi karena promosi.

Melihat kenyataan ini maka bangsa ini harus diingatkan lagi tentang pentingnya pengembangan bahasa Indonesai yang baik, karena ini mencerminkan tingkat peradaaban kita, dan bahasa juga menuntun sikap kita. Bangsa yang rendah kesadaran budayanya biasanya bahasanya juga miskin dan dangkal. Sementara bangsa yang tinggi peradabannya biasanya tercermin dalam mereka berbahasa. Merosotnya peradaban bangsa ini tercermin kemerosotan dalam berbahasa, juga tercermin dalam etika sosialnya. Karena itu bisa dimengerti kalau kalangan seniman itu menuntut agar tidak diberlakukan batasan moral dalam berkarya. Ini artinya mereka tidak mengindahkan estetika dalam berbahasa, dan juga tidak membutuhkan etika dalam bertindak.

Bagaimanapun bahsas adalah sarana berpikir dan sarana berkomunikasi. Memperbaiki cara berpikir harus diiringi dengan memperbaiki bahasa sehingga bahasa Indonesia tidak hanya menjadi bahasa pengantar, tetapi bisa menjadi bahasa filsafat dan bahasa ilmu pengetahuan. Menjadikan bahasa sebagai bahasa filsafat dan pengetahuan berarti harus mengembangkan bidang itu baru setelah itu dibutuhkan bahasa itu agar bisa menjadi sarana yang pas untuk mewadahi pemikiran yang dikembangkan.

Karena selama ini kreativitas dibidang keilmuan nyaris berhenti, walaupun setiap tahun ribuan sarjana lahir, tetapi tidak melakukan pembaruan di bidang ilmu pengetahuan. Sementara yang dilakukan hanyalah menelan dan meniru dari pengetahuan dari bangsa lain, maka bahasa yang lahirpun bahasa negara lain. Dalam bidang ilmu pengetahuan tidak ada istilah baru, dalam khazanah teknologi juga tidak muncul istilah baru dalam bahasa Indonesia. Rupanya kita malas berinovasi dalam bidang teknologi, juga sekaligus malas melakukan inovasi dalam bahasa Indonesia. Akibatnya separuh dalam bahasa yang kita tulis dalam bidang apapun telah tercampur sedemikian banyak bahasa asing, mulai menggeser bahasa sendiri. Kalau orang lain melihat bahasa yang gado-gado tanpa pola ini ini akan terasa sangat lucu dan aneh.

Padahal bahasa Indonesia merupakan bahasa dunia yang sangat baik dibanding bahasa resmi internasional. Dalam perjalanannya bahasa Indonesia mampu memperbaiki diri secara pesat sehingga sangat efektif dan efisien dan sekaligus mudah dipelajari. Tetapi sekarang kondisinya sudah lain, telah mengalami kekacauan, karena bangsa penggunanya telah kehilangan karakter, kehilangan identitas dan harga diri. Lalu dengan alasan itu mereka meninggalkan bahasa ini pindah ke bahasa asing, ini yang dilakukan beberapa sekolah unggulan sehingga menggunakan bahasa Indonesia dianggap pelanggaran, mereka dihukum oleh sekolah.

Bahasa perlu dikembalikan lagi sebagai identitas bangasa, setiap bangsa memerlukan identitas dan karakter agar bisa menentukan pikiran dan tindakannya sendiri. Bila telah mampu menentukan pikiran, selera dan tindakannya mereka bisa menentukan masa depannya sendiri. Bahasa sebagai identitas bangsa memerlukan penegasan kembali sebelum bahasa ini pudar disapu arus internasionalisasi baik lewat sekolah maupun lewat pergaulan sosial. Ini perlu diusahakan karena menyangkut eksistensi bangsa ini secara keseluruhan. (Abdul Mun’im DZ)