Risalah Redaksi

Harapan Baru dari Deklarasi Grand Syekh Azhar dan Paus Fransiskus

Ahad, 10 Februari 2019 | 11:45 WIB

Pertemuan bersejarah antara Grand Syekh Azhar Ahmed al-Thayeb dan Paus Fransiskus di Uni Emirat Arab (UEA) pada Senin (4/2) yang menandatangani Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan memberi harapan baru atas hubungan antarumat beragama yang sebelumnya mengalami banyak persoalan. Agama-agama yang sesungguhnya mengajarkan perdamaian masih saja ada yang menggunakannya, sekalipun minoritas, sebagai alat pemberi legitimasi dalam melakukan kekerasan. Tindakan tersebut, secara keseluruhan tetap saja mencoreng nama baik agama. 

Satu bagian penting dari deklarasi tersebut berbunyi: “Semua pihak agar menahan diri menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme dan penindasan. Kami meminta ini berdasarkan kepercayaan kami bersama pada Tuhan, yang tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau berperang satu sama lain, tidak untuk disiksa atau dihina dalam kehidupan dan keadaan mereka. Tuhan, Yang Maha Besar, tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin Nama-Nya digunakan untuk meneror orang.”

Islam dan Nasrani adalah dua agama dengan jumlah pemeluk terbesar di dunia dan ajarannya tersebar paling luas. Keduanya adalah agama samawi atau agama yang diturunkan dari langit yang jejaknya bisa ditelusuri sampai ke nabi-nabi terdahulu. Ada dinamika panjang hubungan antara dua agama ini sejak kelahirannya, di antaranya adalah Perang Salib yang berlangsung lama dan memakan banyak korban nyawa dan harta benda.

Ketika kedua pemimpin yang sangat berpengaruh dalam masing-masing agama tersebut menyatakan kesepakatan, ada harapan besar bahwa hal tersebut juga dapat ditindaklanjuti umatnya masing-masing pada seluruh tingkatan. Paus merupakan pemimpin geraja Katolik yang memiliki struktur organisasi rapi dengan jejaring sampai ke tingkat bawah. Syekh Azhar memiliki pengaruh bukan hanya di Mesir, tetapi juga di dunia Islam Sunni pada umumnya. Pendapatnya menjadi pertimbangan banyak ulama di dunia mengingat otoritas Al Azhar yang sudah mengakar lama dan diakui kredibilitasnya. 

Namun, harus kita sadari bahwa deklarasi saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang ada. Kesepakatan tersebut merupakan langkah awal untuk membangun kepercayaan dan tindakan-tindakan selanjutnya. Berapa banyak deklarasi yang sudah ditandatangani oleh para tokoh agama, tetapi kekerasan atas nama agama tetap saja berlangsung. Tingkat kemendesakan untuk mencegah kekerasan semakin tinggi mengingat kekerasan era kini memiliki dampak yang lebih kejam dibandingkan dengan masa lalu seiring dengan kecanggihan mesin perang yang mampu membunuh semakin banyak orang dalam sekejap. Ada sekitar 500 ribu jiwa meninggal karena konflik di Irak. Jumlah yang sama juga terjadi akibat peperangan di Suriah. 

Dampak kekerasan yang ditimbulkannya juga semakin luas ketika dunia semakin menyatu. Konflik yang terjadi di suatu daerah kini menjadi masalah di tempat lain. Negara-negara yang tidak mengalami konflik, ikut menanggung akibatnya dengan banjirnya pengungsi yang berusaha menyelamatkan diri untuk mencari daerah aman. Atau kekerasan yang diakibatkan oleh orang-orang yang berasal dari daerah konflik.

Kesepakatan kedua tokoh agama berpengaruh ini tentunya menjadi angin segar peningkatan hubungan antaragama. Kemudahan transportasi menyebabkan semakin tingginya pluralitas keyakinan. Pada satu komunitas, agama atau keyakinan yang homogen, sebagaimana era-era sebelumnya ketika banyak wilayah masih terisolasi atau menutup diri dari luar, sudah menjadi masa lalu. Di Eropa ada masalah islamophobia yang menyebabkan umat Islam kesulitan mengekspresikan identitas keagamaannya. Mungkin juga di negara-negara Muslim tertentu, umat non-Muslim mengalami hal yang sama.

Dengan deklarasi di UEA tersebut, kini saatnya kerjasama dan saling pengertian antaragama dapat terus ditingkatkan dan secara bersama-sama meningkatkan peran memperjuangkan perdamaian di dunia yang kini semakin kompleks dan rentan dengan berbagai persoalan baru. Banyak persoalan di dunia membutuhkan kerjasama antarpihak yang berkepentingan. Masing-masing pihak tak lagi dapat menganggap bisa bekerja secara individual dengan caranya dan pendekatannya sendiri. 

Bahkan agama bukan hanya perlu bereaksi dengan menyelesaikan persoalan yang sudah ada, tetapi mengantisipasi kemungkinan munculnya persoalan-persoalan baru akibat perkembangan teknologi yang sedemikian cepat ini, yang di satu sisi memudahkan hidup manusia tetapi di sisi lain, mengancam eksistensi manusia ketika banyak peran yang dulu dilakukan pekerja diambil alih oleh mesin. Ada dampak-dampak yang mungkin belum tentu terpikirkan yang mengancam kemanusiaan itu sendiri. Ada banyak poin dalam Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan tersebut yang menunjukkan kompleksitas permasalahan yang di hadapi dunia saat ini.

Masing-masing agama meyakini kebenaran ajaran yang dipeluknya, tetapi bukan berarti atas nama agama tuhan yang diyakininya, bisa membunuh manusia lain. Kita bisa belajar dari masa lalu terkait dengan perang dalam aliran dalam satu agama atau perang antaragama. Saatnya, ketika dunia telah menjadi sebuah desa global, agama mengambil peran lebih persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Grand Syekh Azhar Al Thayeb dan Paus Fransiskus telah memulainya. Kini saatnya kita menindaklanjutinya. NU bahkan sebelumnya telah menginisiasi persaudaraan serupa sebagai ukhuwah wathaniyah. Semangat-semangat serupa sesungguhnya juga telah diinisiasi oleh para tokoh agama di banyak tempat di dunia. Saatnya momentum besar tersebut kita rangkai menjadi gerakan bersama menuju dunia yang lebih damai. (Achmad Mukafi Niam)