Risalah Redaksi

Larangan Mudik dan Inkonsistensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19

Ahad, 11 April 2021 | 12:15 WIB

Larangan Mudik dan Inkonsistensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19

Pandemi ini merupakan persoalan bersama yang membutuhkan disiplin dan kesadaran bersama untuk menyelesaikannya.

Pemerintah secara resmi menerbitkan aturan larangan mudik Lebaran 2021 dengan alasan bahwa selama libur panjang, selalu terjadi peningkatan kasus Covid-19. Masyarakat yang ingin mudik akhirnya harus memendam rasa kecewa tidak bertemu sanak saudara pada Idul Fitri 1442 H. Namun di sisi lain, pemerintah membuka tempat pariwisata. Masyarakat difasilitasi berpiknik, bukan bersilaturahim dengan keluarga. Terkesan dalam kebijakan ini, kepentingan ekonomi mengalahkan kepentingan sosial religius.


Masyarakat yang tidak dapat mudik akhirnya akan pergi di tempat wisata. Apa pun itu, berkumpulnya orang dalam jumlah banyak di satu tempat akan  meningkatkan risiko penularan Covid-19. Jika mudik berpotensi menimbulkan transmisi dari luar daerah, maka tempat wisata berpotensi menjadi tempat penularan di satu wilayah. Tak ada jaminan bahwa di tempat pariwisata, pengunjung mematuhi protokol kesehatan.


Pelarangan mudik ini jelas-jelas telah membuat sektor transportasi menjerit karena mereka dilarang membawa penumpang selama 12 hari pada 6-17 Mei 2021 sementara mereka harus membayar tunjangan hari raya (THR) atau cicilan kendaraan. Mereka merasa diperlakukan tidak adil dengan sektor wisata. 


Libur panjang terbukti meningkatkan kasus Covid-19. Berdasarkan data dari Satgas Penanganan Covid-19, pada libur Idul Fitri 22-25 Mei 2020, kasus positif naik 69-93 persen. Lalu pada libur HUT RI 15-17 Agustus 2020, kasus positif naik 58-188 persen. Demikian pula pada libur akhir tahun, terjadi peningkatan kasus pada dua pekan berikutnya di Januari 2021. Jubir Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, pada bulan-bulan tanpa libur panjang, jumlah kematian adalah 50-900 kasus. Namun, pada bulan dengan libur panjang, jumlah kematian melonjak menjadi 1.000-2000 kasus.


Jika merujuk pada pengalaman kegagalan dalam mencegah masyarakat mudik pada Idul Fitri tahun 2020 dengan terjadinya peningkatan kasus Covid-19 dan pemerintah masih menggunakan strategi yang sama, maka kemungkinan tingkat kegagalannya semakin besar mengingat masyarakat semakin abai.


Berdasarkan pengalaman larangan mudik tahun 2020, banyak sekali pemudik yang pergi melalui jalan tikus atau menggunakan berbagai cara agar sampai di kampung halaman. Saat itu, Covid-19 baru melanda dan masyarakat secara psikologis masih dalam perasaan takut dengan virus ini. Kini situasinya sudah jauh berbeda. Jalanan di mana-mana sudah macet, berbagai kegiatan dan pekerjaan sudah berjalan. Berbagai pembatasan untuk pencegahan Covid-19 seolah-olah tak lagi berdampak pada aktivitas masyarakat. 


Pendekatan larangan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini terbukti memiliki efektivitas yang rendah. Pemerintah tidak memiliki perangkat dan aparat yang cukup untuk memastikan seluruh protokol kesehatan dipatuhi sementara di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk mematuhi larangan pemerintah semakin rendah. Setahun lebih dalam situasi pendemi membuat mereka lelah. 


Apalagi terdapat keyakinan sebagian orang bahwa Covid-19 ini merupakan konspirasi pihak tertentu sehingga mereka tidak percaya dengan adanya virus ini dan tidak mematuhi protokol kesehatan, sekalipun sudah banyak korban berjatuhan. 


Dengan demikian, kebijakan yang dilakukan adalah bagaimana melakukan pengaturan dan pengendalian, alih-alih pelarangan. Dalam hal ini, maka strategi komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah bagaimana masyarakat sadar dan beraktivitas sesuai dengan protokol kesehatan.


Berbagai panduan dalam beraktivitas sebetulnya sudah diterbitkan oleh instansi pemerintah. Namun sayangnya, sosialisasinya tidak dibuat dengan cara menarik dan masif. Kadang, hanya dalam bentuk surat edaran. Ketika beragam informasi saling berebut perhatian publik, maka cara menyampaikan informasi yang menarik menjadi faktor yang sangat penting dalam keberhasilan penyampaian pesan. Tindakan tegas tetap diperlukan ketika situasi tidak lagi dapat dikendalikan.


Strategi pengaturan dan pengendalian dapat menjadi titik temu dari berbagai kepentingan dalam mengatasi Covid ini. Jika ini berjalan dengan baik, maka kasus baru tetap dapat dikendalikan sementara masyarakat tetap dapat bersilaturahim dengan keluarga dan sektor dunia usaha tetap dapat berjalan. 


Tidak mudah mencapai hal yang ideal dan memuaskan semua pihak. Komunikasi untuk penyadaran masyarakat menjadi hal yang sangat krusial. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengajak media arus utama, influencer, tokoh masyarakat, organisasi massa, dan pihak lain yang memiliki pengaruh ke publik untuk menyampaikan pesan yang sama, untuk menyegarkan kembali pesan menjaga keselamatan bersama.   


Aparat pemerintah berperan dalam mengarahkan masyarakat dengan cara-cara yang persuasif untuk mematuhi protokol kesehatan, bukan lagi sebagai pihak yang mengawasi dan mengancam orang. Para relawan dapat diajak untuk membantu kerja-kerja mereka.


Pandemi ini merupakan persoalan bersama yang membutuhkan disiplin dan kesadaran bersama untuk menyelesaikannya. Selama setahun lebih ini, 42 ribu lebih meninggal dari 1,56 juta kasus. Lebih dari 3,5 juta orang menjadi korban PHK dan dirumahkan. Dampak ikutannya juga lebih besar kepada keluarga yang ditinggalkan, kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan, sekolah yang belum bisa berjalan dengan normal, dan lainnya. 


Beruntung saat ini sudah ada vaksin untuk meningkatkan kekebalan, namun masih dibutuhkan kerja sama banyak pihak untuk menuju pemulihan.  (Achmad Mukafi Niam)