Risalah Redaksi

Mari Kembali ke Persoalan Nyata Umat Islam

Ahad, 16 Juni 2019 | 09:45 WIB

Betapa banyak persoalan sehari-hari umat Islam di Indonesia yang membutuhkan penanganan. Persoalan dasar seperti kemiskinan, kebodohan, atau kesehatan masih membelit kehidupan banyak orang. Mari kita tengok di sekeliling kita, ada berapa banyak orang yang kesulitan ekonomi, ada berapa banyak anak yang kurang mendapatkan pendidikan secara memadai, atau ada berapa banyak orang yang mengalami masalah kesehatan dan perlu mendapatkan dukungan, tentu sangat banyak.

Di tengah persoalan yang sulit tersebut, ternyata kita menghadapi persoalan yang lebih substansial, yaitu umat Islam diarahkan kepada hal-hal yang abstrak yang belum jelas duduk soalnya. Muslim Indonesia termasuk salah satu bangsa yang memiliki keterikatan agama yang sangat kuat. Banyak hal dilihat dari sudut pandang agama. Karena itu, ketika ada hal-hal yang dianggap menyinggung agama, maka secara emosional langsung tergerak untuk membelanya dengan berdemonstrasi. 

Baru-baru ini, isu terkait dengan illuminati dan Dajjal ramai di media sosial terkait dengan keberadaan sebuah masjid di sebuah area peristirahatan jalan tol yang memiliki bentuk unik. Masjid yang didesain oleh Ridwan Kamil, arsitek yang kini menjabat sebagai gubernur Jawa Barat ini dianggap bagian dari gerakan illuminati karena adanya bentuk segitiga. Digunakanlah teori konspirasi atau dalam bahasa Jawa gotak gatik mathuk, yaitu usaha mencocok-cocokkan sesuatu agar terlihat rasional. 

Panduan masyarakat dalam beragama adalah para ulama, kiai, dai, ustadz atau beragam sebutan lain untuk tokoh agama. Yang menjadi pertanyaan, mengapa banyak dai atau ustadz yang dalam ceramah-ceramahnya lebih suka membakar emosi jamaahnya dengan persoalan-persoalan abstrak. Dengan mengatasnamakan membela agama, umat Islam diajak untuk bergerak untuk melakukan sebuah tindakan atau memprotes sesuatu yang remeh-temeh atau hal-hal simbolik belaka. Persoalan muncul salah satunya karena dai atau ustadznya hanya memahami “ilmu agama” sementara pengetahuan lain kurang dipahami dengan baik. Akibatnya, mereka tidak mampu mengeksplorasi persoalan umat dan kemudian melakukan gerakan atau mencarikan solusinya. Atau bisa juga sang ustadz kesukaannya memang membahas hal-hal yang abstrak dan kurang membumi.

Tak mungkin juga memahami semua persoalan masyarakat secara mendetail mengingat sedemikian kompleksnya masalah yang ada. Tak banyak pula orang yang mampu menjadi orator sekaligus mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan sebuah tindakan. Di sini, pentingnya berorganisasi.  Dengan demikian, ada kerja sama dan beragam keahlian yang disinergikan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ceramah yang dilakukan oleh dai tidak lagi menjadi slogan kosong yang segera dilupakan ketika mereka turun dari panggung. 

Para dai yang berafiliasi dengan organisasi seperti Nahdlatul Ulama atau ormas Islam lain tentu memiliki kemungkinan pesan-pesan yang disampaikan akan mewujud dalam sebuah aksi nyata. Lembaga yang berada dalam lingkup organisasi akan melakukan tindakan untuk melaksanakan pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam ceramah tersebut. Sebagai contoh, ketika para kiai NU berceramah tentang masalah pendidikan, maka hal tersebut akan ditindaklanjuti dengan aksi nyata penguatan pendidikan di madrasah, pesantren ataupun sekolah umum.

Dalam sebuah afiliasi organisasi, ceramah yang disampaikan pun tidak asal, tetapi mengacu kepada visi misi atau program kerja organisasi. Dengan demikian, apa yang disampaikan merupakan tindak lanjut dan sosialisasi visi besar yang diterjemahkan pada setiap tingkatan organisasi.  Misalnya, visi besar NU untuk menjaga NKRI menjadi tema umum yang dipahami para dai yang berafiliasi dengan NU yang kemudian disampaikan kepada para jamaah dalam berbagai kesempatan. Dan hal ini mewujud dalam aksi nyata seperti yang dilakukan oleh Ansor, Banser, dan elemen lainnya ketika ada pihak-pihak yang berusaha mengganti kesepakatan bangsa ini. 
 
Dai atau penceramah, sesungguhnya bukanlah pemain tunggal dalam dakwah. Ia harus mampu berkolaborasi dengan pihak-pihak lain agar pesan keagamaan yang disampaikan mampu menjadi aksi nyata bagi umat. Kalau tidak, maka ceramah sekadar menjadi pengingat sekilas akan suatu persoalan dilihat dari perspektif keagamaan atau bahkan sekadar menjadi hiburan karena kelucuan ceramahnya guna melepaskan penat akibat kerja keras. 

Bahkan lebih parah lagi jika menjadi dai sudah diperlakukan sebagai sebuah profesi yang menghasilkan popularitas, uang, pengaruh, atau kekuasaan. Tarif ceramah sudah ditetapkan dengan sejumlah persyaratan lainnya. Kemudian menunjukkan gaya hidup penuh kemewahan dari hasil profesinya tersebut, padahal banyak masyarakat yang mengundangnya mengumpulkan uang dengan cara iuran, demi seorang dai terkenal yang sering muncul di televisi. 

Tak mudah menjalankan peran sebagai seorang dai karena apa yang disampaikannya dapat membuat umat Islam menjadi lebih baik, tetapi juga mampu memprovokasi umat melakukan hal-hal destruktif atas nama agama. Kita tentu telah mengenal siapa saja kiai atau ulama yang ceramahnya menyejukkan dan kemudian menumbuhkan kedamaian. Kita juga telah tahu dai-dai provokatif yang ketika mendengarkan ceramahnya, menjadi terprovokasi untuk membenci pihak lain atau ingin melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Dari situ, sudah seharusnya kita mampu memilih dan memilah mana figur yang layak untuk dijadikan panduan.

Menjadi dai dan kemudian merasa mampu merubah masyarakat hanya dengan ceramahnya merupakan sebuah kesalahan. Saatnya memikirkan bagaimana menciptakan kolaborasi yang produktif dengan berbagai bidang keahlian lainnya. Para dai, dengan kapasitasnya untuk memotivasi massa, para aktivis yang mendampingi masyarakat secara langsung, orang kaya yang menyediakan dananya, para administrator yang mampu mengelola organisasi, dan sejumlah keahlian terkait. Dan penting pula, menjaga niat untuk mensyiarkan ajaran agama, bukan menjadikannya sebagai sebuah profesi untuk sekadar mencari uang. (Achmad Mukafi Niam)