Risalah Redaksi

Membangun Kekuatan Ekonomi NU untuk Pemberdayaan Organisasi

Ahad, 1 Agustus 2021 | 06:00 WIB

Membangun Kekuatan Ekonomi NU untuk Pemberdayaan Organisasi

jika NU memberi perhatian lebih terhadap isu-isu ekonomi, hal ini akan berdampak pada kekuatan NU secara keseluruhan di masa mendatang. Tentu ini adalah pekerjaan berjangka panjang. (Foto: NU Online/M Jauhari Utomo)

China kini menjadi raksasa baru dunia yang mengimbangi tatanan lama yang sebelumnya dikuasai oleh dunia Barat, Eropa dan Amerika Serikat. Pencapaian ini dilalui melalui kebangkitan ekonomi. Dengan uang dan sumber daya yang dimilikinya, China berhasil memperbaiki pendidikan, kesehatan, infrastruktur, termasuk kekuatan militernya. Dengan uang yang dimilikinya, negeri ini juga membangun pengaruh ke negara-negara lain melalui Inisiatif Jalur Sutra Baru (One Belt One Road-OBOR).

 

Amerika Serikat pun tetap menjadi digdaya di dunia karena kekuatan ekonominya, yang mampu membiayai berbagai keperluan untuk mempertahankan hegemoninya, mulai dari riset untuk selalu menjadi yang terdepan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, membantu negara-negara miskin, menyebarkan ideologinya, termasuk membiayai kekuatan militernya yang tersebar di seluruh dunia.

 

Dengan demikian, ekonomi menjadi faktor penentu superioritas sebuah negara. Siapa yang kuat secara ekonomi, dia menjadi negara adikuasa.  

 

Dahulu China merupakan negara besar dengan wilayah yang sangat luas dan penduduk terbanyak sedunia. Namun kemiskinan membuatnya kalah pengaruh dari negara-negara Eropa yang sekalipun jumlah penduduknya tidak banyak dan wilayahnya tidak terlalu luas tapi secara ekonomi masuk kelompok maju. Bahkan, pada tahun 1958-1961, China mengalami bencana kelaparan yang menyebabkan 43 juta orang tewas. Perubahan kebijakan yang lebih berorientasi ekonomi pelan tapi pasti membuat negara ini memperbaiki segala kelemahannya dan kini sangat disegani. Mungkin, pada 20-30 tahun ke depan, ia menjadi negara terkuat di dunia.

 

Sebagai sebuah organisasi, Nahdlatul Ulama dapat belajar banyak dari keberhasilan China. NU dikenal sebagai organisasi massa Islam dengan jumlah pengikut terbanyak di dunia. NU diperhitungkan dalam berbagai sektor, dan suaranya didengar oleh publik maupun pengambil kebijakan. Dalam konteks politik, para tokoh NU ditarik menjadi pengambil suara untuk meraih dukungan.

 

Sayangnya, NU masih menghadapi tantangan berat dalam bidang ekonomi. Banyak warga NU masih hidup miskin, bahkan masih ada yang hidup di bawah garis kemiskinan. Akibatnya, kualitas pendidikan milik NU, layanan kesehatan, dan amal usaha organisasi lainnya belum sesuai harapan ideal. Para guru di pesantren honornya masih jauh di bawah pendapatan guru honorer yang sering berdemonstrasi menuntut kenaikan upah. Sekalipun tidak pernah ada demo, para ustadz bukan berarti mereka menerima senang hati dengan situasi seperti ini. Jangan sampai hal tersebut dianggap sebagai kenormalan yang tak mendapat perhatian, tetapi kemudian penanggung jawab pesantren sibuk berwacana isu lainnya.

 

Dengan demikian, jika NU memberi perhatian lebih terhadap isu-isu ekonomi, hal ini akan berdampak pada kekuatan NU secara keseluruhan di masa mendatang. Tentu ini bukan kerja instan, yang dilakukan hari ini, kemudian hasilnya baru sudah bisa dinikmati besok. Selama proses itu pun, akan terjadi kegagalan-kegagalan yang menjadi pelajaran. Namun, jika berhasil, manfaat yang diperoleh akan luar biasa. Ketika organisasi kaya, maka dapat membiayai berbagai kegiatannya secara lebih baik, serta meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat. Hal ini membuat dakwah dan tujuan organisasi dapat lebih mudah tercapai. Ketika warga NU sejahtera, mereka pun dapat berkontribusi lebih baik kepada organisasi.

 

Selama ini, orang terlibat dalam organisasi NU lebih didasarkan untuk tujuan ibadah mahdhah, atau ibadah yang bersifat ritual. Pada tingkatan Ranting NU, kegiatan yang digelar berupa Tahlilan, Yasinan, Shalawatan, pengajian, dan sejenisnya. Masyarakat ingin menjadi lebih religius dengan bergabung NU, sementara untuk urusan ekonomi dan pekerjaan, beda lagi institusi yang digunakan untuk mendukung tujuan tersebut.

 

Pada tingkatan yang lebih tinggi, pengurus cabang yang ada di level kabupaten dan kota, atau di tingkat wilayah yang berada di level provinsi, perhatian terhadap persoalan ekonomi telah meningkat. Ada sejumlah pengurus yang membidangi masalah ekonomi, dan biasanya mereka bergelut atau memahami persoalan tersebut. Selain itu, ada kerja sama dengan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta yang ingin menggarap bidang ekonomi warga NU.

 

Pengurus NU di cabang yang memperhatikan aspek ekonomi terbukti mampu meningkatkan kekuatan dan layanan organisasi kepada masyarakat, seperti yang dicapai oleh PCNU Sidoarjo di Jatim dan PCNU Sragen di Jateng.

 

Namun demikian, secara umum tetap saja persoalan ekonomi hanya menjadi bagian kecil dari isu-isu besar yang mengemuka yang menjadi perbincangan. Bahkan ekonomi kalah seksi dengan isu politik yang menjadi obrolan keseharian para aktivis NU, sekalipun bukan bidang garapan resmi organisasi.

 

Pengarusutamaan isu-isu ekonomi bukanlah perkara yang gampang. Para pengurus dan aktivis NU sebagian besar berlatar belakang pendidikan agama dan humaniora. Minat dan perhatian mereka dalam bidang agama dan sosial. Aspek ekonomi dianggap penting dalam konteks bagaimana mendanai kerja-kerja dakwah dan sosial mereka. Namun, bagaimana supaya NU bisa mandiri secara ekonomi, belum ditemukan polanya.

 

Kesadaran pentingnya memperhatikan sektor ekonomi ini sudah mulai tumbuh, di antaranya dengan munculnya Himpunan Pengusaha NU (HPN) atau Himpunan Pengusaha Santri (HIPSI). Namun, isu-isu ekonomi perlu terus didorong memasuki arus utama pembahasan di lingkungan NU supaya persoalan-persoalan pelik terkait ekonomi yang sudah sekian lama dihadapi dapat terpecahkan.

 

Bukan berarti nantinya, isu ekonomi mengalahkan isu agama. Namun, hal tersebut akan berjalan beriringan mengingat banyak persoalan agama yang membutuhkan dukungan ekonomi. Rasulullah dalam misi dakwahnya mendapat dukungan istrinya Khadijah yang merupakan pengusaha kaya. Teladan seperti ini menjadi pelajaran kita untuk lebih memperhatikan isu ekonomi tersebut. (Achmad Mukafi Niam)