Risalah Redaksi

Meningkatkan Peran Ormas-ormas dalam Mengawal Kebijakan Publik

Ahad, 2 Agustus 2020 | 11:30 WIB

Meningkatkan Peran Ormas-ormas dalam Mengawal Kebijakan Publik

Kritisisme NU, Muhammadiyah, serta ormas, LSM, dan komponen sipil lainnya penting sebagai penyeimbang kekuatan.

Akibat lemahnya oposisi pemerintahan, sejumlah UU dan kebijakan yang sebenarnya kurang sesuai dengan kepentingan rakyat diloloskan atau hampir diloloskan. Yang terbaru adalah rancangan UU Haluan Ideologi Pancasila dan Program Organisasi Penggerak (POP). Namun berkat partisipasi sejumlah kekuatan rakyat termasuk NU, Muhammadiyah, dan komponen organisasi lainnya, akhirnya kebijakan tersebut dievaluasi.


Partai yang sudah tergabung dalam koalisi sulit untuk bersuara berbeda dari kesepakatan bersama. Dalam etika politik, ketika sudah menjadi bagian dari koalisi pemerintahan, maka partai-partai yang ada di dalamnya harus kompak. Sampai dengan tahun 2024, banyak sekali undang-undang yang akan dihasilkan oleh DPR maupun kebijakan yang akan diputuskan oleh pemerintah periode ini. NU, Muhammadiyah, ormas, LSM, serta komponen masyarakat lainnya perlu mengawal proses legislasi dan pengambilan kebijakan tersebut.


Memang, pemerintahan yang kuat dengan dukungan yang besar dari legislatif membuatnya lebih mudah mengeluarkan kebijakan yang memerlukan dukungan dari parlemen, namun hal tersebut mengurangi potensi suara kritis yang sebenarnya diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu. 


Semua partai politik dalam visi misinya selalu menyatakan hal-hal yang baik, namun dalam pelaksanaannya, banyak sekali kepentingan dari individu yang berkuasa dalam partai yang tidak sejalan dengan visi-misinya. Kekuasaan sangat besar yang mereka miliki perlu dikontrol agar sesuai dengan kepentingan bersama. Para penguasa ketika berkampanye pun selalu menyatakan hal yang indah-indah, tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali penguasa yang terjerat persoalan hukum.  


Adagium power tend to corrupt memberi pesan kepada kita bahwa terdapat potensi penyalahgunaan wewenang oleh siapa pun yang sedang berkuasa. Dengan demikian, maka diperlukan mekanisme pembagian kekuasaan untuk saling melakukan kontrol. Trias politika berupa pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif salah satunya dimaksudkan untuk saling mengontrol. Namun, ketika legislatif dan eksekutif dikuasai oleh satu kelompok, mekanisme kontrol tersebut melemah. 


Di sinilah peran pihak independen seperti organisasi masyarakat yang memiliki pengaruh besar untuk menjadi kanal bagi saluran suara masyarakat yang tidak terakomodasi. Organisasi atau asosiasi profesi yang memahami dengan baik permasalahan yang dibahas dan terkait dengan kepentingan mereka dapat memberikan masukan untuk memastikan aturan atau kebijakan yang dibuat tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat. Dalam hal persoalan keagamaan, maka organisasi seperti  NU, Muhammadiyah, MUI, dan ormas Islam lainnya layak didengarkan. Terkait dengan persoalan perburuhan, maka suara dari organisasi buruh dan asosiasi pengusaha harus didengarkan.


Sekalipun organisasi agama, NU dan Muhammadiyah memiliki pengikut yang sangat besar dan memiliki bidang garapan yang bukan hanya persoalan agama tetapi mencakup pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lainnya. Dengan pengaruh besar dan sejarah panjangnya, persoalan-persoalan publik juga menjadi perhatian NU dan Muhammadiyah. UU dan kebijakan pemerintah akan mempengaruhi kehidupan jutaan warga NU dan Muhammadiyah. 


Proses pemberian masukan tidak harus dilakukan ketika sebuah RUU sudah beredar di masyarakat atau ketika sebuah kebijakan telah ditetapkan. Nahdlatul Ulama kerap diminta datang ke DPR untuk memberi masukan terhadap RUU tertentu. Jika mekanisme seperti ini diterapkan, maka akan mampu mengurangi potensi kontroversi yang terjadi di masyarakat ketika RUU tersebut hampir final. Sayangnya, sejumlah RUU yang sarat kepentingan tertentu diproses secara kilat di DPR RI sehingga akhirnya mendapatkan penolakan. 


Sering terjadi, secara filosofis atau konseptual, aturan yang ditetapkan sudah baik. Namun implementasi di lapangan yang tidak berjalan sesuai aturan yang ditetapkan. Proses pengawalan implementasi kebijakan publik jauh lebih sulit dibandingkan dengan pembuatan UU mengingat banyak hal atau informasi teknis yang tidak dapat diakses oleh publik. Kasus penyalahgunaan wewenang ini yang lebih banyak terjadi dengan nilai kerugian yang sangat besar.


Dalam persoalan Program Organisasi Penggerak (POP), maka keterlibatan yayasan yang berafiliasi dengan kelompok usaha besar serta kriteria pemilihan organisasi yang tidak jelas menjadi catatan NU, Muhammadiyah, dan PGRI. Akhirnya Kemendikbud melakukan evaluasi atas program tersebut. Jika yang memprotes adalah organisasi kecil atau sekedar para pengamat yang tidak memiliki nilai tawar, maka peluang untuk didengar suaranya semakin kecil. Sangat disayangkan jika program yang menghabiskan dana 595 miliar tersebut berjalan tidak maksimal atau akhirnya menimbulkan masalah di kemudian hari. Transparansi publik menjadi kunci menghasilkan keputusan yang baik.


Kasus-kasus yang terungkap hanya puncak gunung es dari persoalan sebenarnya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Menciptakan tata kelola lembaga negara yang baik dan aparat yang memiliki integritas akan mengurangi berbagai upaya penyelewengan. Bekerja bersama memastikan seluruh aturan diarahkan untuk kepentingan rakyat dan implementasi kebijakan dilaksanakan  dengan baik memastikan negeri ini berjalan sesuai dengan relnya.  NU, Muhammadiyah, dan organisasi lainnya menjadi bagian penting yang akan terus mengawal negeri ini. (Achmad Mukafi Niam)