Risalah Redaksi

Menyelaraskan Visi dan Gerakan NU melalui Program Pengaderan

Ahad, 5 Desember 2021 | 11:00 WIB

Menyelaraskan Visi dan Gerakan NU melalui Program Pengaderan

Para pengurus PBNU saat mengikuti program Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) di Jakarta. (Foto: istimewa)

Nahdlatul Ulama memiliki jutaan pengikut militan yang siap untuk memperjuangkan apa yang menjadi visi, misi, dan nilai-nilai NU. Jumlah pengikut yang besar merupakan sumber daya yang mesti dikelola dengan baik. Dengan demikian, penyelarasan visi menjadi hal yang mutlak dilakukan supaya ke mana arah dan gerak organisasi juga dipahami oleh pengurus dan seluruh warga NU.

​​​​​Latar belakang kelahiran NU didasari adanya kesamaan kepentingan dari para ulama pengelola pesantren dalam menghadapi tantangan baru. Dengan demikian, pesantren dan para kiai sudah ada sebelum NU berdiri. Mereka memiliki otonomi dalam pengelolaan pesantren dan lembaga pendidikan yang dimilikinya. Berorganisasi memperkuat tujuan dan perjuangan bersama yang ingin dicapai oleh komunitas pesantren dalam bidang dakwah atau kebangsaan.

Otonomi yang dimiliki oleh masing-masing pesantren sebagai basis NU ini menjadi kekuatan. Dengan semakin banyak didirikannya pesantren yang berafiliasi dengan NU, maka semakin luas pula jaringan dakwah Islam NU. Kekuatan tersebut akan semakin kokoh jika terdapat kesamaan visi mengingat masing-masing subkultur pendukung NU ini memiliki pemahaman dan nilai yang berbeda, sehingga perlu ada proses penyelarasan.

Dalam rentang usia yang hampir mencapai 100 tahun, maka NU sudah melewati beberapa generasi. Apa yang menjadi pemikiran para pendiri NU mungkin tidak lagi sepenuhnya dipahami. Apa saja dan bagaimana NU menghadapi tantangan abad kedua juga belum sepenuhnya dipahami. Dalam konteks inilah, program pengaderan menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan.

Masyarakat umum mendefinisikan pengikut NU adalah Muslim yang mengikuti tradisi tahlilan, shalawatan, tarawih 20 rakaat, shalat subuh menggunakan doa qunut, dan lainnya. Namun, kesamaan amaliyah saja tidak cukup untuk menjadikan NU solid. Tak heran, kemudian muncul dikotomi antara jamaah NU dengan jamiyah NU. Jamaah NU belum tentu terlibat atau menjadi bagian dari gerakan dan program organisasi NU. Karena hanya sama dalam peribadatan, maka mereka tidak memahami apa sebenarnya NU itu. Pada titik ekstrem, ada orang yang mendeklarasikan diri keluar dari NU, tetapi amaliyahnya tetap NU.

Amaliyah yang sama mesti ditunjang dengan fikrah nahdliyah atau kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang dijadikan landasan berpikir NU untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka perbaikan umat. Terdapat organisasi Islam yang amaliyahnya sama dengan NU, tetapi fikrahnya bertentangan dengan NU.

Khashaish atau ciri-ciri fikrah nahdliyah terdiri dari lima butir, yaitu fikrah tawasuthiyah, yaitu pola pikir moderat dengan mencari jalan tengah atas berbagai persoalan; fikrah tasamuhiyah, yaitu pola pikir toleran yang dapat hidup dengan pihak lain sekalipun berbeda budaya dan keyakinan; fikrah ishaliyah, yaitu berpikir reformis, yaitu mengupayakan perbaikan ke arah yang lebih baik secara terus menerus, fikrah tathawuriyah, yaitu berpikir dinamis dengan mengkontekstualisasikan persoalan sesuai dengan zaman, dan fikrah manhajiyah yaitu berpikir secara metodologis dengan menggunakan kerangka berpikir yang telah ditetapkan oleh NU.

Dengan semakin mudahnya akses informasi dan munculnya era keterbukaan, banyak sekali pemikiran baru yang masuk ke Indonesia, baik yang ekstrim kiri dengan ideologi liberal dan sekuler serta ekstrem kanan dengan pemahaman ajaran Islam yang konservatif dan kaku. Tanpa kerangka berpikir yang jelas, maka kader NU rawan terombang-ambing dalam berbagai pemikiran dan pemahaman lain.

Harakah atau gerakan NU merupakan gerakan yang selaras dan terkoordinasi dengan organisasi NU, bukan sekadar yang penting berdakwah, apalagi mengikuti gerakan yang malah menghancurkan NU. Organisasi NU memiliki kebijakan dan program yang dirumuskan dalam forum-forum resmi seperti muktamar, konbes, pleno, atau lainnya. Supaya program tersebut berhasil, maka ada skala prioritas yang mesti dilaksanakan oleh seluruh komunitas NU. 

Untuk menjadi organisasi yang solid dan kuat, aspek amaliyah, fikrah, dan harakah mesti selaras. Program pengaderan NU yang dijalankan saat ini seperti Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) dan Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) berusaha menyegarkan dan menyelaraskan kembali nilai-nilai NU.

Program ini telah berjalan dengan masif di seluruh Indonesia dan di seluruh jenjang tingkatan organisasi, dari pengurus besar sampai dengan ranting. Dengan program yang berjalan secara rutin, maka semakin banyak pengurus dan kader NU yang terjangkau dalam program ini.

Kadang ada orang yang sudah menjadi pengurus NU selama puluhan tahun sehingga merasa tidak perlu lagi mengikuti program ini atau sudah pernah mengikuti program pengaderan di badan otonom NU seperti IPNU IPPNU atau Ansor Fatayat NU. Mereka merasa sudah memahami dengan baik NU. Mengingat ukuran pemahaman sifatnya subjektif, maka susah untuk mengukur pemahaman yang sebenarnya. Sementara itu, pengkaderan di tingkat badan otonom hanya berlaku di tingkat badan otonom saja.

Sikap KH Said Aqil Siroj, KH Yahya Cholil Staquf, dan para pemimpin NU di tingkat pengurus besar dapat menjadi teladan. Sekalipun mereka telah menjadi pengurus NU, mereka tetap mengikuti proses pengaderan. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi pengurus yang lain untuk tidak mengikuti program tersebut.

Nahdlatul Ulama merupakan organisasi raksasa dengan pengikut jutaan orang. Tujuan-tujuan besar yang menjadi cita-cita NU dapat terwujud jika para pengurus dan warga NU menjalankan amaliyah, memahami fikrah, dan menjadi bagian dari harakah NU. Dari jamaah menjadi jamiyah yang solid. Pengkaderan membantu menyelaraskan visi, nilai, dan gerakan menjadi satu kesatuan yang mewujud dalam kekuatan yang mampu melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. (Achmad Mukafi Niam)