Risalah Redaksi

Menyelesaikan Masalah Pembakaran Bendera HTI dengan Bijak

Ahad, 28 Oktober 2018 | 01:00 WIB

Banser merupakan penjaga ulama untuk menegakkan ajaran Islam. Mereka merupakan kepanjangan tangan dari Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Karena itu, mengherankan jika Banser dianggap menghina kalimat tauhid akibat pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang telah dibubarkan karena ideologinya berusaha mengubah NKRI. 

Peristiwa pembakaran bendera HTI di Garut saat peringatan Hari Santri menjadi viral karena direkam dan disebarkan dari grup-grup media sosial. Beragam tanggapan muncul, antara kelompok yang setuju dan tidak sehingga menimbulkan kegaduhan. Ciri media sosial adalah, semua orang merasa berhak berbicara, baik mereka yang memang memahami persoalan, karena sentimen ideologi atau karena dukungan politik. Semuanya menjadi riuh rendah meramaikan persoalan tersebut. 

Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menyatakan permintaan maaf atas kegaduhan yang ditimbulkan oleh Banser. Tiga orang yang melakukan pembakaran juga meminta maaf kepada publik akibat kegaduhan itu. Mereka yang bertindak melampaui prosedur kemudian mendapat sanksi organisasi.

Kepolisian bertindak cepat agar permasalahan tersebut segera diredam. Para pelaku pembakaran segera dimintai keterangan. Perdebatan apakah yang dibakar bendera HTI atau bendera tauhid diminimalisasi dengan melakukan kajian yang selanjutnya disimpulkan bahwa yang dibakar merupakan bendera HTI. Hal ini dilakukan salah satunya dengan melihat jejak digital bahwa bendera itulah yang selama ini digunakan oleh HTI dalam berbagai acara. 

Dalam kesepakatan bersama, tidak boleh ada bendera selain merah putih pada upacara peringatan Hari Santri. Saat ada orang yang membawa bendera HTI, maka Banser kemudian mengamankannya. Dalam protap Banser, seharusnya bendera tersebut diserahkan kepada polisi. Sayangnya, tindakan Banser tersebut melampaui aturan yang telah ditetapkan. Selain satu kasus tersebut, banyak bendera HTI lain yang diamankan Banser dankemudian diserahkan ke polisi.

Uus Sukmana (34) pembawa bendera yang dibakar–yang akhirnya tertangkap—ketika dimintai keterangan oleh polisi mengakui bahwa bendera tersebut merupakan bendera HTI yang dibeli secara online di sebuah akun Facebook. Akun yang menjual bendera tersebut juga menerangkan bahwa yang dijual adalah bendera HTI. Dengan demikian tidak ada keraguan lagi setengah pengakuan dari Uus bahwa bendera yang dibakar adalah bendera HTI. Karena itulah pernyataan dari beberapa orang atau organisasi bahwa itu bukan bendera HTI gugur dengan sendirinya. 

Sejumlah organisasi teroris seperti Al-Qaeda, ISIS, Taliban, dan Boko Haram juga menggunakan kalimat tauhid untuk benderanya. Perdebatan akhirnya mengarah bagaimana dengan simbol-simbol tauhid yang kemudian digunakan untuk tindakan kekerasan? Di sini banyak tafsir yang muncul dan menjadi kontroversi dalam masyarakat. Bagaimana kita harus memperlakukan kalimat suci yang kemudian digunakan untuk tidakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tersebut?
 
Nahdlatul Ulama sejak dari berdirinya tahun 1926 mengakui keragaman pendapat para ulama. Dalam bidang fiqih, pendapat empat mazhab diakui, yaitu Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali. Perbedaan pandangan merupakan sesuatu yang alamiah dan kamunitas NU dan dihargai sepenuhnya. Termasuk dalam hal ini, bagaimana menyikapi perbedaan pandangan hukum membakar bendera organisasi terlarang. Tetapi ketika sudah masuk ranah hukum, maka semuanya harus mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku. 

Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, penyampaian aspirasi diizinkan, termasuk di dalamnya melakukan demonstrasi, sejauh hal tersebut dilakukan dengan mengikuti tata tertib yang berlaku. Debat- pubik yang mencerdaskan dan menjaga kesopanan di forum seminar, ruang akademik, bahkan di televisi atau saluran informasi lain akan membantu masyarakat memahami argumen dari masing-masing pihak.

Pada Jumat, 26 Oktober, demonstrasi Bela Tauhid di depan kantor Kemenkopolhukam Jakarta ternyata juga diirngi dengan orasi politik pergantian presiden. Ini mengindikasikan adanya penumpang gelap yang ingin memanfaatkan kontroversi yang ada. Kantor GP Ansor di Sulteng juga diserang orang tak dikenal. Akibat serangan gerombolan dalam jumlah sekitar 30 orang tersebut, beberapa anggota Ansor dan Banser yang sedang menyiapkan bantuan untuk korban gempa mengalami luka-luka. Kasus ini menunjukkan cara-cara yang tidak baik dalam upaya penyampaian pendapat.

Para tokoh agama dan tokoh bangsa telah mengingatkan jangan sampai kontroversi soal pembakaran bendera HTI tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab untuk menjatuhkan agama Islam. Umat Islam disibukkan dengan dirinya sendiri sehingga urusan-urusan lebih penting yang seharusnya menjadi perhatian akhirnya diabaikan. Pertemuan para tokoh agama di rumah dinas wapres Jusuf Kalla patut kita apresiasi.

Hadir pada pertemuan tersebut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nasir, Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum Syarekat Islam Hamdan Zoelva, dan  Dewan Penasihat Pimpinan Pusat Persatuan Islam Indonesia (Persis) Maman Abdurahman. Wapres Jusuf Kalla didampingi oleh Kapolri Tito Karnavian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin dan Mensesneg Pratikno. 

Lima kesepakatan yang dihasilkan oleh para tokoh umat Islam ini sangat menyejukkan. Mereka mufakat mengedepankan musyawarah dan saling pengertian untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Para pemimpin juga menyerukan umat Islam agar tidak memperbesar masalah, melainkan bergandengan tangan mengatasi adu domba dan mengedepankan dakwah bil hikmah wal maudhitil hasanah. 

Para tokoh juga menyesalkan kejadian tersebut dan berharap kejadian serupa tidak terulang kembali. Oknum yang membakar bendera telah meminta maaf dan diberikan sanksi atas tindakan yang melampaui prosedur. Ansor dan NU juga telah menyesalkan kejadian tersebut. Jika ada pelanggaran hukum, maka akan diserahkan kepada Polri untuk diselesaikan secara hukum. 

Kini saatnya kita kembali fokus kepada persoalan-persoalan besar umat Islam yang harus diselesaikan bersama seperti pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, dan lainnya. Kejadian yang ada dapat menjadi ujian seberapa jauh kita mampu menyelesaikan persoalan bersama dengan bijak demi kebaikan bersama. (Achmad Mukafi Niam)