Risalah Redaksi

Menyikapi Ramalan Indonesia Bubar pada 2030

Jum, 23 Maret 2018 | 09:30 WIB

Menyikapi Ramalan Indonesia Bubar pada 2030

Ilustrasi (linikini)

Jagat maya di Indonesia diramaikan oleh ucapan Prabowo Subianto yang mengutip sebuah novel berjudul Ghost Fleet bahwa Indonesia terancam bubar pada 2030. Pernyataan yang disampaikan oleh seorang ketua umum partai oposisi yang juga sedang bersiap-siap untuk mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia 2019-2024 mengundang banyak tanggapan dari publik, termasuk presiden dan wakil presiden. 

Lalu, sebenarnya seberapa besar sebuah negara terancam bubar atau menjadi negara gagal. Sejauh ini belum ada ramalan yang komprehensif tentang potensi bubarnya Indonesia. Indeks negara gagal yang dibuat oleh Fund for Peace menempatkan Indonesia dalam tingkat risiko menengah. Jauh dari negara berisiko tinggi seperti Afganistan, Irak, atau Suriah. Persoalan pasti ada, tapi sejauh ini risikonya masih jauh dari penyebab bubarnya sebuah bangsa. 

Sejumlah prediksi yang dilakukan oleh konsultan internasional seperti Price WaterhouseCooper dan McKinsey meramalkan Indonesia akan menjadi kekuatan utama ekonomi dunia pada 2030. Menurut PwC, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi kelima terbesar di dunia sedangkan McKinsey meramalkan Indonesia akan mendduki posisi ketujuh teratas. Jika ekonomi kuat, biasanya kondisi lain juga akan lebih baik seperti tata kelola pemerintahan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lainnya. Artinya, semakin jauh Indonesia pada risiko sebagai negara gagal, apalagi bubar. 

Bagaimana dalam menyikapi sebuah ramalan? Sikap optimis sekaligus disertai kewaspadaan pada sejumlah persoalan merupakan hal yang sangat penting. Kehancuran sebuah bangsa tidak dapat diperkirakan dengan tepat karena adanya sejumlah faktor yang berkelindan. Tak ada yang meramalkan Uni Soviet akan bubar pada era 90an. Demikian pula proses pecahnya negara-negara di semenanjung Balkan menjadi sejumlah negara kecil setelah runtuhnya blok Timur juga tidak dapat diperkirakan. Juga tidak ada ramalan tentang Musim Semi Arab yang awalnya disambut dengan optimis ternyata menjadi musih gugur yang menimbulkan penderitaan panjang bagi banyak penduduk di Timur Tengah. Kita belum tahu bagaimana nasib Suriah yang sudah tujuh tahun mengalami peperangan. Irak juga belum sepenuhnya stabil sementara konflik baru muncul di Yaman. 

Indonesia merupakan negara dengan keragaman yang sangat tinggi dari aspek suku, agama, ras, dan golongan. Aspek ini harus diwaspadai dengan baik mengingat belakangan ini mudahnya melakukan upaya pecah belah dengan berita hoaks atau mengadu domba satu kelompok dengan kelompok lain untuk kepentingan politik atau kepentingan pragmatis lainnya. NU dalam hal ini telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga harmoni antara seluruh komponen bangsa. ini bukanlah tugas yang mudah.

Hal lain yang menjadi persoalan genting adalah tingginya ketimpangan ekonomi. Sekelompok kecil dari etnis dan agama minoritas menguasai sebagian besar aset ekonomi nasional. Kelompok besar yang terpinggirkan sewaktu-waktu saat memontumnya tepat, bisa menimbulkan konflik sosial yang secara nasional bisa menghancurkan. Persoalan seperti ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu sehari-dua hari, tetapi harus ada desain yang komprehensif bagaimana mengurangi ketimpangan. Bahwa kelompok mayoritas harus merasakan kesejaahteraan dari negeri ini. 

Apa yang terjadi secara nasional juga dipengaruhi oleh situasi geopolitik maupun situasi global. Tiongkok yang secara ekonomi semakin kuat juga dipandang memiliki ambisi kuat untuk melebarkan pengaruhnya di tingkat regional maupun global. ini menimbulkan ketakutan pada kekekuatan lama yang atau negara-negara di sekitarnya. Dan bisa menimbulkan konflik militer. Perang dagang yang berlangsung antara China dan Amerika Serikat juga akan berpengaruh terhadap perekonomian negara-negara di sekitarnya. 

Ilmu soal ramal-meramal kita semakin canggih didasari keinginan negara, perusahaan, atau individu untuk mengantisipasi masa depan dan mempersiapkannya sedini mungkin. Ada orang-orang yang mendedikasikan diri sebagai futurologi, yaitu peramal masa depan. Mereka memberikan nasehat kepada negara, institusi, atau bahkan untuk pribadi-pribadi yang meminta jasa konsultasi bagaimana mengantisipasi masa depan. Ini merupakan sebuah bisnis baru yang menjanjikan.

Kelompok yang besar atau kuat bukan hanya berusaha meramalkan masa depan, tetapi berusaha mendesain masa depan sesuai dengan skenario yang diinginkannya. Tetapi dunia sekarang menjadi semakin kompleks. Semakin banyak faktor yang harus dipertimbangkan sehingga semakin sulit melakukan analisis secara memadai. Hanya dalam waktu beberapa puluh tahun, besaran ekonomi China mampu melampui Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan baru muncul dengan cepat dan meraksasa sementara raksasa lama tumbang dengan seketika. Baik negara maupun korporasi memiliki sumber daya yang besar untuk melakukan upaya rekayasa masa depan. Toh, masa depan tetap merupakan misteri yang tak mudah dikelola. 

Ramalan, dapat menjadi self fulfilling prophecy yaitu ramalan yang mewujud dengan sendirinya karena perilaku kita mengikuti ramalan tersebut. Jika terdapat keyakinan bahwa Indonesia akan runtuh pada 2030, maka masyarakat yang percaya terhadap keyakinan tersebut akan menyiapkan diri menghadapi situasi tersebut seperti mengamankan aset ke luar negeri, mencari kesempatan mengeruk aset negara sebelum benar-benar runtuh, dan hal-hal lain yang merusak bangunan negara yang selama ini sudah tertata dengan baik. Ramalan akan betul-betul terjadi karena perilaku yang mengikuti ramalan tersebut. 

Optimisme akan masa depan Indonesia akan mengarah pada penanaman investasi di Indonesia, memperbaiki hal-hal yang belum beres saat ini, dan hal-hal lain akan mengarah pada perbaikan. ini merupakan perilaku yang mengikuti keyakinan optimis. Jadi, lebih baik kita bersikap optimis sembari terus memperbaiki segala kekurangan yang ada. (Achmad Mukafi Niam)