Risalah Redaksi

Merangkai Diaspora NU Internasional

Sab, 25 Maret 2017 | 13:25 WIB

Sejak berdiri pada 1926, NU telah memiliki visi internasional. Perjalanan Kiai Wahab Chasbullah dalam rangka Komite Hijaz yang memperjuangkan kebebasan bermazhab yang dianut oleh umat Islam dari berbagai belahan dunia menunjukkan pandangan global NU. Kini, jejaring NU pun semakin meluas ke pojok-pojok dunia yang dulu namanya saja tidak dikenal. 

Dalam berbagai kesempatan, NU juga mengadakan konferensi internasional yang dihadiri oleh para ulama dari berbagai negara. Dalam forum tersebut, dibicarakan permasalahan yang dihadapi umat Islam secara umum. Banyak persoalan umat yang membutuhkan upaya bersama untuk pemecahannya. Salah satunya adalah kasus Palestina yang bahkan hingga kinipun belum ditemukan solusinya. Karena itu, upaya kerjasama yang lebih erat menjadi semakin terasa urgensinya.

Keberadaan warga NU di berbagai negara juga menunjang internasionalisasi NU. Diaspora warga NU di kancah internasional didorong oleh banyaknya warga negara Indonesia yang bekerja atau belajar di luar negeri. Sekalipun berada di negeri asing, mereka tetap menjalankan amaliah Nahdliyah. untuk Bersama-sama dengan orang yang satu paham dan tradisi, akhirnya mulailah didirikan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) yang merupakan nama bagi struktur kepengurusan NU yang ada di luar negeri sebagai sarana untuk berorganisasi dan memperkuat NU secara struktural.

PCINU-PCINU yang mulai berkembang pada era 2000an di era kepemimpinan NU oleh KH Hasyim Muzadi ini perlu mendapat perhatian yang memang istimewa, sesuai dengan nama yang disandangnya. Mereka menjadi duta untuk mengabarkan Islam Indonesia yang ramah dan damai di tempat di mana mereka berada. Dakwah terbaik adalah dengan menunjukkan akhlak dan perilaku yang sesuai dengan tuntunan Islam. Kader NU di luar negeri, terutama di negara-negara di mana Muslim menjadi minoritas, bisa menampilkan Islam yang menghargai semua golongan. Cara ini jauh lebih efektif dari sekedar kampanye antiislamofobia.

Apa yang dilakukan oleh PCINU Belanda pada akhir Maret 2017 ini menunjukkan upaya promosi Islam moderat ala Indonesia dengan menyelenggarakan konferensi internasional di sebuah universitas di Amsterdam. Acara yang mengundang para pakar yang kompeten dalam ilmu keislaman ini merupakan bagian dari konferensi cabang NU Belanda. PCINU United Kingdom (UK) dalam kesempatan berbeda juga menyampaikan keprihatinannya atas kasus penyerangan di London. Semuanya mewakili wajah Islam Indonesia yang ramah dan mendorong penyelesaian persoalan secara damai.

Bagi warga NU yang bekerja atau menjalankan bisnis di luar negeri, keberadaan PCINU ini bisa menjadi kesempatan kepada perluasan jejaring bisnis internasional dan warga NU di Indonesia. Ada banyak sekali produk dan jasa dari warga NU yang bisa ditawarkan ke pasar global. Jika ada pebisnis NU yang sukses karena peran PCINU, tentu mereka juga akan mendukung dakwah NU dengan berkah perkembangan usaha yang mereka peroleh.

Bagi anggota PCINU yang menjadi pelajar di berbagai negara, mereka diharapkan menjadi penerus perjuangan NU di masa mendatang ketika mereka kembali ke Indonesia. Mereka yang belajar ilmu-ilmu keislaman, khususnya di kawasan Timur Tengah dapat mewarisi keulamaan dan menjalankan peran-peran keagamaan. Bagi yang belajar ilmu nonagama di Eropa, Amerika, Jepang, dan kawasan dunia lainnya, mereka bisa menyumbangkan ilmu yang dimiliki bagi masyarakat atau warga NU sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Ada banyak sekali perangkat organisasi NU yang membutuhkan dukungan para ahli dan kepakaran tertentu, di antaranya adalah Lembaga Perekonomian NU, Lembaga Hukum, Lembaga Pendidikan, dan lainnya. 

Agar mereka bersedia mengabdi kepada NU, tentu dari awal harus diperkenalkan dengan NU secara organisatoris, bukan hanya NU kultural. PCINU menjadi kawah candradimuka untuk memperkenalkan apa itu NU dan apa peran-peran keumatan yang dapat dilakukannya. 

Anak-anak NU tersebut perlu dijaga dari pengaruh Islam transnasional yang ditampilkan dengan cara memikat, tetapi sesungguhnya memiliki pandangan radikal dan intoleran terhadap kelompok atau agama lain. Di sisi lain, kader muda NU juga harus diselamatkan dari gaya hidup bebas dimana segala sesuatu diperbolehkan atas dasar kebebasan individual tanpa mempertimbangkan bahwa Allah itu  ada yang memiliki hak atas individu-individu. 

NU ternyata juga diminati bukan hanya oleh warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, tetapi juga warga lokal. Yang sudah berdiri adalah NU Afganistan yang semua pengurusnya adalah warga setempat. Beberapa ulama internasional yang berkunjung ke PBNU juga berharapa bisa mendirikan NU di tempatnya masing-masing. Tentu saja, NU-nya akan menyesuaikan diri dengan lokalitas negara di mana organisasi tersebut didirikan. Dalam hal ini, tentu harus dirumuskan panduannya dan prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh NU. Jangan sampai ada yang mengaku NU di luar negeri, tetapi ternyata prinsip ajarannya tidak sesuai dengan NU yang sesungguhnya di Indonesia, baik sifatnya menjadi radikal atau liberal. 

Persatuan Muslim dalam jejaring NU jika mampu dikelola dalam tingkat internasional tentu akan menjadi kekuatan tersendiri dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam dalam ranah global seperti upaya peningkatan kesejahteraan, ilmu pengetahuan, kesehatan, penyelesaian kasus Palestina, atau konflik-konflik lokal yang terjadi di beberapa kawasan Muslim. (Mukafi Niam)