Risalah Redaksi

Rentetan Kematian yang Tak Menjadi Pelajaran

Ahad, 25 Juli 2021 | 11:30 WIB

Rentetan Kematian yang Tak Menjadi Pelajaran

Apakah bencana ini bisa dihentikan atau dikurangi dampaknya? Mestinya bisa, tetapi butuh pengorbanan dari banyak pihak.

Setiap hari, berita duka meninggalnya saudara, kerabat, kolega, dan teman-teman muncul di grup WhatsApp atau lini masa media sosial. Kematian seolah bukan lagi sesuatu yang menimbulkan empati mendalam kepada keluarga almarhum. Sudah tampak seperti antrean yang hanya menunggu giliran saja, siapa yang duluan. Besok entah siapa lagi, lusa akan ada lagi, dan seterusnya.
 
Mereka yang memiliki orang tua atau kerabat yang berusia di atas 60 tahun atau memiliki penyakit bawaan akan selalu hidup dalam kekhawatiran. “Jangan-jangan orang tua atau kerabat saya giliran selanjutnya.”
 
Ketika berita kematian menjadi informasi sehari-hari, maka hal ini telah menjadi sebuah kenormalan. Sesuatu yang dulunya luar biasa kini menjadi hal yang sangat biasa. Ada kesedihan, tapi secukupnya saja. Ada ucapan duka cita kepada keluarga, tapi kesannya sudah seperti rutinitas yang hampir-hampir otomatis dilakukan. Sekadar menyalin template yang digunakan di grup-grup WA atau media sosial lainnya.
 
Namun, bagi keluarga yang ditinggalkan, kematian tetaplah peristiwa besar yang menimbulkan dampak emosional dan finansial. Banyak yang meninggal karena usia lanjut atau menderita komplikasi penyakit yang sudah bertahun-tahun dideritanya, yang harus terbaring di kamar tidur, bolak-balik ke rumah sakit, atau harus rutin minum obat tertentu untuk tetap bisa bertahan. Bagi kelompok seperti ini, perpisahannya dengan dunia tinggal soal waktu.
 
Namun, tak sedikit mereka yang meninggal masih dalam usia produktif. Mereka menjadi tulang punggung bagi keluarga yang ditinggalkannya. Bagi kelompok ini, kematian tiba-tiba menjadi pukulan berat. Bagi yang ditinggalkannya, kematian adalah sebuah persoalan baru bagaimana melanjutkan kehidupan. Saat masih hidup saja, keluarga yang ditinggalkan masih dalam kondisi pas-pasan, bagaimana bila penopang inti keluarga meninggal dunia, sementara di sisi lain dukungan sosial dari keluarga terdekat dan komunitas menurun karena semuanya menghadapi persoalan yang sama.
 
Berapa banyak anak-anak yang harus ditinggal orang tuanya saat masih membutuhkan perhatian, masih dalam masa pertumbuhan, dan mesti menjalani proses pendidikan yang panjang. Situasi ini menimbulkan dampak jangka panjang ketika potensi anak-anak tidak berkembang sebagaimana mestinya karena pendidikan yang terbatas, pertumbuhan fisik yang tidak sempurna karena malnutrisi, kemampuan emosional yang rendah, dan lainnya.
 
Apakah bencana ini bisa dihentikan atau dikurangi dampaknya? Mestinya bisa, tetapi butuh pengorbanan dari banyak pihak. Pelanggaran-pelanggaran yang terlihat remeh, seperti tidak memakai masker; perjalanan yang tidak diperlukan sekalipun dalam situasi PSBB Darurat; acara-acara yang menimbulkan kerumunan, dan lainnya. Semua hal tersebut jika dilihat satu per satu seolah tak berdampak, tak ada pengaruhnya dalam penyebaran virus ini, tetapi jika dilihat dalam perspektif makro, dampak tersebut nyata.
 
Di antara jutaan orang yang enggan memakai masker, sebagian di antaranya menjadi penyebab penularan Covid-19; di antara sekian perjalanan ke kantor, beberapa di antaranya menjadi penyebar Covid-19; dan di antara ribuan acara yang menimbulkan kerumunan, ada beberapa yang menjadi ruang penyebaran penyakit ini. Berbagai faktor tersebut ketika diakumulasi menjadi penyebab pandemi ini terus bertahan dengan korban yang terus berjatuhan.
 
Sayangnya, tak serta merta semua orang rela sedikit berkorban. Bahkan, ada saja yang berusaha mencuri kesempatan untuk meraih keuntungan pribadi. Pejabat setingkat menteri terpaksa masuk bui gara-gara mengambil rente. Lurah didemo warganya karena dianggap tidak adil dalam menyalurkan bantuan.
 
Agama dapat menjadi faktor yang menguatkan dalam mengatasi penyakit, yang mengingatkan umat beragama untuk lebih dekat kepada sang pencipta; untuk memahami bahwa tidak ada yang lebih berkuasa selain Dia; untuk tetap berusaha optimis dan mencari solusi bahwa setiap penyakit ada obatnya. Namun, pemaknaan yang tidak tepat terhadap ajaran agama bisa menghambat penyelesaian pandemi ini.
 
Sebagai contoh, sebuah meme berbahasa Jawa beredar luas di medsos wis ojo podho kuatir soal Corona, Malaikat Izroil wis dhue daftar ora bakal kliru…. (Tidak perlu khawatir soal Corona, Malaikat Izrail sudah punya daftar [orang yang akan dicabut nyawanya] tidak mungkin keliru). Pandangan seperti ini akhirnya mengabaikan sikap berhati-hati, bahwa kita diwajibkan untuk berusaha mencegah dari paparan penyakit.
 
Jamaah masjid di kawasan merah pun terbelah sikapnya. Sebagian jamaah ingin tetap menyelenggarakan shalat Jumat, sementara yang lainnya ingin ditiadakan dahulu. Dua-duanya mendasarkan argumennya dengan dalil agama. Yang ingin tetap jumatan mendasarkan pada hadits bahwa tiga kali berturut-turut tidak jumatan sudah masuk golongan kafir atau merasa kalau tetap jumatan menjadi lebih bertakwa; yang mendukung masjid ditutup berpendapat, dalam situasi darurat, ibadah bisa dilaksanakan di rumah demi mencegah potensi penularan.

 

Menurut riset, orang-orang yang sudah divaksin memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik terhadap virus ini. Hal ini juga sudah dibuktikan di negara-negara maju yang vaksinasinya sudah massal mengalami penurunan penyebaran Covid-19. Sebagian orang rela antre untuk mendapatkan vaksinasi, tapi ada juga yang tidak mau divaksin tanpa alasan yang jelas; termakan hoaks di medsos; percaya teori konspirasi; atau bersikap oposisi terhadap pemerintah yang tidak sesuai dengan pilihannya, sehingga apapun kebijakannya, selalu ditolak. 
 
Alam demokrasi dengan kebebasan berbicara dan pengagungan hak individual menyebabkan banyak orang merasa boleh berpendapat apa saja, berhak berbuat apa saja atas dirinya atau institusi yang dipimpinnya tanpa mempertimbangkan kepentingan komunitas yang lebih besar. Ditambah dengan manajemen krisis kesehatan yang buruk serta kemampuan penegakan hukum yang lemah, menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kematian-kematian yang seharusnya bisa dicegah.
 
Kini saatnya kita mengevaluasi diri, sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai pemimpin di tingkatannya masing-masing, apakah perilaku dan tindakan, serta dan kebijakan yang kita ambil sudah mendukung upaya mengatasi pandemi ini. (Achmad Mukafi Niam)