Risalah Redaksi

Saatnya Mendorong Perempuan Lebih Berperan

Ahad, 11 Maret 2018 | 09:15 WIB

Dalam sejarah perkembangan manusia, kaum perempuan selalu menghadapi tantangan yang berat. Sekalipun jumlah mereka setengah populasi manusia, namun peran mereka belum bisa dikatakan setara dengan keberadaannya. Sejumlah langkah telah dilakukan oleh para aktivis perempuan untuk memperbaiki keadaan. Dan hingga kini, perjuangan tersebut tampaknya masih akan berlangsung lama. Peristiwa-peristwa penting dalam perjuangan ini diperingati baik secara lokal untuk mengingatkan dan menyegarkan kembali upaya memperjuangkan perempuan seperti tanggal 8 Maret yang diperingati sebagai hari perempuan internasional.

Rasulullah dalam sejarah kenabiannya melakukan revolusi terhadap posisi perempuan dari kultur masyarakat jahiliyah yang menempatkan perempuan sebagai makhluk tak berdaya menjadi memiliki kemuliaan. Masa jahiliyah adalah masa kegelapan bagi perempuan. Banyak bayi perempuan yang dibunuh karena dianggap membawa sial, perlakukan yang tidak senonoh kepada istri, sampai dengan seks bebas. Rasulullah memerintahkan umat Islam untuk memuliakan wanita dengan memperlakukannya secara baik. 

Pada sejumlah peradaban kuno, perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua. Bahkan dalam banyak kebudayaan mereka dianggap sebagai harta milik yang tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Memiliki bayi perempuan dianggap sebagai kekurangberuntungan jika dibandingkan dengan bayi laki-laki. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan munculnya para intelektual perempuan, upaya-upaya perjuangan nasib terus berlangsung. Dan dalam proses yang panjang tersebut, kini telah terdapat capaian yang cukup besar dibandingkan dengan masa lalu. Sebelumnya mereka tidak berhak memilih jodoh, memiliki harta benda, atau hak pilih politik, bahkan tidak memiliki akses untuk belajar. Pada zamannya, hal-hal tersebut dianggap sebagai sebuah hal yang normal sampai munculnya para aktivis perempuan yang pantang menyerah memperjuangkan nasib kaumnya. 

Kini, kesadaran untuk meningkatkan peran dan memaksimalkan potensi yang ada dalam diri perempuan meningkat dengan pesat. Sejumlah kebijakan seperti kampanye untuk menyekolahkan anak perempuan telah berhasil. Pandangan bahwa pendidikan hanya penting bagi anak laki-laki kini telah berubah. Bahkan untuk pendidikan tinggi, komposisi mahasiswa perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

Dengan unggulnya perempuan di ranah pendidikan, kini muncul fenomena hypogamy yaitu ketika perempuan memiliki status sosial dalam bidang pendidikan lebih tinggi menikah dengan laki-laki biasa. Secara tradisional, laki-laki diharapkan memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dalam hal pendidikan dan karir. Implikasi-implikasi sosial atas dominasi perempuan dalam pendidikan tinggi akan semakin berdampak dalam 20-30 tahun mendatang. Bentuknya mungkin belum bisa deskripsikan saat ini mengingat banyak faktor yang mendorong perubahan sosial seperti revolusi digital yang terjadi saat ini. Tetapi yang jelas, akan ada penguatan posisi perempuan dalam relasinya dengan laki-laki.

Kini, sekalipun mulai unggul secara pendidikan, khususnya sebagaimana terjadi di negara-negara maju, posisi perempuan di dunia kerja belum sebaik laki-laki. Belum banyak perempuan yang mampu menduduki posisi manajemen senior di perusahaan. Mereka hanya unggul di beberapa bidang seperti kesehatan, hukum, pendidikan, dan profesi lain yang terkait dengan bidang sosial dan kebudayaan, tetapi masih lemah dalam bidang-bidang teknik. 

Di ranah parlemen, kini ada kebijakan afirmatif dengan mewajibkan partai politik untuk menempatkan minimal kuota calon legislatif perempuan sebanyak 30 persen. Toh, sekalipun demikian, komposisi caleg terpilih belum bisa mencapai 30 persen sebagaimana caleg yang diajukan. Banyak yang sekadar untuk memenuhi syarat kuota saja. Dalam kontestasi politik, para pemimpin perempuan yang terpilih banyak di antaranya karena dominasi faktor keluarga dan jaringannya. 

Secara psikologis banyak perempuan belum siap untuk menduduki posisi sebagai pemimpin. Mereka selalu menyerahkan urusan yang berat atau berisiko kepada laki-laki. Pandangan seperti ini tentu harus diubah mengingat kepemimpinan merupakan hasil sebuah pembelajaran dan secara alamiah berani memimpin berarti berani menanggung risiko. Mereka yang tidak berani mengambil risiko tentu tidak memiliki peluang untuk memimpin yang lain.

Memasuki dunia kerja juga menjadi beban ganda bagi perempuan karena mereka masih memiliki kewajiban untuk menjalankan peran tradisional sebagai ibu dalam keluarga yang harus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah sebelum atau setelah mereka bekerja di luar. Ini tentu beban berat yang harus mereka tanggung dalam kehidupan sehari-hari. Ini faktor budaya yang perlu direkonstruksi bahwa laki-laki juga wajar untuk mengurusi persoalan rumah tangga bersama-sama dengan perempuan.

Dengan segala kemajuan yang telah dicapai belakangan ini, masih banyak persoalan yang dihadapi seperti kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa mereka. Di banyak daerah, tradisi perkawinan dini masih hidup. Akibatnya, terjadi lingkaran persoalan yang tidak terputus. Nikah usia muda secara biologis maupun psikologis belum siap sehingga rentan terhadap berbagai persoalan, baik persoalan kesehatan maupun persoalan relasi dengan pasangannya. Nikah muda memiliki risiko perceraian lebih tinggi. Dan perceraian ini menimbulkan sejumlah persoalan lain bagi anak dan keluarganya. 

Di sejumlah negara, masih terdapat perdagangan perempuan (trafficking) untuk dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga atau pekerjaan-pekerjaan lain yang berbahaya. Mereka tidak memiliki akses untuk mendapat perlindungan dari eksploitasi yang dilakukan oleh majikan atau orang yang mengirimkannya jauh dari tempat tinggal asalnya. 

Di dunia digital, persoalan terbaru yang dihadapi perempuan adalah berkembangnya pornografi yang menempatkan mereka sebagai objek eksploitasi seksual. Ada yang secara sengaja terjun ke dunia tersebut, tetapi banyak pula yang dijebak. Dengan keluguannya, banyak perempuan secara tak sadar diekpoitasi secara seksual di dunia maya. 

Pada era kapitalisme ini, perempuan juga ditempatkan sebagai objek konsumerisme. Beragam iklan menempatkan perempuan sebagai modelnya, membujuk masyarakat untuk membeli barang-barang yang sebetulnya belum tentu dibutuhkan. Wajah-wajah segar para selebritas berganti dengan cepat karena adanya generasi baru yang siap bersaing merebutkan posisinya saat ini. Peran mereka hanya sebagai pemanis, sedangkan keputusan strategis tetap berada di tangan para laki-laki yang berkuasa sepenuhnya.

Kemajuan peradaban manusia tergantung pada kontribusi bersama dari bakat-bakat terbaik dari tiap orang, dari tiap generasi. Jangan sampai potensi terbaik tersia-sia hanya karena jenis kelamin yang berbeda. (Achmad Mukafi Niam)