Risalah Redaksi

Tantangan Membangun Pesantren Kualitas Premium

Ahad, 9 Februari 2020 | 12:50 WIB

Tantangan Membangun Pesantren Kualitas Premium

Pesantren premium niscaya dibutuhkan seiring adanya peningkatan kelas ekonomi masyarakat, termasuk warga NU sendiri.

Muslim di Indonesia terus meningkat kesejahteraannya seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil selama bertahun-tahun. Banyak di antaranya telah masuk ke kelompok berpendapatan menengah dan bahkan menengah atas. Peningkatan kemampuan ekonomi terlihat dari antrean haji kini mengular, ramainya jamaah umrah atau wisata Muslim, berkembangnya bank dan keuangan syariah, perkembangan kesadaran akan kosmetik dan makanan halal, media Islam, dan lainnya. Dengan daya beli yang lebih tinggi ini, konsumen Muslim memiliki daya tawar yang lebih tinggi.

Preferensi terkait dengan kualitas pendidikan untuk anak-anak kelas menengah Muslim juga mengalami perubahan. Mereka tidak lagi merasa cukup dengan kualitas standar yang disediakan sekolah negeri, tetapi mengharapkan anak-anaknya mendapatkan kualitas pendidikan yang maksimal. Sekolah-sekolah Islam di perkotaan, sekalipun mematok tarif bayaran yang mahal, tumbuh menjamur dengan pendaftar yang membludak. Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka mereka semakin sensitif terhadap kualitas tetapi tidak sensitif terhadap harga. Hal ini berbeda dengan kelompok menengah bawah yang mana mereka sangat sensitif terhadap harga tetapi kurang mementingkan kualitas.

Satu hal yang menjadi ciri khas warga NU dalam memberikan pendidikan agama pada anak-anaknya adalah memasukkan mereka ke pesantren. Sayangnya, belum banyak pesantren dengan kualitas premium yang mengambil segmen warga NU yang telah masuk kategori menengah atas ini sekalipun segmennya terus tumbuh membesar. Sebagian besar pesantren masih dikelola dengan fasilitas sederhana.

Anak-anak dari kelompok kelas menengah atas sudah terbiasa mendapatkan fasilitas nyaman di rumahnya seperti adanya AC, mesin cuci, serta berbagai fasilitas hiburan berbasis elektronik dan fasilitas belajar yang memudahkan mereka menyerap materi-materi pelajaran untuk mendukung masa depan yang mereka inginkan. Mereka cenderung tidak akan betah jika harus tinggal di tempat yang fasilitasnya minimal. Mereka ingin menjalani pendidikan dengan cara yang menyenangkan sebagaimana konsep pendidikan yang dikembangkan saat ini. Karena itu, dibutuhkan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai, beragam fasilitas olahraga, asrama yang nyaman, makanan yang sehat dan lezat, serta fasilitas pendukung lainnya yang mempengaruhi kondisi perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. 

Akhirnya, anak-anak dari keluarga mapan ini masuk ke sekolah-sekolah Islam dengan label internasional atau sekolah Islam yang menyediakan fasilitas baik yang memenuhi kebutuhannya. Sayangnya, secara ideologi, sejumlah sekolah tersebut tidak barafiliasi dengan NU. Akibatnya, anak-anak tersebut rawan menjadi target kelompok Islam lain seperti Islam transnasional atau Islam konservatif yang masif mencari pengikut di kalangan kelompok elite. Anak-anak dari kelompok berpendapatan menengah atau menengah atas memiliki peluang besar untuk menduduki posisi strategis di masa depan karena mereka mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Jika mereka kehilangan akar ke-NU-annya, bahkan kemudian menjadi penentang NU karena faktor pendidikan yang dijalaninya, maka situasi tersebut sangat disayangkan. Karena itulah, mau tidak mau, NU harus melayani kebutuhan pendidikan kelompok ini.

Terdapat beberapa persoalan dalam upaya membangun lembaga pendidikan untuk kelompok menengah atas ini. Pertama, sebagian kiai masih merasa canggung untuk membangun lembaga yang hanya dapat dijangkau oleh kelompok tertentu dengan fasilitas yang baik sementara kebutuhan layanan untuk masyarakat banyak saja belum mampu dipenuhi. Pandangan yang diyakininya adalah, berdakwah atau mendidik agama harus dilakukan untuk semua kelompok masyarakat. Tidak boleh pilih-pilih santri, apalagi hanya melayani mereka yang kaya saja.

Kedua, sebagian masyarakat juga belum mampu melakukan pemilahan. Jika ada pesantren yang mengenakan biaya mahal yang memang ditujukan untuk segmen pasar kelompok berpendapatan menengah atas, kemudian dicaci “Mau belajar agama kok dimahalin”. Akibatnya, ada keengganan untuk keluar dari norma yang selama ini berjalan bahwa pendidikan pesantren harus terjangkau bagi semua orang. Akhirnya pesantren terjebak melayani kelompok masyarakat menengah bawah sementara kelompok menengah atas Muslim cenderung memilih model pendidikan Islam lainnya yang menyediakan layanan dan kualitas yang sesusai kebutuhan kelompok menengah atas.  

Beberapa kiai telah berupaya mendirikan pesantren dengan segmen kelas menengah atas. Namun pengelolaannya juga tidak mudah karena hal ini mensyaratkan standarisasi layanan dan kualitas yang harus terus dijaga. Dan hal tersebut membutuhkan komitmen dan modal yang besar dalam jangka panjang. Bagaimanapun juga mengelola lembaga pendidikan harus memperhitungkan sumber pemasukan dan pengeluaran. Untuk mencapai titik impas ini, dibutuhkan waktu bertahun-tahun ketika pesantren sudah dikenal masyarakat sehingga banyak santri yang mendaftar atau memiliki sumber pendapat lain yang dapat mendukung pembiayaan pesantren. 

Karena membutuhkan banyak kompetensi, pendirian pesantren seperti ini membutuhkan kolaborasi dari banyak keahlian. Di luar kiai dan para pengasuh pesantren, harus terdapat orang-orang kaya yang bersedia memberi dukungan pendanaan operasional pesantren, minimal sampai titik impas ketika pemasukan dan pengeluaran yang didapat dari wali santri sudah seimbang. Juga harus terdapat orang-orang yang bertugas mempromosikan pesantren ke kelompok sasaran yang dituju agar cepat dikenal. Selain itu, diperlukan orang-orang yang membentuk citra atau branding pesantren sesuai segmen yang dituju. Perlu ada orang yang memiliki keahlian manajerial dan administrasi, serta perangkat keahlian pendukung lainnya. 

Pola ini jelas berbeda dengan pengembangan pesantren yang umumnya berlangsung secara alamiah, yaitu dimulai dari anak muda yang baru lulus dari pesantren kemudian mengabdikan dirinya untuk berdakwah di masyarakat. Lalu, ia dipercaya masyarakat dan selanjutnya ada satu dua santri yang menetap di rumahnya. Kemudian pelan-pelan santrinya bertambah sehingga perlu dibangun asrama dan masjid. Sampai akhirnya pesantren tersebut menjadi besar dan terkenal dan kiainya dikenal sebagai ulama kharismatik. Untuk mencapai tahapan tersebut dibutuhkan waktu panjang, bahkan lintas generasi. 

Tidak mudah untuk mengembangkan pesantren premium, tetapi jika kita ingin memberi pelayanan pendidikan agama bagi kelompok Islam menengah atas, maka hal tersebut merupakan suatu kemutlakan. Kalau tidak, maka kelompok tersebut akan memilih lembaga pendidikan Islam nonpesantren yang mampu memberikan standar pelayanan yang mereka inginkan. Dari sini terbuka peluang kelompok lain menebar pengaruhnya. Akibatnya, dalam jangka panjang, NU memiliki peluang ditinggal beberapa pengikutnya yang potensial. (Achmad Mukafi Niam)