Seni Budaya

Inilah 11 Fakta Menarik Seputar Perayaan Idul Fitri di Indonesia

Jum, 23 Juni 2017 | 17:04 WIB

Oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Peringatan Hari Raya Idul Fitri begitu dinanti-nantikan oleh jutaan Muslim di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan, umat  Islam di Nusantara ini dalam menyambut hari kemenangan setelah sebulan puasa, begitu berbunga-bunga, tak seperti umat lain di berbagai penjuru dunia. Dalam menyambut Idul Fitri kali ini, berikut kami sajikan sembilan fakta menarik seputar “keriuhan” Idul Fitri di Indonesia, yang tak ingin “biasa-biasa” saja.

Pertama, arus mudik. Arus mudik ini adalah arus orang-orang yang pulang dari kota-kota besar menuju kampung halaman atau tempat asalnya. Jutaan orang tenggelam di terminal, stasiun, bandara, dan khususnya di jalan raya. Mulai dari H-7 Idul Fitri, arus kendaraan biasanya padat merayap, dan tak sedikit memakan korban. Mereka rela dan mau berjuang dalam kemacetan demi untuk bertemu keluarga. Arus seperti ini akan terjadi lagi ketika mereka kembali ke kota untuk melanjutkan mimpi dan meraih asa.

Kedua, takbiran. Di malam Idul Fitri, takbiran–atau melantunkan takbir berulang-ulang–adalah hal yang paling romantis dan menakjubkan. Suara lantunan takbiran inilah yang membuat orang tak kuasa berada di luar kampungnya, atau tak bersama keluarga. Kadang, takbiran diadakan keliling kampung dengan oncor dan alat musik tradisional. Dengan iringan tabuhan bedug yang khas, takbiran di malam Idul Fitri begitu mengharukan, dan mampu menderaikan air mata. Bagi yang ada di tanah perantauan, bersiap-siaplah untuk tersayat hatinya dan berlinang air matanya mendengar lantunan kebesaran ini: Allâhu akbarullâhu akbarullâhu akbar; Lâ ilâha illallâh wallâhu akbar, Allâhu akbar walillâhilhamdu...dan selanjutnya.

Ketiga, ziarah kubur. Sudah menjadi watak dan tradisi Muslim Nusantara untuk tak melupakan leluhurnya. Menjelang Idul Fitri, mereka berbondong-bondong menuju ke makam orang-orang yang merupakan asal-usulnya. Mereka tak melupakan sejarah. Di hari-hari ini, pedagang bunga laku keras, omzet berlipat-lipat dari biasanya. Di depan makam leluhurnya, mereka merapalkan ayat-ayat suci dan doa kepada orang-orang yang dicintainya agar senantiasa dalam naungan-Nya, dilanjutkan tabur bunga, sebagai ganti pelepah kurma basah yang disebut dalam salah satu hadits nabi untuk mengurangi siksa kubur.

Keempat, suara petasan. Petasan ini juga disebut mercon atau long di beberapa daerah. Ada yang terbuat dari kertas, ada juga dari karbit, atau bambu (bumbung). Suaranya seperti bom atau meriam. Di tahun 90-an, di mana petasan masih bebas, semarak Idul Fitri begitu terasa. Gelegar dan gemuruh suara bersahut-sahutan di mana-mana. Sayang, seiring larangan dari otoritas karena “efek sampingnya” yang membahayakan, petasan kini jarang terdengar. Lebih disayangkan lagi, petasan dilarang tetapi tidak untuk produk-produk tertentu seperti kembang api, yang sepertinya produk impor. Di hari Idul Fitri, suara petasan di Indonesia adalah sebuah tradisi, sejarah dan legenda yang sungguh sayang untuk dilewatkan.

Kelima, THR. Kepanjangannya adalah Tunjangan Hari Raya. THR biasanya diberikan oleh pengusaha kepada buruh, politisi kepada konstituennya, pejabat kepada bawahannya, atau pimpinan kepada para pendukungnya. THR bisa berupa uang, sembako, atau hal-hal lain yang sekiranya menunjukkan simpati dan cinta untuk menghadapi hari bahagia. Terkhusus bagi anak-anak, THR berupa salam tempel. Hal inilah yang membuat orang berduyun-duyun menukarkan uang receh, untuk diberikan kepada anak-anak kecil yang tak kenal lelah silaturrahmi ke sana-sini merajut tali persaudaraan.

Keenam, sidang itsbat. Sidang itsbat adalah sidang penetapan awal Syawwal. Hal ini menarik karena di Indonesia seringkali berbeda-beda dalam penetapannya dan terkerucut pada dua organisasi massa Islam: NU dan Muhammadiyah. Perbedaannya adalah karena keduanya relatif beda dalam memakai standar penetapannya: NU cenderung menggunakan metode melihat bulan (ru’yatul hilal) sedang Muhammadiyah menggunakan perhitungan (hisab). Tak ayal, kadang Idul Fitri di Indonesia terjadi dua kali, bahkan lebih jika dengan ormas Islam kecil lain, kadang pula serentak. Meski demikian, patut disyukuri karena di bawah akar rumput tetap akur, tak ada bentrokan. Jika bersama alhamdulillah, jika beda juga alhamdulillah, karena umat Islam Indonesia unik: beridul fitri dua hari. Mana ada yang lain?

Ketujuh, pakaian baru. Baju baru alhamdulillah, dipakai di hari raya, tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama. Itulah lirik lagu yang dinyanyikan oleh Dhea Ananda dan ngehits di era 90-an. Memang, setelah berpuasa selama sebulan, dosa-dosa kepada Tuhan diampuni dosanya, bagi yang melakukannya dengan takwa. Untuk itu, menyambut hari baru, alangkah eloknya shalat Id dengan pakaian baru, sebagai persembahan kepada Sang Pencipta. Meski demikian, hal ini tak diharuskan karena hakikatnya Idul Fitri bukanlah bagi orang yang berbaju baru, tetapi bagi orang yang ketaatannya kepada Allah kian bertambah. So, jika tak beli pakaian baru, toh masih ada stok lama.

Kedelapan, ketupat opor. Tak lengkap bicara tradisi dan budaya Indonesia tanpa bicara kuliner. Untuk urusan teknologi, kita (masih) kalah dengan Jepang dan Cina. Tapi tidak untuk urusan makanan. Di sini, semua makanan ada, termasuk tradisi di Hari Fitri, yaitu ketupat dan opor ayam. Ketupat adalah nasi lembut yang dimasak menggunakan janur kuning. Sedangkan opor ayam adalah masakan ayam dengan santan, bumbu dan rempah-rempah khas yang kaya rasa sehingga maknyus di lidah. Bagi sebagian Muslim tanah air, tak lengkap melewatkan Idul Fitri tanpa kehadiran ketupat dan opor ayam terhidang di meja makan.

Kesembilan, halal bihalal. Nah, inilah acara yang sangat penting. Dalam doktrin Islam, meski Tuhan Maha Pemaaf dan mengobral maaf-Nya kepada hamba yang taat, tetapi tidak untuk dosa kepada sesama. Juga, karena semakin pesatnya arus urbanisasi, perpindahan penduduk dari desa ke kota, tak memungkinkan untuk sowan, sungkem, dan meminta maaf kepada saudara, teman dan kerabat secara intens. Untuk itu, Walisongo jauh-jauh hari membuat tradisi silaturrahmi untuk maaf-memaafkan ini. Di era Presiden Soekarno–atas usulan organisator NU yaitu KH Abdul Wahab Chasbullah–halal bihalal ini terlebagakan sebagai sebuah term dan tradisi, yang juga diselenggarakan oleh negara.

Kesepuluh, pertanyaan misterius. Suasana Idul Fitri–atau banyak yang menyebut Hari Lebaran–adalah suasana kehangatan kumpul keluarga. Dalam forum itu, berbagai hal dibicarakan, mulai dari bertanya kabar, pekerjaan sampai hal-hal sepele. Bagi anak yang sudah berumur–baik cowok maupun cewek, apalagi yang jomblo–harus siap-siap berbesar hati menghadapi pertanyaan aneh dan sulit. Berdasarkan Lembaga Survey Asal-asalan (LSA), ada satu pertanyaan yang paling sulit dan misterius bagi para kawula muda, yaitu: “kapan kawin?”

Kesebelas, “Merampok”. Khusus yang terakhir ini, dapat dikatakan tradisi bukan tradisi. Pada umumnya, setelah setahun merantau di kota, mereka pulang ke kampung halaman membawa oleh-oleh dari kota berupa pakaian, makanan atau hal-hal lain sebagai hadiah kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Ini juga sebagai cinta dan identitas bahwa mereka benar-benar bekerja di kota. Meskipun demikian, kata pepatah tak dapat dipungkiri: kasih ibu sepanjang jalan, sedangkan kasih anak sepanjang penggalan. Ketika sang anak hendak balik ke kota, orang tua membalasnya dengan bekal aneka macam: dari berkarung beras, makanan, sayuran, jajanan, sampai tanaman. Seakan anak tak mudik, tapi merampok orang tua!


*) Santri, tinggal di Purworejo.