Wawancara

Upaya BWI untuk Mempermudah Orang Berwakaf

Sel, 23 Juli 2019 | 06:30 WIB

Upaya BWI untuk Mempermudah Orang Berwakaf

Ketua BWI Muhammad Nuh (Foto: Syakir/NU Online)

Narasi wakaf dianggap masih minim di berbagai sektor. Tak terkecuali di dunia maya. Tak ayal, orang yang menjadi wakif pun belum begitu banyak. Karenanya, Badan Wakaf Indonesia (BWI) terus berinovasi dengan mengemukakan potensi wakaf dari berbagai sektor.

BWI rutin menggelar Forum Kajian Wakaf dengan berbagai tema guna menerima rekomendasi dan masukan. Kegiatan tersebut mengundang berbagai pihak terkait sehingga saran yang diterima berasal dari berbagai sisi.

Jurnalis NU Online, M. Syakir NF bertemu dan berbincang dengan Ketua BWI Mohammad Nuh tentang wakaf saat ini pada Forum Kajian Wakaf dengan tema Potensi Wakaf Saham dan Tantangannya di Indonesia di Bayt al-Qur’an, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (17/7).

Bagaimana BWI membuat semakin banyak orang berwakaf?

Kita permudah orang yang mau berbuat baik. Permudahlah siapapun yang mau berbuat baik. Salah satunya pakai diversifikasi. Kalau misalkan wakaf harus tanah, pusing orang. Kalau wakaf tanah satu meter kan tidak mungkin. Oleh karena itu, dengan variasi wakaf melalui Rupiah atau wakaf melalui uang, bisa saja hanya wakaf satu meter persegi itu.

Saya kumpulin akhirnya dapat 100 meter. Bahkan kalau misalkan langsung lima juta jika harga tanah permeternya Rp 10 juta. Oke, di-breakdown, diangsur. Jadi 10 juta tapi saya angsur sejutaan ya. Boleh. Sejuta. Sejuta. Sejuta. Kumpul 10 juta.

Bahkan pakai temporer juga boleh. Sekarang bisa digunakan, tetapi lima tahun lagi saya perlukan. Temporer untuk lima tahun. Lima tahun saya ambil lagi. Fleksibel. Bahkan kalau pulsa ada poin. Itu juga bisa diwakafkan. Ada 500 misalkan. Dikumpulkan. Kita serahkan ke providernya, equivalentnya berapa.

Jadi, esensinya itu permudah orang yang mau berbuat baik. Yassiru wa laa tuassiru. Bassyiru wa laa tunaffiru.

Buku juga bisa diwakafkan. Saya baru nulis buku. Royaltinya saya wakafkan. Dwiki Darmawan wakafkan lagunya. Bayarannya diwakafkan. Karena dia bisanya memang nyanyi.

Sekarang sesuatu yang punya value dan tidak nabrak syar’i boleh diwakafkan. Pengelola memastikan hartanya tidak hilang.

Narasi wakaf masih sangat kurang di berbagai sektor. Bagaimana langkah BWI dalam mensosialisasikan wakaf?

Sosialisasi perwakafan dapat ditempuh melalui tiga cara. Pertama, sosialisasi terstruktur, yakni melalui pendidikan. Yang paling gampang lewat pendidikan. Jadi, materi agama itu harus ada pokok bahasan tentang wakaf. Mulai SD sudah tahu. Bahkan di sekolah dibuat habituasi.

Biasanya, siswa-siswi sekolah bersedekah setiap Jumat. Setiap Jumat tersebut dapat bergantian sedekah dan wakaf. Hasil wakaf tersebut dibuat kantin. Kita dorong anak-anak untuk beli di sini. Kalau untung bisa dibagikan lagi. Keuntungannya untuk mauquf alaih, misalnya beasiswa untuk siswa.

Kedua, sosialisasi melalui media publik. Informasi publik dari cetakan hingga online. Space yang ada kita isi, kita jejali dengan wakaf.

Ketiga, melalui policy (kebijakan). Sebab, informasi bisa tersampaikan secara terstruktur dan sistematis bisa melalui kebijakan yang ditetapkan oleh para pemangkunya. Kalau seandainya bagi umat Islam diberi keleluasaan zakat disalurkan sendiri boleh. Tapi ada satu atau setengah persen untuk wakaf. Potong di kementerian Keuangan.

Saat ini BWI juga melakukan Wakaf Goes to Campus. Kenapa ke kampus, Prof?

Jadi kampus-kampus besar seperti UI, ITB, Unpad, UIN, Unair, ITS, UNY, ke mana-mana itu sudah kita lakukan. Habis ini kita pindah ke Sumatera. Kita pindah ke Sulawesi. Alasannya simpel. Karena mereka berusia 20 tahunan. Dan mereka ini punya probabilitas untuk jadi orang kaya ada. Punya gaji tuh ada karena mereka dari kampus besar, orang-orang top, bagus, pilihan, dan seterusnya. Kan tingkat keberagaman cenderung naik. 
 
Sehingga kalau ini kita garap mulai sekarang itulah namanya buying the future with present value. Kita membeli masa depan dengan harga sekarang. Sehingga yang kita beli bukan anak-anak sekarang semata. Nanti lima tahun lagi dia bisa kerja. Dia tahu tentang wakaf. Disisihkan satu persen, dua persen. Dan ini akan gelinding terus.

Filosofinya kan gini, apa yang kita lakukansemunaya harus muaranya ke ssana, masa depan. Karena orang yang tidak punya masa depan pada gilirannya dia tidak punya masa kini. Karena dari sisi pembagian waktu kan, masa lalu masa kini masa depan. Masa depan akan menjadi masa kini, masa kini akan menjadi masa lalu sehingga yang kita ingin lakukan masa depan, tidak punya masa kini. Dia tinggal masa lalunya saja.

Oleh karena itu yang kita garap, utamanya yang anak muda. Ketika saya bawa bola, jika yang tidak profesional itu mengejar terus ke saya. Jika pemain yang profesional, dibiarkan saja itu, tetapi dijaga mau ke mana dia, ke depannya. Begitu kamu ini kejar terus, habis waktunya. Tetap ada yang menghalangi, tapi yang tidak dilupakan yang satunya. Ini lari ke mana arahnya. Gak semuanya mengejar. Tapi menyebar. Yang ke depan ya anak-anak mahasiswa itu. Oleh karena itu kita garap sembari jaga yang tua-tua.

Apa nilai lebih dari wakaf sehingga orang perlu untuk berwakaf?

Sangat beda dengan wakaf. Oleh karena itu punya nilai strategis luar biasa. Pasalnya, pengelola zakat, infak, dan sedekah bekerja pada dua sisi, yang menerima atau mengambil dan membagi hasil yang telah dikumpulkannya kepada para mustahik atau penerima sedekahnya. Sehingga kalau saya sebagai amil tugasnya menyalurkan. Sangat beda dengan wakaf.

Sementara wakaf tidak sekadar menerima dan menyalurkan hasil penerimaannya saja, tetapi juga mengelola dana tersebut agar menghasilkan nilai tambah. Nazir bukan sekadar collecting dan distributing, tapi juga mengelola aset wakaf itu agar memiliki nilai tambah dan digunakan.

Sebab prinsip dasar wakaf itu dana yang diterima oleh nazir tidak boleh hilang atau habis digunakan. Begitu sampean mikir harta wakaf gak boleh habis, ini berarti untuk investasi, bukan untuk operasi. Misi wakaf bukan konsumtif, tetapi produktif.

Maksudnya produktif seperti apa, Prof?

Artinya, harta yang diwakafkan diharapkan dapat memberikan hasil, tidak habis begitu saja. Sebagaimana perusahaan, wakaf adalah capital expenditures yang tidak boleh habis.

Kalau dalam perusahaan ada operational expenditures (opex) itu untuk operasi itu habis. Kalau capital expenditures itu investasi gak boleh habis. Gak boleh hanya untuk opex, capitalnya baiknya lebih besar.

Jika umat berinvestasi lebih banyak dengan pengelolaan wakaf yang baik, kesejahteraan itu betul di depan mata. Sebab, sebagaimana dana abadi, wakaf itu tidak akan habis. Al-Azhar Kairo itu wakaf. Sebelumnya ada Al-Qarawiyyin di Maroko tahun 800-an.

Konsep inilah yang kemudian diadopsi oleh kampus-kampus di negara-negara lainnya, seperti di Eropa dan Amerika, setelah hampir 10 abad setelahnya. Baru tahun 1800-an ada Hamburg, Stanford, Oxford ada macem namanya indoment Fund. Itu sebetulnya mengadopsi aset wakaf di Al-Azhar dan Qurawiyyin. Majunya MIT (Massasuchets Instute of Technology) Stanford Harvard itu karena dana abadi.