Cerpen

Di Bawah Pohon Bidara

Ahad, 13 Februari 2022 | 12:00 WIB

Di Bawah Pohon Bidara

Ilustrasi (istimewa)

Cerita Pendek Yusuf Setia Budi

Tepat pukul sembilan pagi di depan lapas, banyak warga Desa Tanasma berkumpul untuk menyambut bebasnya seorang warga. Setelah enam bulan mendekam dalam sel karena tuduhan pencurian tanpa sedikit pun bukti, Pak Wo Mahdi akhirnya dinyatakan bebas tanpa syarat.

 

Berbeda dengan warga Tanasma yang bersuka cita pagi itu, tampak juga beberapa orang menangis. Ternyata mereka adalah keluarga dari Pak Manto, petugas lapas terkejam yang pada waktu yang sama juga menjalani pencopotan jabatan secara tak terhormat. Momen ini tak disia-siakan Pak Wo Mahdi. Ia sengaja tidak langsung pulang untuk menunggu selesainya upacara pencopotan jabatan tersebut. Dia sengaja mencuri perhatian dengan menyulut rokok berbau kemenyan kesukaannya yang dibawa warga Tanasma.

 

Setelah selesainya upacara pencopotan jabatan, Pak Manto bergegas lari menghampiri rombongan Pak Wo Mahdi sambil terisak memohon,
"Pak, maafkan saya Pak. Saya tahu saya salah, Pak. Maafkan saya, saya janji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi."


Gagahnya penjaga lapas seperti tak berarti tatkala melihat sosok penjaga lapas terkejam itu memohon sambil berlutut kepada Pak Wo Mahdi, orang paruh baya kurus yang tangannya selalu beraroma kemenyan.

 

Sontak hal itu membuat warga Tanasma keheranan. Bagaimana bisa sosok gagah dan berwibawa ini berlutut pada Pak Wo Mahdi?

 

Lalu dengan penuh karisma Pak Wo Mahdi menutur satu kalimat.

 

"Mari ke rumah, kita makan bersama. Istri saya sudah masak ingkung angsa kesukaan saya." Dan semuanya pun segera naik mobil doplak yang disewa warga Tanasma untuk menjemput Pak Wo Mahdi. Pak Manto pun dengan dibonceng anak sulungnya mengikuti rombongan itu.

 

Di tengah perjalanan, Pak Manto dibuat keheranan, bagaimana bisa ada mantan napi yang disambut semeriah ini di kampung? Sahutan shalawat dari kiri jalan dibalas dengan lantang oleh warga di kanan jalan. Pekik takbir juga terdengar seraya warga mengangkat tangan tanda semangat menyambut kehadiran Pak Wo Mahdi kembali ke kampung halaman. 

 

Sesampainya di rumah Pak Wo Mahdi, Pak Manto kembali dibuat keheranan karena di rumah ini tak ada satupun pintu, hanya ada tirai untuk penutup ruangan.

 

"Monggo Pak pinarak (Silakan masuk, Pak), dan dimakan seadanya ya Pak," ujar Pak Wo Mahdi sembari istrinya mengeluarkan tumpeng nasi putih, nasi kuning, nasi jagung, dan engkung angsa besar.
 

Mulailah menyantap hidangan bersama dengan beberapa tetangga Pak Wo Mahdi dan kembali ditutup dengan merokok beraroma kemenyan bersama, sontak membuat seluruh ruangan rumah beraroma kemenyan. 

 

Setelah itu, beberapa tetangga pamit dan hanya menyisakan Pakde Sholehun dan istri Pak Wo Mahdi yang dari tadi ingin sekali mengajukan pertanyaan: Sebenarnya siapakah pria gagah yang ikut serta ke rumah ini?

 

"Nuwun sewu Pak, Njenengan itu siapa ya?" tanya Pakde Sholehun kepada Pak Manto

 

Sebelum Pak Manto menjawab, Pak Mahdi menutup seluruh tirai di rumahnya dan mulai menceritakan cerita yang sebenarnya dengan tetap merokok dan sibuk melinting rokok untuk ia sambung kembali.

 
"Jadi gini Pakdhe, ini Pak Manto. Dulu dia orang yang menyeret saya masuk penjara. Saya tahu Pak Manto ini dissuruh orang yang menuduh saya, tapi karena dibayar beliau jadi tetap bersikeras untuk tetap menahan saya meskipun sebenarnya tidak ada bukti kuat."


Kata-kata itu sontak membuat Pak Manto keheranan, bagaimana bisa Pak Wo Mahdi tahu ini semua? 

 

Kemudian Pak Wo Manto menyulut lagi lintingan menyan, hingga di jarinya kini ada dua batang lintingan yang semuanya menyala. Dengan menegakkan badan dia menjelaskan, "Pak Manto dulu pernah saya kasih tahu, saya tidak salah. Namun apa pun itu dia tetap aparat dan saya tidak akan melawan. Walaupun saya benar, satu-satunya cara saya melawan adalah dengan bergerak sesuai dengan kemampuan saya, yaitu mantan pasukan langit."


Pak Manto melongo mendengarkan itu semua.


"Dan saya pernah memperingatkan Pak Manto, kan? Kalau saya tidak keluar sekarang, beberapa saat lagi kita keluar bersama," tegas Pak Wo Mahdi. Pak Manto pun menunduk menyadari bahwa orang yang ia hadapi bukan orang sembarangan dan dia menyadari kesalahan dia menerima suap dari juragan tanah yang menuduh Pak Wo Mahdi mencuri emas batanganya.

 

Pak Manto pun bertanya, "Lalu bagaimana ceritanya orang seperti Njenengan yang dicintai warga Tanasma bisa dituduh sedemikian keji?"

 

Memang tak habis pikir jika sosok seperti Pak Manto ada yang berani memusuhi.


Lalu Pak Wo Mahdi bergegas ke kamar mengambil gembok, rantai dan borgol yang ia miliki dan dia meminta Pak Manto untuk memborgol dia sekencang-kencangnya lalu ditutuplah dia dengan sarung. Tak sampai satu menit semua gembok dan borgol terbuka. Pak Manto dan putranya hanya menganga melihat kemampuan Pak Wo Mahdi yang seperti pesulap itu. Tak sampai di situ, Pak Wo Mahdi kembali meminta lehernya diikat sarung dan ditarik oleh Pakde Solehun dan Pak Manto, dan tiba-tiba sarung itu seperti melewati leher Pak Wo Mahdi.

 

Dengan tenang Pak Wo Mahdi menjelaskan, "Pak Manto, saya ini dulu pertapa, 40 hari saya bertapa di bawah pohon bidara depan rumah tanpa sedikit pun orang tau, bahkan istri saya pun tak tahu keberadaan saya. Dan akhirnya saya mempunyai sedikit kemampuan ini," cerita Pak Wo Mahdi sambil mematikan salah satu lintingannya.

 

"Lalu saya mengikuti pendidikan militer dan di sana saya menjadi spesialisasi penerobos kunci. Namun, saya harus mengundurkan diri karena kehilangan banyak waktu bersama anak istri saya. Sampai ketika anak saya meninggal pun, saya tidak bisa ikut mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya karena saya sedang bertugas," jelas Pak Wo Mahdi.

 

Istrinya sambil tersenyum sederhana juga ikut bercerita, "Dulu bapak juga pernah masuk ke rumah orang ketika pintunya sedang terkunci. Begitu orange (orangnya) mau keluar membuka kunci, bapak sudah duduk di ruang tamu. Jadinya semua warga tahu kalau Pak Wo Mahdi mempunyai keahlian seperti itu." 

 

Pak Manto kembali bertanya, "Lalu kenapa tuduhan itu bisa sampai ke Njenengan Pak? Dan kenapa harus menuduh?" Pak Wo Mahdi kembali menjawab, "Hmmmm, ini soal nama baik Pak. Jadi juragan tanah itu adalah pemegang aset desa, berupa berkilo-kilo emas dan pusaka desa. Lalu beberapa barang yang ia simpan di gudang tersebut hilang, entah karena apa saya tidak tahu. Yang jelas, cara paling mudah adalah menuduh orang yang bisa masuk melewati sesuatu yang sudah ditutup rapat, dan orang itu saya."

 

Sontak Pak Manto meneteskan air mata, mengingat sejumlah uang yang ia terima untuk memuluskan fitnah keji juragan tanah tersebut. Ia merasa bersalah dan merasa tidak sepantasnya melakukan ini semua.

 

Tiba-tiba Pak Wo Mahdi kembali berkata, "Sudah, tak usah pusing, yang penting jangan diulangi lagi. Soal pekerjaan itu di jok motor ada sedikit uang untuk modal usaha Njenengan. Ga usah diitung berapa jumlahnya. Kalau mau membuka nanti kalau sudah di tengah jalan depan lapas ya Pak."

 

Pak Manto hanya bisa mengangguk melongo sambil mencium tangan Pak Wo Mahdi.

 

Pak Manto pulang bersama putranya dengan penuh tanda tanya. Apakah benar kata orang itu? Tetapi apa salahnya kita turuti saja?

 

Sesampainya di depan lapas, Pak Manto berhenti untuk membuka jok motornya. Betapa terkejutnya Pak Manto dan putranya kala melihat beberapa emas batangan dan uang tunai. Mereka pun bingung dan sama sekali tak mengerti apa yang sebenarnya mereka alami. Di situ juga terselip kertas yang ada dua biji, entah biji apa itu.

 

Di kertas itu tertulis, "Pak, jika mau saya memaafkan Bapak, cukup pergunakan sedikit harta ini dengan baik. Dan itu adalah biji bidara. Tanamlah di depan rumah bapak, lalu setelah tumbuh setinggi badan Bapak. Duduklah 40 hari di situ. Anda saya pasrahi meneruskan ilmu saya! Jangan meminta kehidupan yang mudah, mintalah kekuatan untuk menjalanni kehidupan ini. Saya hanya perantara ilmu, dan Anda adalah perantara selanjutnya."

 

Pak Manto pun bersujud dan bergegas pulang untuk menjalankan amanah Pak Wo Mahdi sembari berteriak, "Sendiko dawuh, Guru."

 

Lima belas tahun berselang, kini hidup Pak Mahdi sudah berubah drastis. Dia menjadi sosok yang tenang dan berwibawa, serta omongannya seperti bisa bagi semua yang mendengarkannya. Dan kini tugas Pak Manto adalah mencari pewaris ilmu tersebut.

 

Yusuf Setia Budi, aktivis Ansor, Banser, Rijalul Ansor, NU Care-LAZISNU tinggal di Kendal, Jawa Tengah.

***

 

NU Online menerima cerita pendek. Panjang naskah 900-1400 kata. Tema bebas, tidak menyinggung pihak lain. Lebih disukai tema cerpen yang mengandung peristiwa kekiniaan atau sebagai refleksi dari peristiwa nyata kekinian. Kirimkan naskah ke [email protected] dengan Subject pada email: Cerpen-Nama Penulis-Judul Cerpen. Sertakan profil singkat, identitas penulis, dan nomor WA yang dapat dihubungi. Tersedia honor bagi penulis yang naskahnya dimuat.