Cerpen

Senyum Mbah Kasim

Ahad, 12 Maret 2023 | 06:00 WIB

Senyum Mbah Kasim

(Foto: ilustrasi/Kendi Setiawan)

Cerpen Ali Ahmad Syaifuddin

"Nak, sekarang siapa?" tanya Mbah Kasim, menunjuk deretan huruf yang berada di papan depan. Rupanya, umur sudah merampas jangkauan penglihatannya. 

 

"Sekarang giliran sampeyan, Mbah, jadi bilal," ucapku kepadanya. Mbah kasim hanya mengangguk lalu berjalan ke depan sambil membungkuk. Tangannya ia julurkan ke bawah, sesekali juga menyalami orang-orang yang duduk khusuk yang dilewatinya. 


Jamaah belum terlalu banyak. Mbah Kasim terlihat sedikit leluasa melewati shaf-shaf yang belum terisi yang ada di dekatnya. Bila tidak menemukan jalan untuk maju ke depan, Mbah Kasim mencolek seseorang dari barisan shaf; memberi isyarat untuk membukakannya jalan. Jika tidak merespons, dengan hati-hati, ia melangkahi pertemuan dua lutut jamaah di depannya.


Sampai di depan, Mbah Kasim meraih mikrofon dan mulai membaca bacaan bilal. Semua orang mendengarkannya.
Mbah Kasim adalah muadzin di masjid di desa kami. Tarikan suaranya, setiap lima waktu selalu mengajak kami untuk pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Ia  tinggal seorang diri. Aku tidak pernah melihat sanak saudaranya mengunjunginya. Semua orang tahu itu.

 

Keseharian Mbah Kasim isi dengan merawat masjid. Ia melakukan semua yang ia bisa lakukan di masjid. Mulai dari mengepel, menyapu, memperbaiki genteng yang bocor, memotong rumput dan lain sebagainya. Mbah Kasim juga rajin shalat, mungkin ia adalah orang yang paling rajin salat di antara orang-orang seusianya. Ciri khas Mbah Kasim adalah selalu memakai surban berwarna merah yang telah pudar. 

 

Meskipun memiliki jasa yang banyak di lingkungan masjid, Mbah Kasim mendapat sedikit perhatian dari orang-orang sekitar. Bahkan ada sebagian dari mereka yang menjadikannya bahan lelucon. Terutama saat Mbah Kasim telat melantunkan adzan. Maklum, umur tidak hanya merampas jangkauan penglihatan, bukan? Ada banyak hal, termasuk pendengaran dan ingatan. 


Mbah Kasim juga tidak begitu mengerti dengan angka-angka digital berwarna merah yang menurut orang-orang disebut sebagai penunjuk waktu. Terlalu rumit bagi seorang pria yang umurnya sudah jauh melebihi umur Nabi. Mbah Kasim akan adzan bila disuruh adzan. Celakanya, tidak semua orang mau memberi tahu Mbah Kasim.


Barangkali sifat pendiamnya yang menjadi sebabnya. Penyendiri dan tidak pernah tersenyum saat bertemu orang. Sama sekali! Bahkan aku sempat berpikir, barangkali dia telah lupa bagaimana cara menarik bibir untuk tersenyum. 


Tidak pernah juga aku lihat ia berkerumun dengan orang banyak. Jangankan berkerumun, mengobrol dengan satu dua orang pun tidak pernah aku lihat. Yang sering aku lihat: ia hanya mengepel di masjid, mengumandangkan adzan, shalat dan menyapu. Itu-itu saja. Tidak lebih.


Mbah Kasim mampu mengurusi masjid meskipun sendirian. Masjid kami tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Masjid kami cukup bila digunakan shalat Jumat. Anehnya, masjid kami terlalu luas untuk shalat berjamaah. Dan tidak mampu menampung jamaah shalat Hari Raya. Saat Hari Raya tiba, aku baru menyadari, betapa banyaknya lelaki di desaku. 


Saat Jumat tiba, bagian dalam masjid mayoritas diisi oleh bapak-bapak dan orang-orang sepuh. Sementara anak-anak muda mengisi bagian luar: berkerumun di cagak pojok bagian luar. Mereka mengobrol dan bercerita tentang apa saja. Mereka semua memiliki dunianya masing-masing.

 

Bapak-bapak dan orang-orang sepuh yang berada di dalam juga memiliki dunianya sendiri. Umur telah menyadarkan mereka untuk harus percaya akan datangnya kematian. Dan siksaan setelahnya. Untuk itu ibadah mereka. Barangkali shalat Jumat berjamaah sudah cukup, pikir mereka.

 

Mbah Kasim mungkin juga begitu, pikirku. 


Kesendirian Mbah Kasim memunculkan banyak rumor di antara orang-orang. Kesendirian dan sikap yang sangat tertutup terasa aneh bagi masyarakat desa, sehingga di antara mereka mulai membuat-buat spekulasi tak berdasar. Ada yang mengira bahwa Mbah Kasim dulunya adalah mantan teroris, ikut golongan sesat, korban pembantaian, diusir keluarga dan segala macam tuduhan yang tidak mengenakkan. 

 

Hanya karena sikapnya yang pendiam dan hidupnya yang tanpa teman, orang-orang sudah menuduhnya yang bukan-bukan. Entahlah, aku tidak tahu kebenaran tentang rumor-rumor itu. Dan memang tidak ada orang yang benar-benar tahu. Hanya Allah dan Mbah Kasimlah yang tahu.


Namun, aku tidak dapat menahan diri untuk tidak mengetahuinya. Rumor-rumor itu mengajakku untuk menyingkap kebenarannya. Karena itulah pada suatu kesempatan aku bertanya padanya dan aku mendapat jawaban yang tidak aku duga sebelumnya. 


Saat itu Mbah Kasim tengah mengepel. Aku menghampirinya dan mengajaknya duduk untuk mengobrol sebentar. Seperti biasanya, Mbah Kasim hanya melirikku sebentar lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Ia menunjuk lantai sebagai isyarat bahwa ia harus menyelesaikan pekerjaannya dan tidak mau mengobrol denganku.

 

Aku yang tidak terima dengan perlakuan seperti itu, langsung menyodorkan pertanyaan kepada Mbah Kasim. "Kenapa Mbah, sikap sampeyan seperti ini? Kenapa sampeyan juga tidak pernah tersenyum?"


Mbah Kasim menatapku. Dengan malas ia kemudian berkata, "Bagaimana? Bagaimana saya bisa tertawa saat menyadari dunia ini begitu hina?"


Aku sangat terkejut dengan jawaban Mbah Kasim. Jawaban yang ia lontarkan tidak pernah ada dalam bayanganku. Ternyata sikap yang selama ini ia tampilkan berasal dari pemahaman agama yang tidak benar. "Ya Allah Mbah, tidak seperti itu juga. Sampeyan tahu Nabi? Beliau adalah manusia yang paling bertakwa kepada Allah dan paling takut kepada Allah. Tentu Nabi juga tahu betapa hinanya dunia ini. Tentu pula Nabi sangat menjauhi dunia ini. Tapi meskipun begitu, senyum Nabi selalu ada untuk setiap orang yang beliau jumpai. Sementara sampeyan seperti ingin melangkahi ajaran Nabi saja. Hati-hati lho, Mbah," kataku.


Mbah kasim terdiam. Ia tampak berpikir.


"Kamu benar, Nak," kata Mbah Kasim, kemudian ia berlalu, melanjutkan kembali pekerjaannya. Aku memerhatikan punggung Mbah Kasim yang tengah mengepel tersebut. Orang seperti dirinya tidak semestinya dihindari, justru ia membutuhkan teman, pikirku.


Sejak saat itu, aku mulai menyapa Mbah Kasim dan mencoba mengajaknya berdialog. Mbah Kasim tetap saja tidak berubah. Wajahnya tanpa ekspresi, tanpa senyum. Mulutnya yang terkatup tanpa suara. Tetap saja. Kurasa perubahan membutuhkan waktu lama, dan aku ingin mengamatinya sedikit-demi sedikit. Sampai akhirnya pada Jumat ini, ia berbicara padaku,  bertanya perihal siapa yang menjadi bilal hari ini.


Setelah beberapa Mbah Kasim membaca bacaan bilal, yang tidak pernah diduga sebelumnya terjadi. Mbah Kasim tersenyum. Rekah sekali. Tapi itu tidak bertahan lama setelah tubuhnya membawa senyum itu ambruk. Semua jamaah kaget. Aku pun begitu. 


Mbah Kasim dinyatakan meninggal dunia dengan senyum yang tak pernah ia ungkap sebelumnya. Kini rumor tentang Mbah Kasim beredar kembali. Bedanya, sekarang tentang senyum yang rekah. Semuanya hanya  rumor. Tidak ada yang benar-benar tahu. Hanya Allah dan Mbah Kasimlah yang tahu.


Sukorejo, 11 Maret 2023


Penulis adalah santri Mahad Aly Situbondo.