Daerah HARLAH RA KARTINI

Ketika Cendekiawan Bincang Kedudukan Perempuan dalam Islam

Sel, 21 April 2020 | 16:15 WIB

Ketika Cendekiawan Bincang Kedudukan Perempuan dalam Islam

Kesetaraan gender. (Ilustrasi: NU Online)

Malang, NU Online
Kedudukan perempuan dalam Islam sungguh tinggi. Nabi Muhammad SAW bahkan menyebut derajat seorang ibu tiga tingkat dibanding ayah. Upaya mendudukkan kembali perempuan pada posisi terhormat sejatinya telah dimulai sejak masa Rasulullah.
 
Sebelum pahlawan nasional RA Kartini lahir, penghormatan kepada kaum hawa tersebut telah dipraktikkan Rasulullah SAW. Sebagai salah satu misi kenabian, kedudukan mulia perempuan harus diperhatikan dan dibela. 

Kesimpulan tersebut mengemuka dalam jagongan online yang digelar Komunitas Perempuan Bergerak dalam rangka peringatan Hari Kartini, Selasa (21/4). Diskusi bersama Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace, Hj Siti Musdah Mulia, ini bertajuk 'Refleksi Hari Kartini: Why #MuslimahTolakGenderEquality?'.

Dalam paparannya, Musdah mengatakan bahwa keseteraan gender telah dipraktikkan jauh sebelum RA Kartini lahir. Kesetaraan gender merupakan misi kenabian Rasulullah SAW. Oleh karena itu, sebagai tugas-tugas kemanusiaan, ia masih harus terus dilanjutkan.

“Beberapa contoh tindakan yang dilakukan Rasulullah seperti menghilangkan perbudakan, mengapresiasi kemanusiaan perempuan, dan menetapkan mahar sebagai hak milik perempuan merupakan teladan keberpihakan beliau kepada kesetaraan gender," paparnya.

Penulis buku Ensiklopedi Muslimah Reformis ini menambahkan, bahwa RA Kartini selalu menekankan prinsip otonom. “Bahwa perempuan harus menjadi makhluk otonom," tegas Musdah. 


Menurut Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, inti ajaran Islam adalah konsep tauhid, yakni satu-satunya Tuhan dan Penguasa yang mutlak disembah adalah Allah SWT. Sehingga konsep tauhid akan menggiring kita pada penegakan nilai-nilai keadilan. Manusia diciptakan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan, yaitu hidup tanpa diskriminasi maupun penindasan.

Tidak diskriminatif
Perempuan asal Bone, Sulawesi Selatan ini menambahkan, tolok ukur keberhasilan kesetaraan gender adalah saat laki-laki dan perempuan mampu mengekspresikan dirinya. Secara sadar dan bertanggung jawab bebas menentukan pilihan hidupnya. 

“Tolok ukur lain adalah saat semua public policy (kebijakan publik) tidak lagi mengandung unsur diskriminatif maupun eksploitatif terhadap laki-laki maupun perempuan," tambah Musdah.

Mirisnya, lanjut dia, kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Dalam Siaran Pers Komnas Perempuan mengenai Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan disebutkan, sepanjang 2019 tercatat sebanyak 431.471 kasus.

“Semakin meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia, tidak diimbangi dengan aturan yang mempermudah korban dalam proses penanganan maupun pendampingan. RUU P-KS juga tidak kunjung disahkan,” ungkapnya.

Dikatakan, bincang-bincang melalui aplikasi Zoom ini mencoba mengulas kembali tagar yang sempat viral di platform Twitter beberapa pekan lalu. Jagongan online kedua ini digelar untuk kembali meramaikan tagar yang cukup viral tersebut.

Diketahui, pada 4 April 2020, telah diselenggarakan sebuah konferensi internasional online melalui kanal YouTube Khilafah Channel bertema 'Beijing+25: Apakah Kedok Kesetaraan Gender Telah Terbongkar'. Pembicara berasal dari sejumlah negara, antara lain dari Indonesia. Tak berselang lama, tagar #MuslimahTolakGenderEquality pun menjadi trending topic di Twitter.  

Jagongan online ini dimoderatori Yuyun Nailufar, salah seorang pegiat Perempuan Bergerak. Di akhir diskusi, alumnus Universitas Negeri Malang ini menutup dengan kesimpulan, bahwa kesetaraan gender harus dilanjutkan. Sebab, itu merupakan teladan Rasulullah SAW.

Kontributor: Nila Zuhriah
Editor:  Musthofa Asrori