Fragmen

KH Wahid Hasyim, Tentara Rakyat, dan Kopi

Kam, 27 Februari 2020 | 03:00 WIB

KH Wahid Hasyim, Tentara Rakyat, dan Kopi

KH Wahid Hasyim. (Dok. Perpustakaan PBNU)

Dari jalan cukup panjang dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Jepang, KH Wahid Hasyim dalam banyak kesempatan seringkali menjelaskan isi ramalan Ronggowarsito tentang Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menduduki Indonesia.

Kepercayaan tersebut ditegaskan oleh Kiai Wahid Hasyim harus menjadi dorongan untuk berjuang. Ayah Gus Dur tersebut mengatakan, “Namun, diinsyafkan kepada masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin, pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT.”

Dalam upaya menggerakkan masyarakat melakukan perlawanan itu, Kiai Wahid Hasyim kerap mengunjungi daerah-daerah. Di Jakarta Kiai Wahid bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasional dan kalangan pemuda.

Di daerah-daerah, beliau mempunyai anak buah dari kalangan supir truk, bengkel mobil, kondektur kereta api, dan pedagang keliling untuk melakukan tugas-tugas penghubung. Selain itu, hubungan, jaringan, dan koneksi dengan dunia pesantren tambah diperkuat. Konsolidasi tak biasa dari ‘Pasukan Rakyat Jelata’.

Ikhtiar perjuangan Kiai Wahid Hasyim sejak awal memang tidak terlepas dari rakyat Indonesia. Lebih dari sekadar menggerakkan kekuatan rakyat, tetapi lewat perjuangan merebut kemerdekaan, kiai-kiai pesantren berupaya membangun kesadaran bahwa perjuangan membebaskan rakyat dari penjajahan merupakan kewajiban agama.

Sebab itu, Kiai Wahid Hasyim tak henti melakukan gerilya untuk membangun kekuatan rakyat. Seorang kawan yang kerap mengiringi langkah Kiai Wahid ialah Kiai Saifuddin Zuhri.  Kiai Saifuddin Zuhri mengungkapkan bahwa antara 1940-1942 merupakan waktu di mana perjuangan mengalami pasang surut gejolaknya.

Sebagai salah satu pimpinan Gerakan Pemuda Ansor kala itu, Zuhri hendak sowan ke salah seorang ulama di Purbalingga, Kiai Hisyam, pimpinan Pesantren Kalijaran, Purbalingga. Sebuah pesantren dengan lebih kurang 700 orang santri yang datang dari berbagai pelosok Jawa Tengah dan sebagian dari Jawa Timur. Pesantren ini terletak di derah pegunungan, jauh dari kota.

Tidak ada kendaraan yang dapat digunakan untuk mencapai pesantren tersebut. Memakai sepeda pun amat susah karena harus berkali-kali menyeberangi sungai yang deras airnya dan penuh dengan batu-batu kali di tebing-tebingnya.

Setelah bersusah payah menempuh perjalanan ke Pesantren Kalijaran, Zuhri tiba di waktu ashar dan langsung diterima oleh Kiai Hisyam. Saat itu Kiai Hisyam juga sedang menerima tamu yaitu Kiai Raden Iskandar dari Karangmoncol.

Ketika sejumlah kiai yang duduk bersama, tidak lain untuk membicarakan konsolidasi perjuangan melawan kolonialisme. Kesadaran untuk mengusir penjajah sudah melekat pada diri kiai karena saking dekatnya dengan masyarakat, kelompok yang kerap menjadi korban kekejaman penjajah.

Baik Kiai Hisyam dan Kiai Raden Iskandar menanyakan hal yang sama, Zuhri menempuh perjalanan dengan mamakai apa dan dengan siapa? Pertanyaan ini muncul karena memang susahnya akses untuk mencapai Pesantren Kalijaran. Letak pesantren seperti ini secara otomatis sulit juga dijangkau oleh penjajah yang pergerakannya tidak luput untuk menelusuri jejak tokoh-tokoh penting untuk diperangi.

Di tengah obrolan mengenai pergerakan nasional, Kiai Hisyam memanggil santrinya untuk membuat kopi untuk Saifuddin Zuhri. “Santri, bikinkan kopi tubruk yang kental, pakai cangkir besar, cangkir tutup,” ucap Kiai Hisyam menyuruh khadamnya untuk membuat kopi istimewa. (Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001)

Zuhri tahu betul kebiasaan para kiai. Kopi tubruk yang kental dan manis dengan cangkir tutup yang besar adalah suatu hidangan kehormatan dan hanya disuguhkan kepada orang yang dipandang harus dihormati.

Kalau seseorang itu disuguhi kopi, baik siang atau malam, pertanda kehormatan besar. Apalagi jika dengan cangkir besar yang bertutup. Ini suatu kehormatan istimewa. Minum teh, apalagi memakai gelas dianggap bukan suguhan, cuma sekadar pembasah tenggorokan.

Di tengah menyeruput kopi, tiga tokoh pesantren tersebut membicarakan perihal Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda yang mengungsi ke London karena Hitler dengan pasukan Nazi-nya telah menduduki Belanda.

Tentu saja ‘hijrah’-nya Wilhelmina agar dapat meneruskan pemerintahan terhadap negara-negara jajahannya, termasuk tetap memegang kendali penuh Hindia Belanda di Indonesia. Informasi tersebut di antaranya didapat oleh Kiai Hisyam dengan membaca koran.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi