Internasional

Ditetapkan sebagai Tindak Pidana, Sudan Larang Sunat Perempuan

Ahad, 3 Mei 2020 | 22:00 WIB

Ditetapkan sebagai Tindak Pidana, Sudan Larang Sunat Perempuan

Ilustrasi (via ckphu.com)

Khartoum, NU Online
Otoritas Sudan melarang warganya melaksanakan sunat perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM). Kini di Sudan, sunat perempuan sudah ditetapkan sebagai tindak pidana. Jadi, siapa saja yang melanggar aturan tersebut dan tetap melaksanakan sunat perempuan maka akan dihukum tiga tahun penjara dan denda.

Berdasarkan data PBB, sekitar 87 persen perempuan Sudan dengan rentang usia 14-49 tahun menjalani sunat. Di Sudan, adalah hal yang lumrah perempuan melakukan sunat dengan memotong labia dan biasanya klitorisnya.

Diberitakan BBC, Jumat (1/4), khitan anak perempuan di Sudan meluas karena ada kepercayaan bahwa itu penting untuk reputasi perempuan dan prospek pernikahannya di masa depan.

Sebetulnya, beberapa negara bagian di Sudan sudah menetapkan ilegal praktik sunat perempuan. Namun, larangan itu kerap kali dilanggar sehingga banyak orang yang masih memraktikannya. 

Hingga pada 22 April 2020, Parlemen Sudan menyetujui amandemen sunat perempuan (FGM) untuk tindak pidana. Dengan aturan ini, siapa saja yang melakukan praktik sunat perempuan akan dihukum tiga tahun penjara dan denda.
 
Sunat perempuan dalam Islam
Praktik sunat perempuan masih banyak terjadi di sejumlah negara, entah karena alasan agama atau budaya. Menurut data UNICEF, 29 negara di Afrika dan Timur Tengah masih menerapkan sunat perempuan. Memang, persoalan sunat perempuan melahirkan dua aliran; ada yang melarang dan ada yang menghalalkan atau membolehkan.

Lantas bagaimana hukum sunat perempuan di dalam Islam?
 
Ulama berbeda pandangan terkait sunat perempuan. Sebagian dari ulama kalangan madzhab Syafi'i menyatakan bahwa khitan itu wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hal ini tertera dalam kitab I'anatuth Thalibin: "Wajib berkhitan bagi perempuan dan laki-laki jika waktu dilahirkan belum keadaan terkhitan."
 
Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa khitan adalah perkara yang hanya sekadar sunah dalam pelaksanaannya untuk perempuan. Dalam kitab al-Fatawi Nomor Fatwa 68002 disebutkan, "Pendapat yang unggul adalah bahwasanya khitan itu hukumnya sunah bagi kaum perempuan, tidak wajib." Dan, aja juga pendapat yang menyatakan bahwa sunat perempuan itu mubah dan tidak wajib. 

Pandangan NU soal sunat perempuan
Ketua Umum Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU) Anggia Emarini mengatakan, khitan bagi perempuan di negara-negara tertentu adalah sebuah budaya. Mereka memandang khitan tersebut bukanlah suatu ajaran agama, karena itu wajar jika tata caranya pun banyak yang tak sesuai dengan ajaran agama.  

"Kalau khitan perempuan itu kan (di negara Barat) sebagian besar budaya, jadi bukan ajaran agama. Beberapa tempat praktiknya memang merugikan perempuan. Itu tidak ada hubungannya dengan ajaran agama," kata Anggia kepada NU Online pada Kamis 6 Februari lalu, bertepatan dengan Hari Internasional Tidak Ada Toleransi Sunat Perempuan (International Day of Zero Tolerance to Female Genital Mutilation).

Menurutnya, khitan perempuan seharusnya tidak merugikan kesehatan perempuan—apalagi itu menyangkut alat vital seseorang. Dia menyayangkan kalau ada beberapa negara yang melakukan budaya ini apalagi sampai sobek, berdarah, dan menjahit alat vital perempuan hanya karena memiliki pemahaman yang salah terkait khitan perempuan.  

"Jadi gini, kita sudah ada kajiannya, itu tidak ada hubungannya dengan kesehatan. Banyak praktik yang merugikan karena dipotong, dijahit sampai hari ini masih ada praktiknya. Makanya Kemenkes pernah melarang khitan bagi perempuan," tuturnya.

Pewarta: Muchlishon
Editor: Kendi Setiawan