Kesehatan

​​​​​​​Adaptasi Waktu Tidur saat Ramadhan Berdasarkan Thibbun Nabawi

Sel, 19 Maret 2024 | 09:00 WIB

​​​​​​​Adaptasi Waktu Tidur saat Ramadhan Berdasarkan Thibbun Nabawi

Ilustrasi ​​​​​​​adaptasi waktu tidur saat Ramadhan berdasarkan Thibun Nabawi. (NU Online).

Kajian Thibbun Nabawi tentang pola hidup seorang muslim meliputi pola istirahat. Selain itu, pola makan juga merupakan lifestyle yang penting untuk menjaga kesehatan. Apabila kedua pola hidup ini dijaga dengan baik, maka seorang muslim akan memiliki modal untuk melaksanakan ketaatan dengan energi yang prima.
 

Kaum muslimin tentu tidak ingin menyia-nyiakan waktu beribadah di malam hari bulan Ramadhan. Namun, di siang harinya banyak yang masih harus bekerja seperti di bulan lainnya. Karena itu, perlu strategi khusus untuk mengadaptasi waktu tidur dan istirahat baik di waktu siang maupun malam hari.
 

Apa yang terjadi pada pola tidur orang yang rutin berpuasa Ramadhan berdasarkan penelitian dan Thibbun Nabawi?
 

Mengapa pada saat puasa di siang hari orang cenderung merasa mengantuk?
 

Bagaimana adaptasi pola tidur yang baik dan keunikan perubahan pola tidur kaitannya dengan kesehatan pada saat Bulan Ramadhan?
 

Berkurangnya waktu tidur harian saat Ramadhan pernah diteliti oleh tim peneliti gabungan dari Maroko dan Perancis. Penelitian itu menyimpulkan bahwa pada Bulan Ramadhan, proporsi tidur tipe Non Rapid Eye Movement (NREM) meningkat, sedangkan tidur tipe Rapid Eye Movement (REM) berkurang. (Roky dkk, 2001, Sleep During Ramadan Intermittent Fasting, J.Sleep.Res, 10: halaman 319-327). 
 

Tidur terdiri dari dua keadaan fisiologis, yaitu tidur dengan gerakan mata tidak cepat (NREM) dan tidur dengan gerakan mata cepat (REM). Pada siklus tidur NREM terjadi tidur yang sangat nyenyak sehingga tidak mengingat apapun termasuk mimpi. Sedangkan tidur REM disebut juga dengan tidur aktif karena dicirikan dengan gerakan mata yang sangat cepat dan aktivitas otak yang tinggi.
 

Penelitian itu juga menyebutkan bahwa perubahan pola tidur ini dikaitkan dengan perubahan jadwal makan kaum muslimin saat berbuka dan sahur. Sahur secara rutin akan mengubah pola makan yang semula lebih siang dengan mengawalkan waktu sarapan sebelum terbit fajar. Karena itu, reaksi tubuh setelah makan yang biasanya terjadi siang hari akan maju menjadi pagi hari.
 

Akibat perubahan pola makan ini, di siang hari orang lebih mudah mengantuk. Hal itu sebenarnya wajar dan bila dikelola dengan baik misalnya dengan tidur siang sejenak akan mendukung kekuatan ibadah puasa di siang hari. Namun problem akan muncul bila di siang hari seseorang bekerja keras sehingga tidak memiliki kesempatan untuk tidur siang sejenak.
 

Bila ada waktu untuk tidur siang pendek atau qailulah, maka tidur siang akan mengeluarkan hormon Leptin. Hormon Leptin yang keluar saat tidur siang menimbulkan efek kenyang. Dengan demikian, tidur siang sejenak saat puasa Ramadhan akan memperkuat seorang muslim menyelesaikan rangkaian puasanya pada hari itu hingga waktu berbuka.
 

Bagi yang tidak punya kesempatan untuk tidur siang, istirahat terbaik adalah menyegerakan tidur setelah tarawih dan witir. Tidak begadang setelah tarawih dan bergegas tidur malam dengan niat bangun di sepertiga malam terakhir juga akan menguatkan tubuh untuk puasa di esok harinya.
 

Pola istirahat seperti ini bila dirutinkan akan mengurangi total waktu tidur harian selama Bulan Ramadhan tetapi tidak akan mengganggu kualitas istirahatnya.
 

Berdasarkan konsep Thibbun Nabawi, aktivitas tidur akan meningkatkan kelembaban dan mendinginkan tubuh. Logikanya apabila waktu tidur harian berkurang, maka reaksi tubuh cenderung ke arah panas. Namun, fenomena meningkatnya tidur NREM pada kaum muslimin yang berpuasa Ramadhan sebagaimana diungkap oleh para peneliti mampu menstabilkan suhu tubuh sehingga mampu menghindarkan tubuh dari panas berlebihan.

Konsep Thibbun Nabawi tentang aktivitas tidur yang dapat mendinginkan tubuh ternyata selaras dengan yang terjadi pada meningkatnya tidur NREM selama Ramadhan. Bila orang memperhatikan waktu istirahatnya dengan baik pada bulan Ramadhan, meningkatnya tidur NREM akan memberikan pemulihan dan ketenangan secara menyeluruh pada tubuh. Hal itu ditandai dengan suhu tubuh dan tekanan darah yang menurun serta napas menjadi teratur dan lambat.
 

Tidur yang tepat juga akan mendukung pola diet yang baik. Tidur yang cukup (bagi orang dewasa berkisar antara 5-6 jam) akan mengaktifkan hormon pertumbuhan yang bertanggungjawab dalam mengatur distribusi nutrisi. Artinya, zat gizi berupa protein, lemak, dan karbohidrat akan digunakan secara optimal dalam proses pembentukan dan perbaikan jaringan serta organ tubuh (Azhar, Cara Hidup Sehat Islami, [Bandung, Tasdiqiya Publisher: 2015], halaman 244).
 

Salah satu tips dalam Thibbun Nabawi dalam mengatur waktu istirahat di malam hari adalah cepat tidur agar cepat bangun (Bika dan Dockrat, 2015, Medicine of The Prophet [Tibb al-Nabawi] Your Guide to Healthy Living, Ibn Sina Institute of Tibb, South Africa: halaman 50).
 

Konsep ini relevan untuk diterapkan di bulan Ramadhan karena ada rangkaian sahur di sepertiga malam terakhir yang dilaksanakan secara rutin. Agar tidak melewatkan sahur, seorang muslim perlu berusaha untuk bangun lebih awal meskipun waktu tidur malamnya secara keseluruhan berkurang.
 

Orang yang mengawalkan tidur malam dan membiasakan bangun di sepertiga malam terakhir juga akan memperoleh keutamaan berupa kebiasaan baik bangun malam. Aktivitas selain sahur seperti qiyamullail akan lebih mudah dibiasakan seiring hari demi hari Ramadhan dilalui. Puncaknya di 10 hari terakhir, kondisi tubuh akan lebih adaptif untuk memperbanyak ibadah untuk menyambut malam Lailatul Qadar.
 

Berdasarkan adaptasi waktu tidur yang telah diuraikan, selayaknya kaum muslimin menerapkan pola istirahat yang tepat di Bulan Ramadhan. Meskipun terjadi penurunan jumlah jam tidur, secara keseluruhan pola makan yang berubah akan mengompensasi pola istirahat dengan cara yang unik. Karena itu, kaum muslimin akan tetap memiliki energi yang prima untuk menjalani rangkaian ibadah di bulan Suci tersebut. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi.