Nasional

Akademisi Sebut Penggunaan Pengeras Suara Masjid Harus Bijaksana

Kam, 3 Maret 2022 | 17:00 WIB

Akademisi Sebut Penggunaan Pengeras Suara Masjid Harus Bijaksana

Toa atau pelantang suara di salah satu masjid di luar negeri. (Foto: AFP/R Gacad)

Jakarta, NU Online

Akademisi dari Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu) Jepara, Jawa Tengah, Mayadina Rohmi Musfiroh menyebut bahwa penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala merupakan kebutuhan untuk melakukan syiar atau dakwah Islam. 


Melalui pengeras suara itu, umat Islam dapat saling mengingatkan satu sama lain untuk terus berbuat baik dan selalu beribadah, serta senantiasa dekat dengan masjid dan mushala. Namun di satu sisi, pengeras suara masjid harus digunakan secara bijaksana karena berpotensi mengganggu ketenangan dan ketenteraman masyarakat sekitar. 


“Menghargai orang lain, tetangga, menghargai yang berbeda, menghargai yang sakit, itu dalilnya banyak. Islam itu membawa rahmat, menebarkan kasih sayang,” kata Maya, dalam diskusi bersama Jaringan Gusdurian di fitur Space Twitter, yang membahas soal Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala, pada Rabu (2/3/2022) malam. 


Ia menegaskan, Islam adalah agama yang membawa rahmat dan kasih sayang sehingga harus bisa menjangkau kebutuhan seluruh masyarakat di sekitar. Lebih-lebih ketika hidup di Indonesia yang harus bertetangga dengan masyarakat Non-Muslim atau warga yang sedang sakit, sehingga memiliki potensi terganggu saat penggunaan pengeras suara dilakukan secara berlebihan. 


Islam juga mengajarkan soal akhlak. Maya mengutip sebuah hadits Nabi tentang akhlak kepada tetangga. Hadits itu berbunyi, ‘man kaana yu’minu billahi wal yaumil akhiri fal yukrim jarahu. Artinya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tetangga.  


“Itu kan juga salah satu sinyal yang jelas bahwa Islam ini sangat memprioritaskan penghormatan atas hak-hak orang lain,” ucap Dekan Fakultas Hukum dan Syariah Unisnu Jepara itu.


Soal syiar Islam, lanjut Maya, dijelaskan pula di dalam Al-Qur’an. Ia menjelaskan QS An-Nahl ayat 125. Ayat ini menjelaskan soal metode berdakwah yakni harus menggunakan kebijaksanaan, nasihat yang baik, dan berdebat dengan santun. 


“Silakan kalau mau mengajak orang lain berdakwah, tapi lakukan dengan hikmah (kebijaksanaan). Hikmah itu intinya kebijaksanaan, memahami konteks keberagaman di sekitar kita. Setelah itu mauidzoh hasanah, dengan nasihat yang menyentuh hati,” jelas Maya. 


“Bicara soal pengeras suara, kalau memang tujuannya syiar maka ternyata ada rambu-rambunya di dalam teks Islam sendiri. Pakai kebijaksanaan, pakai logika. Hikmah juga mengandung penggunaan nalar atau logika,” imbuhnya.


Menurut Maya, Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 itu, sudah sangat tepat karena berusaha memayungi kepentingan semua orang dengan dasar kemaslahatan. Ia mengutip kaidah fikih yang kerap digunakan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kaidah itu berbunyi, ‘tasharruful imam ala raiyyah manuthun bil mashlahah’.


“Kebijakan yang dikeluarkan seorang pemimpin, dalam hal ini kementerian agama, pasti atas dasar pertimbangan kemaslahatan,” ujar Maya. 


Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof Ahmad Zainul Hamdi menjelaskan bahwa telah terjadi distorsi informasi yang sangat jauh dari substansi isi SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 dengan kontroversi yang terjadi di ruang publik.


“Seakan-akan pengaturan ini adalah pelarangan azan menggunakan pengeras suara di masjid dan mushala. Padahal sama sekali tidak. Yang diatur adalah penggunaan pengeras suara di luar azan (seperti) untuk ceramah, tarhim, shalawatan, menyiarkan atau memperkeras suara qiraah,” katanya.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF