Nasional

Hilmar Farid Sebut Lesbumi Jadi Ujung Tombak NU sebagai Gerakan Kebudayaan

Jum, 23 Juni 2023 | 20:00 WIB

Hilmar Farid Sebut Lesbumi Jadi Ujung Tombak NU sebagai Gerakan Kebudayaan

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid pada Dialog Kebudayaan bertajuk Mencari Pancer Kebudayaan di Tengah Percaturan Ideologi dalam rangka Perayaan Hari Lahir Ke-63 Lesbumi NU di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Jakarta Selatan, pada Kamis (22/6/2023) malam. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid menyebut bahwa Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan ujung tombak Nahdlatul Ulama (NU) sebagai gerakan kebudayaan. 


Hal itu diungkapkan pada Dialog Kebudayaan bertajuk Mencari Pancer Kebudayaan di Tengah Percaturan Ideologi dalam rangka Perayaan Hari Lahir Ke-63 Lesbumi NU di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Jakarta Selatan, pada Kamis (22/6/2023) malam. 


“Saya melihat NU sejatinya adalah gerakan kebudayaan. Jadi Lesbumi ini bisa dikatakan ujung tombaknya gerakan itu,” ucap Hilmar. 


Pada kesempatan itu, Hilmar menanggapi Pidato Kebudayaan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) yang menyebut bahwa kebudayaan harus memiliki nalar kontinuitas atau keberlanjutan. 


“Pesannya sederhana, kalau ada kontinuitas, berarti ada awal, tengah, dan depan. Nah kita sekarang disuruh mendiskusikan nalar kontinuitas. Ini merupakan diskusi yang sangat menarik, karena bicara tentang kebangsaan,” ucap Hilmar. 


Secara etimologis atau akar rata, istilah ‘bangsa’ sebenarnya meminjam dari bahasa Sansekerta yang apabila diterjemahkan menjadi keluarga atau garis keturunan. Namun bangsa Indonesia yang saat ini dihidupi bukan merupakan garis keturunan. Sebab bangsa Indonesia datang dari begitu banyak sumber dan unsur. 


“50 ribu tahun lalu yang pertama menghuni itu sebetulnya bagian Timur Indonesia. Tiga ribu tahun lalu datang secara bergelombang dari Taiwan. Setelah itu datang peradaban demi peradaban: India, Arab, Eropa, Tionghoa, Jepang, membentuk (kebudayaan) yang ada sekarang ini,” ucap Hilmar. 


Dengan demikian, kata Hilmar, nalar kontinuitas Indonesia adalah bineka. Inilah jati diri paling jelas yang berkelanjutan. Menurutnya, orang Indonesia saat ini kesulitan untuk mencari akar karena sangat beragam. 


Ia menegaskan, Indonesia adalah sebuah anugerah yang dibentuk oleh satu sejarah yang sangat kompleks dan membingungkan. Sejarahnya sangat penuh dinamika yang di dalamnya justru terdapat keindahan. 


Kenyataan Geografis 

Menurut Hilmar, Indonesia semula adalah suatu kenyataan geografis. Ia menjelaskan bahwa nama ‘Indonesia’ diambil dari para ahli geografi ketika ingin memberi nama kawasan yang saat ini dihuni menjadi sebuah negara kesatuan.


Lalu pada awal abad ke-20, para pendiri bangsa dari berbagai macam unsur merumuskan Indonesia sebagai sebuah kenyataan politik. Rumusan tersebut, kata Hilmar, akan menjadi percuma jika tanpa konsolidasi ekonomi dan politik sebagaimana yang juga ditekankan oleh Gus Yahya. 


“Indonesia di awal abad 20 menjadi kenyataan politik. 17 Agustus 1945 menjadi sebuah kenyataan hukum. Karena sekarang ditetapkan melalui UUD sehingga dia menjadi kenyataan hukum,” terang Hilmar. 


Kenyataan Budaya 

Tugas berikutnya, kata Hilmar kepada Lesbumi NU, adalah menjadikan Indonesia sebagai sebuah kenyataan budaya. Inilah pekerjaan rumah yang hingga kini belum rampung. Akan tetapi, konsolidasi ekonomi dan politik, serta berbagai konsep mengenai kebudayaan bisa diperdebatkan dan tak pernah ada habisnya. 


“Pada akhirnya adalah kemampuan untuk mengonsolidasi kekuatan sehingga tugas untuk menjadikan Indonesia sebagai kenyataan kultural ini bisa terjadi. Tanpa itu, tentu kita akan terus maju-mundur dalam kenyataan hukum dan politik, memperdebatkan terus dan sangat susah untuk maju,” katanya. 


Padahal, kata Hilmar, masyarakat di Nusantara sejak ribuan tahun lalu sudah sangat luar biasa. Ia mencontohkan, pada tiga ribu tahun lalu, bangsa Eropa masih sibuk berburu dengan kapak tetapi masyarakat Nusantara sudah sampai ke Pantai Timur Afrika. Selain itu, masyarakat Nusantara dikenal memiliki kemampuan bertahan hidup, bekerja sama, bergotong royong, dan terus menjelajahi bumi. 


“Kalau bicara nalar kontinuitas, apa terusannya? Sekarang kita seperti terhenti geraknya karena sibuk dengan hal-hal yang sebetulnya sudah diselesaikan. Sulit sekali untuk keluar menggunakan sumber daya itu untuk menjawab persoalan-persoalan ke depan,” kata Hilmar. 


Ia menegaskan bahwa Indonesia merupakan negeri dengan keanekaragaman budaya dan hayati luar biasa. Inilah anugerah yang harus disyukuri sebagai sebuah entitas bangsa. Namun sampai saat ini, orang-orang Indonesia masih saja berdebat tentang hal-hal yang semestinya sudah selesai pada puluhan tahun lalu.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad