Nasional

Muslimat NU Soroti Meningkatnya Perkawinan Usia Anak

Jum, 14 Februari 2020 | 21:00 WIB

Muslimat NU Soroti Meningkatnya Perkawinan Usia Anak

Pernikahan anak terjadi baik di daerah perdesaan maupun perkotaan, serta meliputi berbagai strata ekonomi dengan beragam latar belakang. (Ilustrasi: NU Online)

Jakarta, NU Online
Pada masyarakat sosial ekonomi rendah dengan pengetahuan yang minim, seringkali orang tua mengawinkan anaknya pada usia muda, padahal anak belum siap secara fisik dan mental.
Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang seperti Indonesia. 

"Di Indonesia angka pernikahan anak di bawah umur terus meningkat," kata Dewan Pak Bahtsul Masail PP Muslimat NU Hj Mursyidah Thahir melalui rilis yang diterima NU Online, Jumat (14/2).

Angka peningkatan tersebut bisa dilihat pada laporan "Perkawinan Usia Anak di Indonesia" yang dikeluarkan  oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada Januari 2018, di mana Sulawesi Barat memiliki prevalensi tertinggi (19,43%) sementara Jawa Barat memiliki angka absolut tertinggi yang diperkirakan mencapai 273.300 perkawinan anak.

Pada tahun 2018, sambungnya, sekitar 11% atau 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 menikah sebelum berusia 18 tahun dan sekitar 1% atau 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 menikah sebelum berusia 18 tahun. Diperkirakan ada 1.220.900 anak perempuan yang menikah sebelum berumur 18 tahun.

Sementara data BPS pada tahun 2015, melalui Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas), menunjukkan angka pernikahan di bawah usia 18 tahun di Indonesia mencapai 22,82 persen, dan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, di mana 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibanding angka nasional (22,82 persen). 

Lima provinsi dengan angka prevelensi terbesar yakni Sulawesi Barat (34,22 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (33,21 persen) dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).

Mursyidah mengatakan, pernikahan anak terjadi baik di daerah pedesaan maupun perkotaan serta meliputi berbagai strata ekonomi dengan beragam latar belakang. Pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama. 

Menurutnya, alasan orang tua menyetujui pernikahan dini seringkali dilandasi oleh ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk mempererat tali kekeluargaan. Selain itu, pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya yang telah mapan, sehingga sulit untuk mengubahnya. 

"Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas," ucapnya.

Ia mengaku prihatin karena pernikahan anak akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan anak, yakni terhadap pendidikan, kesehatan, psikologi dan kemiskinan. Anak yang menikah dini akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi. Hal ini tentunya merenggut hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. 

Lebih lanjut ia mengatakan, perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum umur 18 tahun memiliki kemungkinan empat kali lebih rendah untuk menyelesaikan sekolah menengah atas dibandingkan dengan yang menikah setelah umur 18 tahun.

Sementara dari sisi kesehatan, katanya, komplikasi pada saat hamil dan melahirkan anak adalah penyebab utama kematian perempuan berumur 15 sampai 19 tahun. Bayi yang lahir dari ibu di bawah 20 tahun hampir 2 kali lebih mungkin meninggal selama 28 hari pertama dibandingkan bayi yang lahir dari ibu berusia 20-29 tahun.

Pewarta: Husni Sahal
Editor: Abdullah Alawi