Nasional

Petani Tembakau Garut Kecewa RUU Kesehatan dan Bantuan Pemerintah yang Tak Sampai

Sen, 22 Mei 2023 | 16:05 WIB

Petani Tembakau Garut Kecewa RUU Kesehatan dan Bantuan Pemerintah yang Tak Sampai

Ilustrasi petani tembakau. (Foto: Dok. Media Perkebunan)

Jakarta, NU Online

Seorang petani tembakau di Garut, Jawa Barat, Sidqi Wijhatul Hayat mengaku kecewa dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang pada salah satu pasal dinilai menyejajarkan hasil olahan tembakau dengan narkotika dan minuman beralkohol. 


Sidqi kecewa karena sebagian besar petani di daerah tempat tinggalnya itu sebagian besar menanam tembakau. Ia khawatir, kelak para petani tembakau di Garut ini kehilangan mata pencaharian. 


Sebab jika saat ini produk hasil olahan tembakau disejajarkan dengan narkotika dan minuman beralkohol, maka suatu saat bisa saja menanam tembakau merupakan tindakan yang dilarang alias ilegal. 


“Kami selaku petani tembakau terhadap RUU (Kesehatan) tersebut jelas keberatan dikarenakan perekonomian di daerah kami akan terganggu,” kata Sidqi saat dihubungi NU Online, Senin (22/5/2023).


Saat ini, Sidqi merupakan petani tembakau aktif dengan mengelola lahan milik sang kakak seluas 1 hektare dan milik orang tua dengan luas sekitar 200 tumbak. Ia membantu orang tua untuk mengelola kebun tembakau sejak 2010. 


Sebagai informasi, tumbak merupakan istilah yang digunakan warga Sunda atau masyarakat Jawa Barat untuk menyebut satuan pengukuran luas lahan. Secara hitungan, 1 tumbak setara dengan 14,0625 meter persegi. Lahan Sidqi seluas 200 tumbak itu berarti setara dengan 2.812,5 meter persegi. 


Kendala petani tembakau 

Sidqi sebagai petani tembakau kerap mengalami kendala. Salah satunya adalah bantuan pemerintah yang masih sangat minim, bahkan hampir tak pernah sampai. Terutama mengenai pupuk. Sidqi pun mengeluhkan harga pupuk yang naik 3x lipat sejak 2 tahun lalu. 


Bahkan Sidqi mengaku kesulitan untuk mendapatkan pupuk ZA untuk tembakau. Jika pun ingin memperoleh pupuk bersubsidi maka harus menggunakan kartu tani, sedangkan pembuatan kartu tani dipersulit. 


“Bantuan pemerintah bagi petani juga rasanya kurang tepat sasaran, karena yang dapat bantuan hanya di kalangan pengurus pertanian saja, sedang kepada petani biasa itu tidak sampai,” tutur Sidqi. 


Sidqi menjelaskan bahwa pengurus pertanian yang dimaksud itu adalah kelompok tani yang ada di desa. Hanya kelompok inilah yang bisa mengakses bantuan dari pemerintah, antara lain mesin untuk menggiling jagung dan motor angkut. “Petani kalau mau minjem dikenai biaya sewa,” tutur Sidqi.


Lebih lanjut, ia juga mengeluhkan soal sistem jual beli dengan para tengkulak atau bandar. Mereka memasang harga yang cukup merugikan karena memainkan harga di petani. Bahkan, harga jual tembakau tak menentu alias bergantung pada kemauan tengkulak. 


“Harga jualnya nggak tentu, tergantung tengkulak yang membuka harga. Kita sebagai petani tidak bisa memasang harga. Kalau terakhir, dua tahun lalu saya menjual Rp25-60 ribu per kilogram. Tembakau itu ada kelas-kelasnya. Kelas C kisaran harga Rp25-30 ribu, kelas B Rp30-50ribu, dan kelas A Rp50-90 ribu,” kata Sidqi. 


Dilansir situsweb bolehmerokok, terdapat berbagai jenis tembakau dan ciri-cirinya. Tembakau kelas A biasanya berwarna hijau, tembakau kelas B berwarna hijau kuning, dan tembakau kelas C kuning-keemasan.


Semakin tinggi kelasnya maka kualitas dan aroma tembakau akan bagus, layaknya kelas D yang berwarna dominan merah didampingi kuning, tembakau kelas E dominan berwarna hitam-merah, dan kelas F dengan warna hitam.


Tembakau terbaik diduduki oleh kelas G, H dan I yang berwarna hitam mengkilap. Perbedaan ketiga kelas ini terdapat pada aroma. Semakin ke atas, maka aroma dari tembakau akan semakin keras. 


Atas berbagai persoalan yang dihadapi petani tembakau itu, Sidqi berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib para petani di desa-desa. Selain itu, kata Sidqi, pemerintah perlu memperhatikan sistem perekonomian bagi penjualan hasil pertanian agar para petani tidak merugi. 


“Untuk pupuk juga kami minta lebih diperhatikan karena sekarang petani susah untuk membeli pupuk. Pupuk sudah langka dan kalau pun ada harganya sangat mahal,” pungkas Sidqi. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad