Nasional

Polemik Pemaksaan Jilbab, Sekolah Harus Jadi Ruang Inklusif bagi Pelajar

Kam, 4 Agustus 2022 | 20:00 WIB

Polemik Pemaksaan Jilbab, Sekolah Harus Jadi Ruang Inklusif bagi Pelajar

Polemik Pemaksaan Jilbab, Sekolah Harus Jadi Ruang Inklusif bagi Para Siswa

Jakarta, NU Online
Menanggapi polemik kasus pemaksaan jilbab di SMA Negeri Banguntapan 1, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ketua Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menegaskan, sekolah harus menjadi ruang inklusif bagi para siswanya.


“Sekolah itu sebagai tempat inklusif bagi siswa dari berbagai macam latar belakang, untuk mengeksplorasikan pendapatnya dan mengekspesikan argumentasinya. Itu tugasnya sekolah,” tegasnya kepada NU Online, Kamis (4/8/22).


Dalam konteks sekolah, kata dia, wewenang itu ada pada pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Yang harus dipahami yaitu sekolah bukan tempat untuk penyeragaman.


“Harusnya pemaksaan semacam itu tidak terjadi karena mengarahkan kepada tindakan diskriminatif. Sekolah justru harus mengajarkan keberagaman,” kata Ubaid.


Hal itu termuat dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah yang diteken oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama.


Kebijakan ini diteken setelah banyaknya temuan kasus pemaksaan dan pelarangan menggunakan seragam dan atribut sekolah yang didasarkan pada agama tertentu.


Adapun pemaksaan yang berdalih karena adanya anjuran dari pihak pengelola menurut Ubaid itu keliru. Lantaran anjuran atau imbauan bernuansa diskriminatif itu secara otomatis akan megeksklusi/menghambat.


“Nah, itu yang terjadi di Bantul. Akibatnya siswi yang dipaksa depresi dan meminta pindah sekolah. Hal seperti itu mestinya tidak boleh terjadi,” ujarnya.


Lebih lanjut, Ubaid mengkritisi soal aturan yang telah diterbitkan pemerintah. Menurutnya, pemerintah tidak boleh hanya sekadar mengeluarkan kebijakan tetapi juga harus mempunyai perspektif bahwa kebijakan itu benar-benar terimplemetasikan dengan baik di lapangan.


“Pemerintah itu kan gak sendiri, dia punya perangkat mulai dari pusat, dan punya instrumen di level daerah. Perangkat dan instrumen itulah yang seharusnya menciptakan sekolah sebagai zona inklusif,” kritik dia.


Ia menegaskan, tugas pemerintah bukan cuma membuat peraturan tapi juga memastikan peraturan itu berjalan dengan baik di level sekolah. Karena kemungkinan besar stakeholder sekolah tidak semuanya memahami setiap aturan yang dikeluarkan.


“Jadi, peraturan itu tidak kemudian diterbitkan dan beres semua masalah. Itu tidak begitu,” tegasnya.


Selain membuat peraturan, tambah dia, pemerintah juga berkewajiban memastikan seluruh perangkat ekosistem di sekolah memahaminya. “Intinya, pemerintah tidak boleh cuci tangan lewat peraturan yang telah dibuatnya,” tandas Ubaid.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin