Protokol Sudah Ketat Tapi Masih Tertular Covid-19? Cerita Seorang Relawan
Ahad, 4 Oktober 2020 | 11:01 WIB
Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Pada 1 April 2020 lalu, Siti Maghfira memilih untuk bergabung di Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di Graha BNPB Jakarta. Ia bertugas sebagai Sekretaris Tim Koordinator Relawan Bidang Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19.
Sejak pertama kali bergabung menjadi bagian sebagai relawan, pada enam bulan lalu, perempuan yang akrab disapa Fira ini sudah berpikir bahwa terkena virus merupakan bagian dari risiko yang harus diterima. Sedangkan jika ternyata tidak terkena Covid-19, bisa dikatakan itu adalah sebuah keberuntungan.
Fira juga menegaskan, sejak awal keterlibatannya sebagai relawan, ia telah mampu menjaga diri dan menjaga jarak, memakai masker, serta mematuhi semua protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.
Beberapa waktu lalu, Fira mengaku sempat keluar untuk turun ke lapangan karena mendapat tugas dari Satgas Penanganan Covid-19. Saat berada di luar, ia pun berkomitmen untuk dengan sebaik mungkin menerapkan protokol kesehatan.
“Saya merasa sehat-sehat saja dan menjalankan protokol kesehatan sebaik mungkin. Saya juga sudah sangat menjaga diri untuk melakukan sebaik mungkin agar bagaimana tidak tertular virus ini,” jelas perempuan yang menjabat sebagai Ketua Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri) Jakarta Timur ini.
Menurutnya, banyak orang yang merasa aneh dengan relawan yang justru terpapar Covid-19. Menanggapi hal itu, Fira mengungkapkan alasan dirinya tertular virus. Salah satunya, Fira menduga ada yang salah dari penerapan protokol kesehatan yang dilakukan.
Ia sendiri bahkan tidak mengetahui di mana dan oleh siapa tertular Covid-19 ini. Dalam kurun waktu dua pekan ke belakang, Fira tidak pernah keluar ke mana pun karena memang terdapat banyak tugas yang mesti dikerjakan di dalam ruang kantor.
Sementara teman yang lain ada yang ditugaskan untuk terjun ke lapangan. Namun demikian, setahu Fira, para relawan yang bertugas di luar itu selalu dengan tertib menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan sangat rapi.
“Mereka juga menggunakan handscoon (sarung tangan medis) sehingga kulit tangan tidak langsung bersentuhan dengan benda atau siapa pun. Saya tidak bisa menyalahkan siapa pun,” jelas Fira yang berbicara dengan logat Sunda.
Awal divonis positif Covid-19
Dalam keadaan tubuh yang sedang fit dan sangat bugar, Fira memilih untuk melakukan tes swab pada Senin, 28 September 2020 lalu. Ketika itu, ia mengaku bahkan sempat berbincang melalui sambungan telepon bersama pimpinan dan beberapa teman, dengan keadaan gembira.
Keesokan hari, Selasa (29/9) pagi, ia ikut rapat yang digelar oleh seluruh bidang di Satgas Penanganan Covid-19. Rapat tersebut berlangsung hingga waktu zuhur. Usai shalat, ia langsung terlelap tidur.
“Jam tiga (sore) saya bangun, menerima telepon dari rumah sakit dan pimpinan. Saya dikasih kabar positif Covid-19. Namun sebelum pimpinan bilang pun saya sudah dengan sendirinya menduga memang akan positif,” ungkapnya.
“Kamu positif, Fira. Nilai saturasi kamu agak tinggi dan nasofaring kamu terdeteksi agak tinggi di angka 31,” kata seorang pimpinan Satgas Penanganan Covid-19 yang diungkap ulang oleh Fira.
Saat mendengar kabar itu, Fira biasa-biasa saja. Tidak ada masalah karena sejak awal ia sudah menyadari jika terpapar Covid-19 adalah sebuah resiko yang memang harus diterima. Ketika itu, Fira bahkan masih sempat bercanda dan tertawa dengan ketua sekretariat yang menghubunginya.
“Saya sempat nanya, bawa apa nih persiapan isolasi? Aku ditempatkan di mana ya? Kemudian dibalas sama dia, ya sudah Fira persiapan saja bawa baju,” demikian Fira bercerita yang ditayangkan langsung melalui kanal Youtube 164 Channel.
Namun di tengah perasaan yang biasa-biasa saja itu, saat sedang mengemas pakaian untuk persiapan isolasi, terlintas di benak Fira soal bagaimana memberi kabar ke orangtua. Menurutnya, hal ini sangat menjadi problem. Sudah hampir enam bulan tak bersua, sekali berkabar justru terkena Covid-19.
Ia bingung bagaimana harus menyampaikan kabar ini kepada sang ibu dan keluarga di rumah. Tak berpikir lama, Fira akhirnya memberanikan diri untuk menelpon ibu.
“Bun jangan marah, jangan kaget, dan jangan nangis. Aku nggak mau dengar bunda dan siapa pun menangis. Dari awal aku minta izin ikut jadi relawan adalah dengan resiko kalau aku bakalan kena Covid juga. Lebih tepatnya kena Covid itu sudah jadi resiko,” tutur Fira memberi gambaran percakapan ia bersama ibunya.
Ia melanjutkan bercerita, “(Dan) Ibu sudah menyetujui aku untuk di sini.”
Hati orangtua mana yang tak sedih mendengar kabar anaknya terpapar virus yang mematikan ini. Sontak ibunda Fira berkata sembari menangis, “Tuh kan bunda bilang apa?!”
“Ya sudah bun kalau nangis aku tutup saja teleponnya,” kata Fira.
Setelah mengabari sang ibu, Fira mulai berangkat untuk ke tempat isolasi di sebuah hotel di Jakarta. Pada sore hingga malam, Fira mengalami suara yang serak dan flu. Sepanjang hari ia diawasi oleh seorang pimpinan Satgas Covid-19 yang merupakan seorang doter.
“Jadi memang diawasi terus. Kalau setiap setengah 10 (malam) itu selalu dipantau dan harus sudah mulai untuk tidur. Jadi memang dari jam 9 (malam) sudah tidur. Tapi jam 3 (dinihari) selalu terbangun dan sakit tenggorokan. Untuk menelan, sakit,” jelas Fira.
“Tapi dengan meminum air putih dan vitamin langsung enak dan dibawa tidur lagi. Shalat subuh sudah jadi enak,” tambahnya.
Pesan untuk anak muda
Saat diminta oleh pembawa acara galawicara Peci dan Kopi Ahmad Rozali untuk memberikan pesan kepada anak-anak muda yang tidak percaya terhadap Covid-19, dengan sigap dan cepat Fira langsung menyampaikan pesan yang sangat mendalam.
“Jangan hanya banyak membaca buku untuk gaya. Sekarang sudah waktunya untuk mengimplementasikan apa yang kau dapat. Kalau selama ini selalu berbicara tentang bagaimana memanusiakan manusia, maka di kondisi saat inilah itu harus diterapkan,” tegas Fira, menyuarakannya dengan sangat lantang.
Ia melanjutkan dengan intonasi yang tegas dan jelas, “Kalau misalkan kamu tidak percaya Covid-19 silakan, itu persepsimu. Tetapi yang harus ditekankan sekarang adalah bagaimana memupuk rasa peduli untuk orang banyak.”
Saat divonis atau dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19, pertama kali yang dilakukan adalah menghubungi satu per satu orang-orang yang dalam beberapa waktu ke belakang sempat berinteraksi dengannya.
“Saya tidak khawatir dengan diri saya. Saya pasrah. Tapi saya khawatir dengan orang-orang yang kemarin bertemu saya. Jadi detik itu juga saya hubungi satu per satu. Orang yang tiga hari lalu bertemu, saya minta tolong kalau bisa tes swab atau minimal lakukan isolasi mandiri,” katanya.
“Buat saya, untuk tubuh saya sendiri mungkin tidak masalah. Tapi saya melihat bagaimana orang lain yang tidak sekuat saya. Nah sekarang yang paling terpenting adalah mari pupuk terlebih dulu kepedulian terhadap orang lain,” tambah Fira.
Dilihat dari segi budaya, Fira melanjutkan. bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang lebih suka kumpul-kumpul secara bersama-sama. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yang paling penting dari silaturahmi adalah pertemuan.
“Nah di dalam kondisi darurat seperti sekarang ini mari kita nikmati dulu era 4.0 ini yang sejak kemarin kita gembor-gemborkan. (Silaturahmi) era 4.0 yang sudah lewat aplikasi secara online, jangan hanya sebagai wacana. Jadi mari untuk sementara kita nikmati ini dulu,” pungkas Fira.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Arus Komunikasi di Indonesia Terdampak Badai Magnet Kuat yang Terjang Bumi
2
PBNU Nonaktifkan Pengurus di Semua Tingkatan yang Jadi Peserta Aktif Pilkada 2024
3
Pergunu: Literasi di Medsos Perlu Diimbangi Narasi Positif tentang Pesantren
4
Kopdarnas 7 AIS Nusantara Berdayakan Peran Santri di Era Digital
5
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
6
BWI Kelola Wakaf untuk Bantu Realisasi Program Pemerintah
Terkini
Lihat Semua