Nasional HUT KE-77 RI

Sejarawan: Peran Pesantren Nyata dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Jum, 5 Agustus 2022 | 19:00 WIB

Sejarawan: Peran Pesantren Nyata dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Ilustrasi: upacara bendera yang dilakukan oleh para santri. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Bangsa Indonesia harus berjuang ratusan tahun untuk dapat mendapatkan impiannya hidup di dalam negara yang merdeka, lepas dari penjajahan bangsa asing. Semua elemen masyarakat bahu-membahu dalam rangka mewujudkan impian tersebut. Di antara yang memiliki peran besar dalam perjuangan tersebut adalah masyarakat pesantren.


“Peran kiai di masa penjajahan Belanda kalau kita tarik sekitar abad ke 18, 19, hingga menyentuh awal abad 20 itu saya kira peran pesantren itu sangat nyata ya,” kata Johan Wahyudi, pengajar sejarah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, kepada NU Online pada Jumat (5/8/2022).


Ia juga menyebut sejarawan kawakan Peter Carrey yang tidak menutup-nutupi, bahwa pesantren-pesantren di Jawa mempunyai jasa besar dalam memugar ingatan-ingatan kolektif tentang kecintaan pada tanah air.


Misalnya, ia mencontohkan soal kasus Diponegoro yang mendapatkan pencerahan tentang bagaimana mendeteksi keadaan sosial melihat ketidakadilan dalam istana, westernisasi yang mengancam tradisi Jawa, dan lain sebagainya itu salah satunya ketika dia sudah berguru di sejumlah pesantren pesantren pesantren di sekitar Tegalrejo. 


“Itu ya Tegalrejo tempat kediaman neneknya itu itu memang sangat kental dengan budaya pesantren. Di Tegalrejo itu dikelilingi oleh sejumlah pesantren. Nah kemudian beberapa pesantren penting lainnya seperti menginstalnya memang sudah eksis sejak zaman Diponegoro gitu jadi pesantren-pesantren itulah yang memugar ingatan pangeran Diponegoro untuk melakukan perlawanan,” jelasnya.


Johan menyampaikan bahwa terdapat perlawanan pesantren di berbagai daerah. Misalnya, tentang perlawanan kiai di daerah Brebek yang sekarang Nganjuk, juga memiliki kasus-kasus sangat kaya.

 

“Apalagi beberapa kiai itu percaya dengan paham messianisme. Jadi paham di mana diri mereka itu ditahbiskan menjadi ratu adil yang mengangkat senjata melawan orang-orang Belanda,” katanya.


“Jadi mereka seperti mendapatkan Ilham bahwa mereka ini adalah orang terpilih untuk melakukan itu,” ujar kandidat doktor Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.


Johan juga menjelaskan, bahwa catatan laporan tahunan Belanda yang dikeluarkan setiap tahun di antaranya adalah menghimpun keterangan tentang kondisi politik di Jawa dan tempat-tempat lain, terdapat semacam gerakan kaum tarekat yang dianggap membahayakan orang-orang Belanda.

 

“Hal itu dimulai dari Jogja dan Solo kemudian melebar sampai wilayah Madiun, kemudian melebar lagi sampai wilayah Blitar, sampai wilayah Kediri, wilayah-wilayah seputar pedalaman Nganjuk juga,” katanya.


Kaum-kaum tarekat ini, terangnya, melakukan komunikasi politik saling berjejaring untuk melakukan perlawanan-perlawanan, baik kecil atau besar. Hal tersebut sejalan dengan beberapa kasus, seperti pembakaran gudang tembakau yang dilakukan oleh sekelompok orang yang ada di kabupaten Nganjuk. Dalam kasus lain, itu ada perlawanan besar yang dilakukan oleh santri dan kiai di Blitar. Hal yang sama misalnya terjadi di sekitar Yogyakarta. 


“Ada seorang kiai yang memimpin santri untuk berzikir secara massal. Karena orang Belanda ini tidak tahu ya mereka melakukan apa, maka mereka disebut sedang bernyanyi gitu karena kan dzikir kan ada alunan nada yang yang sepadan yang sama kita jadi mereka menganggapnya itu seperti pada mereka lagi berdzikir berjamaah kemungkinan besar itu sikap tarekat,” ujarnya.


“Jadi perannya sangat nyata ya,” imbuhnya.


Namun sayangnya, kata Johan, tren untuk mengangkat sejarah kiai dan santri itu memang baru beberapa tahun terakhir, sedangkan dalam penulisan penulisan sejarah seperti yang diinisiasi misalnya oleh Sartono kartodirdjo dan kawan-kawan dalam penulisan sejarah nasional Indonesia itu terlihat kurang mengakomodir peran dari pesantren kiai, sifatnya masih sangat komplementer.


“Padahal kalau kita lihat dalam sejarahnya antara kelompok bangsawan Jawa dengan kiai itu ya mereka saling membutuhkan dan mereka adalah musuh alami bagi pemerintah kolonial,” pungkasnya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad